Pulang
"Aku janji akan membawamu pulang besok, ya?"
Di tengah suara ledakan yang memekakkan di langit dan udara musim dingin yang menusuk tulang, hanya suara lembut dan bayangan gadis berambut sebahu yang bisa kuingat, sebelum kegelapan menelan tubuhku bulat-bulat.
Ah, padahal aku sudah berjanji.
Saat mataku terbuka kembali, bukan pemandangan bak sampah besar maupun bau menyengat yang pertama kali menyapa seperti biasa, melainkan sesuatu yang putih bersih dan aroma yang belum pernah kucium. Sekali. Dua kali. Berkali-kali pun aku berkedip, pemandangannya tidak berubah.
"Selamat pagi, Tuan. Selamat tahun baru. Bagaimana kabarnya hari ini? Apa sudah siap untuk pulang?"
Kepalaku langsung menoleh ke sumber suara, kembali mematung saat melihat seorang manusia dengan baju putih tersenyum begitu ramah. Instingku pertama kali adalah mendesis, dan mengangkat kaki depan untuk menyerang manusia yang berani mendekat. Akan tetapi, begitu melihat ada yang aneh dengan bentuk kaki depan yang berkelebat lewat di sudut mata, sekali lagi napasku tercekat.
Tangan ... manusia? Apa yang-
"Kak Andrew!"
Mengalihkan pandangan dari tangan manusia, seharusnya telingaku tersentak penuh antisipasi mendengar suara yang tidak asing. Dan benar saja, sosok gadis berambut sebahu yang selalu kunantikan kedatangannya setiap hari.
"Hai kucing kecil, namaku Mia. Mi-a."
"Mia."
Tepat ketika kupanggil namanya, memori-memori yang tak pernah kuingat mendadak memenuhi kepala. Saat itulah aku sadar, bahwa aku terbangun di tubuh manusia bernama Andrew. Andrew adalah seorang laki-laki berumur dua puluh tahun, mengalami kecelakaan enam bulan yang lalu dan harus dirawat di rumah sakit sejak saat itu. Mia adalah adik perempuan satu-satunya masih SMA. Kedua orang tua mereka sudah lama meninggal, dan mereka hanya hidup dari sisa uang peninggalan orang tua dan kerja sampingan. Beruntung keluarga mereka cukup berada, hingga tidak perlu terlalu khawatir masalah makan sehari-hari.
Hari ini, setelah memastikan tulang rusuk dan paru-parunya hampir pulih sepenuhnya, akhirnya Andrew diperbolehkan pulang.
"Ya? Apa ada yang sakit, Kak? Atau Kak Andrew lapar?" tanya Mia sambil menekan sebuah tombol di dekat kasur, sehingga punggungku naik pelan-pelan ke posisi setengah duduk. "Mau makan apa?"
"Mau ikan."
"Oh? Ada rumah makan di depan rumah sakit, masakan ikannya cukup enak." Mia melirik pada wanita yang memakai baju putih di sampingnya.
"Saya akan kembali lagi nanti untuk penyelesaian administrasi," pamit wanita itu, sebelum berlalu.
Setelah wanita itu pergi, Mia langsung melihat padaku dan tersenyum lebih lebar. "Kak Andrew, aku pergi beli ikannya dulu, ya. Tunggu di sini saja, oke?" Aku sering melihat Mia tersenyum, tapi tak pernah selebar ini. Pasti dia sangat senang kakaknya bisa pulang. "Nanti aku juga ada kejutan buat Kak Andrew. Kak Andrew pasti suka. Aku pergi dulu ya, Kak!"
Aku hanya bisa tersenyum melihat punggung Mia yang menjauh, lalu menunduk melihat tangan sendiri. Aku mencoba menggerakkan jari-jari yang jauh berbeda dengan cakar yang kupunya dulu. Kulit putih pucat ini berbeda jauh dengan rambut hitam yang dulu kumiliki. Saat menoleh ke jendela, samar aku bisa melihat pantulan bayangan seorang laki-laki yang duduk bersandar di atas kasur.
Mau dipikir-pikir berapa kali pun, hal ini masih sulit dipercaya. Bagaimana bisa aku terbangun di tubuh seorang manusia? Apa yang sebenarnya terjadi? Semalam, aku ingat sekali, karena langit menjadi penuh dengan suara ledakan yang memekakkan telingaku yang sensitif, aku berlari mencari tempat berlindung. Ada banyak manusia yang berkeliaran pula. Seperti biasa, sosokku yang hitam kelam sering sekali mengundang ketidaksukaan dari manusia. Aku ditendang kasar, lalu mencoba kabur. Begitu kepalaku terhantam sesuatu yang keras entah dari mana, aku langsung berlari lebih kencang menuju bak sampah—tempat persembunyianku. Saat sampai di sana, aku justru merasa kepalaku semakin pusing, rasa sakit yang tadi masih ada dan tidak hilang-hilang. Aku hanya bisa terbaring lemah, dan mengingat perkataan terakhir Mia padaku hari itu sebelum menutup mata.
Bak sampah tempatku biasa berlindung dan mencari makan terletak tidak jauh dari rumah sakit. Kurasa, pertemuan pertamaku dengan Mia juga dimulai sekitar enam bulan yang lalu. Mungkin Mia menemuiku setiap dia baru pulang dari rumah sakit. Mia sangat baik, setiap hari dia akan membawakanku makanan meski sedikit. Awalnya aku takut pada Mia, tetapi lama-lama aku terbiasa dan memperbolehkan Mia untuk menyentuhku.
Tak jarang, Mia terlihat berat hati untuk berpisah. Aku pernah mengikutinya sekali, tetapi Mia menyuruhku untuk kembali. Dia bilang, dia belum bisa mengambil dan membawaku pulang. Namun, dia berjanji akan membawaku pulang saat waktunya telah tiba.
Namun, belum sempat aku dibawa pulang, aku malah terbangun di tubuh ini.
"Kak Andrew ingat kucing hitam yang sering aku ceritakan?" Mia sedang duduk di kursi samping tempat tidur, memakan makanannya saat bertanya padaku.
Karena ingatan Andrew menjadi ingatanku juga, aku mengangguk. "Ingat." Aku terlalu fokus menyantap ikan yang sangat sedap ini, sampai-sampai tidak bisa memberi jawaban yang lebih panjang. Merasa aneh mengeluarkan kata-kata, alih-alih suara "Meow, miaw, nyaa" juga menjadi alasan lain.
"Nanti aku akan bawa Kak Andrew buat lihat dia." Mia sepertinya tidak keberatan dengan jawaban singkatku, tersenyum makin lebar.
Kucing hitam. Apa Mia sedang membicarakanku? Aku yakin sekali 'aku' yang dulu sudah mati. Jika Mia melihat tubuhku, apa Mia akan merasa sedih? Aku sendiri tidak tahu bagaimana keadaan tubuhku yang dulu.
"Kenapa Mia suka kucing?"
Mia menatapku. Entah karena aku tidak merespons kalimat sebelumnya, atau karena pertanyaan dadakanku yang di luar dugaan. "Enggak tahu." Mia melihat ke arah jendela, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. "Suka saja. Saat lihat kucing, aku jadi suka dan ingin memeluk, merawat, dan memastikan mereka hidup enak. Entah datang dari mana, aku suka saja."
Begitukah? Memang bisa, ya, menyukai sesuatu karena alasan begitu? Aku juga suka Mia. Alasannya, Mia adalah satu-satunya manusia yang baik dan mau memberiku makan setiap hari kami bertemu. Tidak mungkin aku tidak suka Mia.
"Kak Andrew kan tahu aku punya cita-cita punya tempat penampungan kucing terlantar. Ada banyak sekali kucing-kucing liar yang tidak terurus, dan di luar sana orang-orang yang tidak suka kucing hampir sama banyaknya dengan orang yang suka kucing. Kucing-kucing yang tidak punya rumah sering kali disakiti dan menderita. Aku ingin membantu kucing-kucing seperti itu dan menjadikannya keluarga." Mia melanjutkan, perkataannya lagi-lagi membuatku terdiam. "Kak Andrew juga suka kucing, 'kan? Kalau pelihara kucing sebagai anggota keluarga baru, Kak Andrew mau, 'kan? "
Oh, benar juga. Ada percakapan seperti itu. Mia benar-benar anak baik. Tempat penampungan kucing terlantar? Itu terdengar sangat bagus. "Tentu saja."
Setelah kupikir-pikir lagi, pasti ada alasan mengapa aku terlahir kembali di tubuh seorang manusia. Apa itu artinya aku punya tujuan yang harus kulakukan?
Setelah makan pagi dan menyelesaikan urusan administrasi, kami tidak langsung pulang. Mia membawaku ke suatu tempat, aku sangat familier dengan jalan dan lingkungan ini.
"Tempatnya mungkin aneh, tapi ini kejutannya. Aku sudah menemukan anggota keluarga baru kita yang pertama. Selama enam bulan ini, kami sangat akrab. Aku belum berani membawanya pulang sampai Kak Andrew benar-benar pulih, makanya hari ini aku mau kita berdua melihatnya bersama-sama."
"Aku janji akan membawamu pulang besok, ya?"
Ah, ternyata itu maksudnya. Sejak awal, Mia sudah berencana untuk membawaku. Saat dia bilang sampai waktunya tiba, ternyata ini, ya?
"Aku sudah memikirkan nama, tapi Kak Andrew juga boleh mengusulkan nama. Dia warna hitam, tapi matanya indah sekali! Kak Andrew pasti suka!" Langkah Mia mulai terlihat ringan, terlihat sangat senang.
Aku mengikuti dari belakang, masih membiasakan diri berjalan dengan dua kaki. Mia terus mengoceh, membeberkan pengalaman yang sebelumnya sudah pernah ia ceritakan. Sebagai sosok yang sebenarnya terlibat langsung dalam cerita itu, aku sama sekali tak bosan mendengarnya.
Saat kami sampai di area bak sampah, suara Mia mendadak lenyap. "Kucing? Kamu tidur, ya?"
Tanpa suara, aku melihat Mia tertatih berjalan ke tubuh seekor kucing hitam yang terbaring di depan bak sampah. Ada darah kering yang keluar dari kepala kucing itu—tubuhku. Ternyata begitu, ya, keadaanku saat mati kemarin?
Mia menangis, menangis dan meminta maaf. Aku tidak tahu kenapa Mia meminta maaf, karena dia sama sekali tidak salah. Mia meminta maaf dan menyalahkan diri sendiri, mengatakan sesuatu seperti, "Seharusnya aku membawamu pulang lebih cepat." Aku tidak tahan melihat Mia menangis.
Karena tidak tahu harus bagaimana, aku memeluk Mia. Dia balas memelukku, menangis lebih keras. Dia menyayangkan kucing hitam yang akan menjadi anggota keluarga barunya mati mengenaskan seperti itu. Mia masih menyalahkan diri sendiri. Dia berjanji tidak akan lagi menunda-nunda begitu melihat kucing terlantar. Mia tidak mengizinkan hal yang sama terjadi dua kali.
"Tentu Mia. Untuk sekarang, ayo pulang." Aku memeluknya lebih erat. Dalam hati, aku juga merasa kosong dan sedih.
Mungkin ini adalah tujuanku. Terlahir kembali, untuk menyelamatkan kucing-kucing yang mungkin nasibnya sama denganku. Dengan tubuh baru ini, aku berjanji akan membantu Mia mewujudkan mimpinya.
Untuk sekarang, aku hanya ingin pulang. Aku ingin pulang bersama Mia. Aku senang bisa pulang.
-selesai-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro