Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1st Diary: assumptions

March 23rd 2021


BINTANG dua. Lagi.

Enam kali. Sudah enam kali bintang dua menghiasi laman ulasan bukuku yang rilis akhir Februari kemarin. Belum ada tiga bulan, ribuan eksemplar sudah terjual. Para blogger dan book reviewer mengunggah foto kaver lengkap dengan ulasan mereka.

Hanya satu yang tak kusangka.

Buku ini kembali dengan jauh lebih banyak kritikan dibanding karya-karyaku yang lain.

Biar kutulis beberapa yang nyelekit hati:


Nayla wrote: Nggak seperti tulisan kak Clarissa yang biasa. Yang ini tone-nya lebih light, lebih ringan, tapi konfliknya juga lebih dangkal. Karakternya datar, konflik nggak jelas, lengkap dengan ending yang terkesan terburu-buru. I love Clarissa Kim's books, but for this one, it's a no-no for me.


Bahkan, akun jessisreading gak segan-segan memberi satu bintang dan menulis: Her worst book.


Buku terburukku, katanya. Yang realitanya adalah buku terlama yang kugarap karena risetnya.

Tapi sekarang juga mengalungi predikat "Buku Terburuk Clarissa Kim".

Seharian ini, mood nulisku berantakan. Aku punya tiga datelines upload konten YouTube dan Instagram, tapi semua berakhir dengan penjadwalan ulang. Akun Instagram dan Twitter-ku ramai bukan karena komentar positif—memang ada beberapa yang masih dengan baik hati melontarkan pujian untuk karya terbaruku yang (kata mereka) adalah hasil "eksperimen" karena keluar dari zona nyamanku biasanya—tapi sisanya adalah cercaan, hujatan, serta ungkapan kekecewaan.

Dan seolah itu belum cukup buruk, tadi pagi aku dan Alex bertengkar.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, hubungan kami agak renggang seminggu terakhir. Alex dengan kesibukan kerjanya dan aku dengan kesibukan menulisku. Ya, walau pekerjaan Alex sebagai software developer tidak mengharuskan kehadirannya 24/7 di kantor, ia masih punya bisnis online sampingan yang dikerjakan dengan teman-temannya. Bisnis itu blow up dengan cepat, dan kini mereka agak kepayahan mengerjakan orderan.

Aku bangga dan ikut berbahagia untuk keberhasilannya, tapi gara-gara itu kita jadi jarang ketemu. Ah, kalau dipikir-pikir, selama sebulan terakhir, kencan kita bisa dihitung jari.

Jujur, aku kesal. Kesal dengan diriku sendiri, kesal dengan Alex, kesal dengan pekerjaanku. Sudah lama aku tidak menulis diary seperti remaja labil, tapi biarlah di sini aku menumpahkan semuanya. Biar nanti, kalau Alex pura-pura sok cool dan menganggap pertengkaran kita tak pernah ada, aku punya bukti konkrit yang mencatat lengkap kronologi kejadian. Ha! Satu kosong untukku, camkan itu, Alex!

Dimulai dari pagi yang cerah, ketika Alex mampir ke rumahku membawakan sarapan.

Ia tahu aku bukan tipe cewek yang terbiasa makan pagi. Ditambah dengan jadwal yang semakin padat dan kesibukan tiada akhir, makan adalah hal terakhir yang kupedulikan sekarang.

Maka pagi ini sebelum berangkat ke kantor, Alex menyempatkan diri meneleponku, "Ke luar bentar, yuk. Aku di depan, nih, bawain kamu smoothie bowl."

Aku, yang saat itu baru bangun dan masih dalam keadaan acak-acakan, lantas membelalak. "Di depan? Di rumahku maksudnya?"

"Ya masa rumah tetangga." Ia terkekeh geli. "Buruan, ya. Aku tunggu sekarang."

Belum sempat protesku melayang, Alex sudah terlebih dulu mematikan sambungan telepon. Dengar, dari dulu aku bukan tipikan cewek perutuk. Tapi pagi ini, aku kesal bukan main. Tanpa sadar kata sialan berembus keluar dari mulutku bagai kereta kehilangan remnya. Jujur, dari semua hal, bertemu dengan Alex sekarang adalah hal paling bawah yang ingin kulakukan sekarang. Aku berdecak, loncat dari kasur dan langsung memperhatikan cermin. Sialan, untuk kedua kali. Ada dua jerawat besar di dahi.

Dan sialan untuk ketiga kali, dari semua hari, kenapa harus hari ini stok pimple patch-ku habis.

Membubuhkan make up hanya akan memakan waktu lama, sementara Alex sendiri juga harus mengejar waktu ke kantor. Jadi dengan helaan napas putus asa, aku merapikan rambut dan langsung melangkah keluar.

Alex tersenyum dan merentangkan tangan, tanda minta dipeluk.

Aku memeluknya enggan. "Tumben manja."

"Kangen."

Itu lebih mencurigakan. "Tumben kangen."

Jemari Alex menyisir rambutku, menyelipkannya di belakang telinga. Gerakan khas-nya saat ia sedang ngalem-ngalemnya. "Ada yang nggak balas chat-ku dari kemarin. Waktu ditelepon pun, ke voice mail dua kali."

Aku mengalihkan pandang. "Kemarin aku sibuk," ucapku.

Alex mengangkat alis, seolah menunggu penjelasan yang lebih lengkap, tapi aku hanya pura-pura tidak tahu.

"Mana smoothie bowl-nya?"

Akhirnya, ia menyerah. Ia mengambil sesuatu dari mobilnya dan menyerahkan sebuah paper bag berukuran besar padaku.

Aku mengernyit. "Apa ini?"

"Hadiah."

Kerutan di keningku semakin dalam. Ini bulan Maret, ulang tahunku bahkan tidak dalam waktu dekat.

Seolah bisa membaca ekspresiku, Alex menambahkan, "Kemarin aku nemenin Karin ke mal, terus lihat ada dress itu. Aku langsung ingat kamu, jadi aku beli."

Tapi paper bag ini terlalu besar dan berat hanya untuk ukuran dress.

"Oh, sama ada matching shoes-nya juga. Selama ini kamu selalu pakai setelan kantor, blazer, oversize, turtle neck. Sekali-sekali, kayaknya lucu kalau kamu pakai baju yang lebih ... cute." Ia tertawa. "Menurutku, bakalan lucu untuk pakai gaun dan sepatu itu ke acara formal. Mungkin, reunian SMA kamu nanti."

"Jadi menurutmu semua bajuku jelek?"

Alex tampak tertegun. "Hah?"

Aku tertawa sinis. Suasana hatiku mendadak berubah sangat buruk dan sebelum bisa kucegah atau kucerna, mulutku terlebih dulu bersuara, "Jadi menurutmu fashion style-ku selama ini buruk? Ah, iya. Pantes kalau aku ajak reuni kamu nggak pernah mau ikut. Aku kira kamu cuman males ketemu orang, ternyata kamu malu sama aku."

"Kamu ngomong apa, sih?"

Aku menatap mata Alex tanpa segan. "Aku ketemu Tasya."

Ia hanya bergeming di tempat.

"Kemarin, aku ketemu Tasya di Pakuwon. Dia bilang dia ketemu kamu minggu itu. Dua kali, Selasa dan Rabu."

Alex masih tidak berkata apapun.

"Yang mana hari ketika kita lagi sama-sama sibuk dan telpon aja nggak sempat." Aku tidak mengalihkan pandangan dari matanya. Suaraku mulai pecah, bahuku bergetar. Tapi bukan oleh karena tangisan, melainkan ringisan. "Dinner bareng Tasya berdua. Dua hari berturut-turut. Di luar pengetahuanku."

Tiga detik penuh hening. Sulit untuk mengatakan apa Alex marah atau takut, karena pemuda itu tidak menampilkan ekspresi apapun. Datar, tidak ada apa-apa, hanya sepasang mata yang menatap tajam.

Ia kemudian menaikkan satu alis. "Kamu cemburu?"

Aku ingin tertawa mendengar pertanyaan itu (bukan dalam artian bagus). Serius, dari semua respon, hanya itu yang bisa ia katakan?

"Nope," ketusku, mengalihkan wajah. "Aku cuman nggak ngerti kenapa kamu bisa dengan ringannya ketemu cewek lain sementara di sini aku uring-uringan soal kerjaan."

"Sora—"

"Gimana rasanya dinner berdua sama mantan setelah sekian lama nggak ketemu?" Kini aku berbalik menatapnya lagi, menampilkan senyum paksaan dengan mata memicing tajam. "Tasya bilang, kamu jadi lebih cakep dan dewasa. Katanya, efek date tante-tante. Padahal katanya, dulu kamu nggak suka sama cewek monoton, workaholic, dan nggak punya selera humor."

"Dengerin aku—"

Aku menyela, "Atau mungkin, kamu emang udah capek sama aku."

"Sora!"

Suasana pagi itu kacau sekali—bahkan kata canggung tidak cukup untuk menggambarkannya. Canggung, tapi juga tidak mengenakkan, penuh tensi dan amarah. Rahang Alex mengeras, matanya yang tajam menatapku lekat, yang awalnya kupikir karena ia marah. Tapi setelah diperhatikan lama-lama, ada kecewa dan luka di sana.

Terakhir aku bertengkar dengan Alex itu masalah pekerjaan—Alex menyarankan untuk istirahat, tapi aku melanggar bergadang untuk menyelesaikan tulisan sampai pukul 3 subuh. Alex tahu, ia marah dan aku balas membantah.

Tapi akhirnya, aku minta maaf. Kita baikan. Pertengkaran itu hanya tentang kami; tentang aku yang keras kepala.

Namun kini, pertengkaran kami melibatkan orang lain.

"Jadi ini kenapa kamu nggak balas chat seminggu terakhir? Aku telpon nggak diangkat, aku vidcall di-reject semua." Alex tersenyum pahit. "Bahkan sekarang waktu aku nyamperin kamu pagi-pagi, kamu malah kayak gini."

"Aku kayak gini bukan tanpa alasan, ya." Aku menelan saliva, mulai merasa lelah. Hari terang tapi suasana hatiku segelap kalbu. Mataku mulai basah, aku mati-matian menggigit lidah agar tidak keluar air mata. "Malam itu, aku ingat Tasya pakai dress yang sama."

Bola mata Alex melebar, seolah tak percaya apa yang baru ia dengar.

Air mataku jatuh. "Dia pakai dress persis kayak yang kamu bawain sekarang. Warna yang sama, motif yang sama. Apa coincidence kalau tiba-tiba aku ketemu Tasya dan sekarang kamu bawain aku gaun persis kayak yang dia pakai kemarin? Yakin kamu nemenin Karin di mal kemarin?"

"Jadi menurutmu aku selingkuh?"

Ada nada terluka di sana, tapi aku mendengkus tak peduli. Aku tak menjawab.

Alex menghela napas. "Oke, aku ngerti kenapa kamu marah. Tapi asumsi kamu keterlaluan, Ra. Kamu kenal aku berapa lama? Kita pacaran berapa lama? Kita ke pertemuan keluarga berapa kali? Apa selama itu aku pernah permasalahin cara berpakaian kamu? Perbedaan umur kita? Ambisi kerja kamu?"

Aku terdiam.

Alex benar-benar tampak marah. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi mengurungkan niat. Ia malah melirik alrojinya, alroji pemberianku pada hari anniversary kita yang pertama.

"Aku harus berangkat sekarang," ucapnya pelan. "Jangan lupa smoothies-nya dimakan."

Dan tanpa mengatakan apapun, bahkan tanpa berbalik untuk mengucapkan pamit dan memberi kecupan, ia langsung naik ke mobilnya dan pergi.

Pagi itu aku dilingkupi kecewa, marah, dan terluka yang luar biasa.

Aku bukan tipe perempuan yang cemburuan seperti ini, tapi peristiwa dengan Tasya selalu berhasil membuat darahku mendidih. Tasya mantan pertama sekaligus terakhir Alex, mereka jadian sejak kelas 2 SMA, berakhir kelas 3 saat kelulusan.

Tapi, mereka tetap berhubungan baik di kuliah, hingga akhirnya kerja. Tasya seumuran dengan Alex, dan ia tipikal gadis yang kamu akan lihat dalam film Mean Girls—manis, tapi menusuk di belakang. Ia selalu menyindir perbedaan umur kami dengan cara paling halus sampai kamu kira itu memang adalah salahku, ia juga sering membawa-bawa pengalaman kencannya dulu dengan Alex denganku.

Dan itu sama sekali tidak ada apa-apanya, sungguh. Dari awal aku berkencan dengan Alex, aku sudah mengantisipasi hal itu akan terjadi.

Tapi yang membuat aku murka adalah, fakta bahwa Alex diam-diam menemuinya berdua.

Tanpa sepengetahuanku.

Tapi, teguran Alex membuatku berpikir. Ini Alex yang kubicarakan, yang bahkan tidak update Instagram, yang tidak pernah meresponi chat flirt teman kantor, yang selalu tegas dan berprinsip dalam melakukan sesuatu.

Kini hari sudah malam dan aku baru terpikir sesuatu: Bagaimana kalau memang benar-benar kebetulan? Toh Alex bukan tipe orang yang memperhatikan pakaian orang sebegitunya--mungkin itulah kenapa tadi dia tampak terkejut ketika aku berkata dress pemberiannya dengan dress yang dikenakan Tasya sama. Mungkin ia sendiri tidak tahu, mungkin ia sendiri tidak ingat. Tapi kalau itu benar-benar hanya kebetulan, memang sebanyak apa stok kebetulan di dunia sampai semua terjadi begitu mirip?

Entahlah.

Sudah tiga hari aku dan Alex mogok bicara. Aku ingin mengirimnya pesan, tapi terlalu takut. Bukankah seharusnya dia yang meminta maaf terlebih dulu? Atau—ARGH! Persetan, aku benar-benar terlihat seperti remaja labil sekarang. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro