Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Now to Know

"Ayo, cepat bawa Haidar kemari!" teriak beberapa siswa yang sudah menunggu di pinggiran kolam kodok.

Heru dan Billy pun segera merangkul pundak sang target. Disusul dengan Tian dan Geo memegangi kedua kaki pria siswa lugu incaran mereka. Mereka membopong Haidar sembari tertawa puas. Sedangkan Haidar hanya sedikit memberontak kebingungan.

Begitu sampai di pinggiran kolam, dengan kompak mereka melempar tubuh lemas Haidar ke dalam kolam.

"Habede, Haidar!"

Namun sebelum benar-benar tercebur, tangan Haidar reflek menarik bahu Billy. Membuat Billy ikut terpeleset dan kepalanya terbentur keras mengenai pinggiran kolam.

*****

Mataku terpejam begitu merasakan kakiku yang terkilir. Menanti detik-detik kepalaku yang pasti akan terbentur pinggiran kolam. Aku memejamkan mata cukup lama, tapi aku tidak merasakan apa-apa. Hanya punggung yang sakit seperti habis dilempar ke air.

"BILLY!"

Mataku otomatis terbuka begitu ada yang meneriakkan namaku. Pandanganku langsung tertuju ke pinggiran kolam. Tepat dimana seorang siswa mirip diriku—eh, tunggu, apa itu tubuhku? Yang sedang terkulai dengan mata terpejam dan darah melumuri belakang kepala ..., itu aku?

Aku mematung. Menyaksikan tubuhku yang sedang dikerubungi oleh banyak siswa. Wajah mereka jelas panik bukan main. Dengan lemas, aku berusaha mengentaskan diri dari kolam kodok. Namun belum berhasil naik, Heru menatapku dengan tatapan membunuh. Lalu tanpa basa basi dia mendekat dan mendorongku kembali tercebur ke dalam kolam.

"KAU PEMBUNUH!" teriak Heru yang membuat perhatian siswa lain ikut tertuju padaku.

Tunggu, jika aku bisa melihat tubuhku sendiri, bukankah berarti aku sudah mati? Lalu kenapa orang-orang masih bisa menyadari keberadaanku, dan menatapku sinis?

"Haidar, kau benar-benar dalam masalah besar kali ini," ujar Heru penuh penekanan. Lalu remaja berambut ikal tersebut pergi menghampiri tubuh matiku yang mulai dibopong beberapa siswa menuju UKS.

Hah? Bukankah tadi ia sedang berbicara padaku? Tapi ..., Haidar? Hei, namaku bukan Haidar.

Kutepuk pipiku berulang kali, berharap bahwa ini semua hanya mimpi. Namun yang aku lihat adalah jemari tanganku yang lebih kurus dan panjang. Jelas tidak seperti tanganku yang biasanya. Ini seperti tangan ... si pecundang letoy itu, Haidar!

*****

"Lihat pembunuh itu."

"Si Letoy, berani juga dia membunuh Billy."

"Gausah temenin."

"Hei, sejak dulu dia emang ga punya teman kali. Hahaha."

Cercaan demi cercaan terus memasuki gendang telingaku sepanjang perjalananku menuju ruang BK. Aku hanya menunduk, berjalan lemas dalam dinginnya tubuhku yang padahal sudah berganti pakaian olahraga. Tidak, ini pasti mimpi. Terjebak dalam tubuh seseorang yang paling aku benci, yang telah membunuhku! Aku harap kau sedang dicincang di neraka sana, Haidar sialan!

"Permisi ...," ujarku lirih sembari membuka pintu BK secara perlahan.

Namun aku dibuat terkejut begitu pintu yang masih kupegangi itu seketika dibuka lebar-lebar oleh seseorang. Terlihatlah sosok wanita paruh baya dengan air muka kesedihan sekaligus amarah yang membara. Wanita tersebut menatapku seperti hendak memakanku hidup-hidup. Ah, wanita itu adalah ibuku sendiri.

PLAK!

Pipiku terasa panas dan perih begitu mendapatkan tamparan keras dari ibuku sendiri. Aku tak berani menatapnya. Hanya menangis sesenggukan. Sebelumnya, aku tidak pernah melihat ibu semarah ini. Hanya tatapan lembut dan kasih sayang yang selalu ia berikan padaku selama ini.

"JADI KAU YANG TELAH MEMBUNUH BILLY-KU, HAH?!"

Ibu lanjut mencengkeram pundakku dengan keras sembari menggoyang-goyangkannya. Aku tak menjawab. Membuat satu tamparan lagi mengenai pipiku yang satunya.

"KAU, KAU PEMBUNUH! AKU AKAN MEMBUNUHMU!"

Selanjutnya, aku merasakan leherku yang hendak dicekik oleh ibu. Namun, guru BK dan ayahku segera menarik ibu kembali. Cekikan itu akhirnya terlepas dan membuatku mampu kembali bernapas.

"Ibu, harap tenang. Tewasnya anak ibu bukan karena kesengajaan," ujar Bu Nihwa, kepala sekolah, dengan cukup bijak. Mata teduh di balik kacamata kotaknya itu pun beralih menatapku dengan senyum kecil. "Haidar, silahkan duduk dulu."

Dengan kaki yang masih gemetar, aku menurut dan segera duduk di hadapan ibu dan ayahku sendiri. Aku melirik sebentar, melihat ibuku yang masih menangis histeris dalam dekapan ayah. Tak jauh berbeda, wajah ayahku juga nampak memerah memendam kesedihannya.

Ibu ..., Ayah ..., aku masih hidup. Aku ada di hadapan kalian sekarang! Tanpa sadar, air mataku menetes dalam gumaman frustasiku. Aku ingin memeluk dan berteriak di hadapan mereka sekarang juga, mengatakan kalau aku masih hidup. Tapi dengan tubuh menjijikan ini, yang ada mereka hanya akan semakin mengumpatku karena berbicara omong kosong.

"Saya ga mau tau! Pokoknya sekolah harus keluarin pembunuh ini! Kalau bisa, bawa aja ke polisi! MASA DEPAN DIA HARUS HANCUR! HARUS!" teriak ibuku yang terus menatapku penuh amarah.

Hal itu tentu saja membuat hatiku begitu tersentil. Namun yang bisa aku lakukan hanyalah mencengkeram telapak tanganku sendiri dengan tangis yang sesenggukan. Ah, kenapa aku jadi payah begini? Aku jarang menangis sebelumnya. Jiwaku seharusnya kuat. Apakah setelah memasuki jasad si letoy ini aku jadi begitu lemah? Tapi ini begitu menyakitkan.

"Tidak bisa begitu, Bu. Dari beberapa cerita siswa lain, mereka melihat kalau sebelumnya anak ibu dan teman-temannya melempar Haidar ke kolam kodok sebagai kejutan ulang tahun. Lalu Haidar tidak sengaja menarik Billy hingga anak ibu terbentur tepian kolam. Sudah berarti ini murni kecelakaan, Bu."

"TETAP SAJA ANAKKU TEWAS KARENANYA!"

Bu Nihwa dan seluruh orang di ruangan terdiam begitu ibuku berteriak lagi. Percuma saja guru BK tadi menjelaskan panjang lebar, jika ibuku sudah terselimuti amarah, kesedihan, dan dendam yang besar.

Aku masih belum tahu harus bersikap apa. Hanya menyimak perdebatan orang dewasa yang sedang mengurus permasalahanku ini.

"Begini saja, Bu. Ibu dan bapak pulang dulu saja. Tenangkan diri, biar sekolah yang mengurus Haidar ini. Kami satu sekolah benar-benar meminta maaf dan berbelasungkawa atas kematian murid kami, Billy," ujar Bu Nihwa dengan mata yang berkaca-kaca. Jelas Bu Nihwa tahu bagaimana rasanya menjadi ibuku, yang kehilangan anak semata wayangnya.

"Benar kata Bu Nihwa, Sayang. Kita pulang dulu, ya. Kita urus anak kita dulu," tambah Ayah sembari memeluk ibuku lagi. Air mata kembali mengaliri pipinya.

"Kita harus laporin dia ke polisi, Yah. Dia pembunuh," rengek ibuku yang terus menangis histeris.

"Menuntut anak di bawah umur atas kematian yang tidak disengaja malah akan berdampak pada kita, Bu. Biarkan sekolah saja yang urus, oke?" ujar ayahku lagi. Ibu tidak menjawab. Ia hanya bisa terus menangis dalam pelukan ayah. Ah, bolehkah aku bergabung dalam pelukan hangat itu? Aku juga sedang menangis, Ayah, Ibu. Aku membutuhkan kalian seperti saat SD dulu aku takut pada malam yang penuh petir.

"Haidar ...,"

Dengan mata memerah, aku menoleh pada guru BK.

"Untuk beberapa hari ke depan, kamu akan diskors."

*****

Pulang sekolah aku tidak tahu harus kemana. Aku tidak tahu di mana tepatnya rumah Haidar. Alhasil, aku hanya berkeliling taman kota dengan berjalan kaki. Ah, apakah Haidar begitu miskin hingga tidak mempunyai sepeser pun uang di saku seragamnya? Sial! Bahkan telepon genggam saja dia tidak bawa. Bagaimana bisa aku tahu di mana rumahnya kalau begini.

Kurang lebih sudah 2 jam aku berjalan kaki dari sekolah. Senjakala mulai menyapa. Membawa udara malam yang kian terasa. Meski jalanan masih dipenuhi desakan kendaraan. Tetap saja tubuhku rasanya membeku akibat tercebur di kolam kodok tadi. Ah, mungkinkah aku masuk angin sekarang?

Tanpa sadar, ternyata si kaki malah membawaku ke kolong jembatan tol, tempat yang biasa menjadi tongkronganku dan teman-teman di malam hari. Biasanya aku akan datang ke sini sepulang les sore. Setiap hari beralasan kepada ibu bahwa ada jam tambahan les hanya untuk berpesta bersama teman-teman di sini hingga jam 8 malam. Tanpa sadar aku tersenyum miris mengenangnya. Belum genap sehari aku terjebak di tubuh sialan ini, aku sudah merindukan kenakalanku saja.

"Ah, sayangnya udah gak ada Billy sekarang."

Mendengar suara samar serta derap langkah beberapa orang yang hendak mendekat, aku segera bersembunyi di balik tembok pilar jembatan yang lain. Setelah beberapa saat, dapat kulihat ada Heru, Rio, Seno, Tian, Geo, dan beberapa teman tongkronganku yang lain muncul. Dua orang dari mereka membawa masing-masing satu kardus. Aku yakin salah satu kardusnya itu berisi minuman keras—seperti biasanya—, dan yang satunya lagi camilan. Mereka semua pun terduduk lesehan di tanah, namun ada juga yang duduk di batu atau kayu yang ada.

"Iya, Yan. Ga ada Billy jadi ga ada yang jajanin kita lagi," sahut Seno sembari meletakkan kardus di tanah.

"Padahal kan dia anak mamih, orang kaya lagi, mau minta uang berapa aja pasti dikasih sama mamihnya," tambah Geo yang menyalakan rokoknya.

"Udahlah, gan, setidaknya masih ada ni makanan. Lu pada ga cukup apa makan segini? Kalau ada Billy mah ini diabisin semua ama dia," sahut Rio.

"Iya juga ya, kan dia doyan makan. Ngaku-ngaku badan gede mirip Arnold Schwarzenegger, ga nyadar padahal badan melar kayak sumo. Hahaha ...." Sahutan Geo tersebut lantas mengundang tawa teman-temanku yang lain.

Tanganku terkepal mendengarnya. Detak jantungku bertempo lebih cepat bersiap untuk meledak menahan emosi. Bisa-bisanya mereka menjadikan teman mereka sendiri yang sudah meninggal sebagai lelucon.

"Hush, jangan ngatain orang mati. Entar digentayangin tau rasa lu."

"Kira-kira Billy jadi setan apa, ya, nanti?"

"Genderuwo dia mah! Hahaha ...."

"Hahaha bener juga."

"Hahaha ...."

"Hahaha ...."

Suara tawa mereka terus menggema di otakku. Ini sudah keterlaluan. Jiwaku yang sudah dibaluri sakit hati dan amarah lantas menampakkan diri dari persembunyian dan menemui mereka. Satu per satu dari mereka mulai menyadari keberadaanku. Raut wajah mereka jelas menunjukkan kebingungan melihatku—dengan fisik Haidar—yang berani menatap mereka dengan nyalang.

Namun tak lama berselang, Heru mulai bersenyum miring. Lalu ia pun mendekat dan merangkulku.

"Ada apa dengan matamu, heh?" tanyanya sembari membawaku pada teman-teman mereka. Ekspresi mereka pun berubah menatapku remeh.

Dengan kasar, kuhempaskan tangan Heru dari bahuku. Dan mendorongnya cukup keras hingga terhuyung. Teman-teman yang lain pun sontak berdiri dan membantu Heru bangkit. Dapat kulihat, emosi Heru mulai terpancing. Ia kembali mendekat dengan tatapan kebencian. Dengan gerakan cepat ia mencengkeram wajahku.

"Kamu jadi ngerasa jagoan abis membunuh sahabat kami, Billy, huh?!" tanya Heru penuh penekanan. Lagi-lagi, kuhempaskan tangan Heru dari wajahku. Aku berdecih dan balas tersenyum miring.

"Oh ya? Apa sekarang kau sedang sok-sok'an membela sahabat yang kau manfaatkan selama ini itu?!" tanyaku balik dengan emosi yang tak tertahan.

"Bang*at!"

Satu pukulan Heru layangkan tepat di rahang bawahku. Tubuhku terhuyung. Begitu akan bangkit, teman-temanku yang lain malah memegangi lengan kanan kiriku. Alhasil, aku tidak bisa apa-apa selain mengerang mendapatkan berbagai pukulan berulang di perut.

"Kau pantas mati, Letoy!"

Satu lagi pukulan keras mengenai pelipisku. Penglihatanku mulai memburam. Aku hanya pasrah menahan sakit, bahkan ketika darah kental mulai membuncah keluar dari mulut dan hidungku. Tubuhku terasa runtuh dan lemas. Selanjutnya, mereka meletakkan aku begitu saja di tanah.

"Heru, dia berdarah. Bagaimana kalau dia mati?" tanya Geo yang cukup khawatir.

"Biarkan saja. Kita tinggalkan," jawab Heru enteng.

Samar-samar dapat kulihat mereka berkemas membawa kardus mereka dan pergi meninggalkanku sendiri. Selanjutnya, hanya suara jangkrik dan samar suara kendaraan yang menemaniku. Dinginnya malan mulai menusuk hingga tulang. Aku harap ada seseorang yang datang memelukku, memberikan kehangatan.

Teman, aku kira aku mempunyai mereka. Tetapi, mereka justru menganggapku sekedar bank berjalan. Tanpa sadar, air mata terus menetes dalam kesakitanku. Hingga semuanya pun begitu gelap untuk kutatap.

*****

Mataku mengerjap begitu merasa secercah cahaya mengusik tidur panjangku. Aku sedikit terkejut menyadari mulut dan hidungku yang tertutupi alat bantu napas. Tak hanya itu, tangan kiriku juga diimpus. Suara alat pendeteksi detak jantung juga ada di ruangan ini. Sedikit demi sedikit, aku mulai terjaga dan memaksakan diri untuk terduduk. Kulihat sekeliling dan mulai sadar kalau kini aku berada di rumah sakit.

Suara pintu terbuka mengalihkan perhatianku untuk menengok.

"Ah, kau sudah siuman, Nak Haidar," sapa Pak Dokter yang nampak bahagia.

Aku tak menjawabnya. Hanya terdiam begitu dokter tersebut mulai memeriksa laju nadiku, dan hal lain yang tak kumengerti.

"Napasmu sepertinya sudah mulai normal. Mau dilepaskan saja?" tanya dokter menunjuk alat bantu napasku. Aku hanya mengangguk dan membiarkan Pak Dokter melepaskan benda tersebut dari wajahku.

"Aku tertidur berapa lama, Dok?" tanyaku lemah.

"Eumm, sekitar seminggu, Nak." Jawaban dokter tersebut membuatku cukup terkejut.

"Sebentar. Saya hubungi ibumu dulu, ya," ujar dokter sembari berjalan keluar dari ruangan.

Aku kembali tak menjawab. Hanya terbengong memikirkan apa saja hal yang baru kulalui ini. Waktu terus berjalan hingga tak lama kemudian pintu ruangan kembali terbuka, menampilkan sosok wanita dewasa yang terlihat muda dari penampilannya. Apakah dia ibunya Haidar? Tapi kenapa ekspresi wajahnya datar-datar saja. Seolah tidak terlalu peduli.

"Akhirnya kamu bangun juga. Mama sudah siapin semua surat pindah kamu. Kamu bakal sekolah di luar negeri," ujarnya sembari menaruh beberapa bingkis buah di meja.

"Sudah cukup kamu buat Mama malu karena masalah kamu ini. Mama pindahin kamu ke luar negeri supaya Mama ga sering-sering lihat muka kamu lagi." Ujaran yang selanjutnya itu semakin membuatku terkejut. Bagaimana bisa seorang ibu tidak ingin melihat wajah anaknya sendiri?

Lagi, padahal jika dilihat-lihat, ibu Haidar ini cukup kaya, lalu kenapa uang jajan Haidar selama ini terlihat miskin? Bahkan berangkat sekolah saja pakai angkot.

"Ma? Aku anak mama, 'kan?" tanyaku ragu, dengan nada yang bergetar.

"Eh? Dokter gak bilang kamu mengalami amnesia. Tapi kenapa kamu kayaknya gak tahu apa-apa?" tanya balik ibu Haidar kebingungan.

"Oke, Mama peringatin lagi. Jangan pernah tanya tentang kamu anak Mama atau bukan. Itu ngingetin Mama sama kelakuan busuk Bapakmu dan selingkuhannya itu, paham?!" tanya Mama terdengar tegas. Otakku sedikit berputar mendengarnya. Benar-benar tidak paham.

"Tapi ..., tetap saja aku anakmu, Ma. Kenapa kau tidak ingin melihatku?" tanyaku lagi yang kelewat penasaran.

"Bukan! Kau bukan anakku! Kau anak si jalang itu! Aku memungutmu karena wajahmu begitu mirip dengan suamiku yang brengsek dan kurindukan itu! Berapa kali harus Mama peringatin kayak gitu, hah?!"

Jantungku terasa berhenti berdetak mendengarnya. Tidak, ini bukan kehidupanku, tetapi kenapa hatiku ikut teriris. Air mataku kembali terjatuh mendapatkan bentakan dari ibu Haidar.

"Jadi, itulah kenapa tante ga pernah bela Haidar padahal tante tau kalau Haidar dibully di sekolah? Itulah kenapa tante biarin Haidar serba kekurangan di sekolah dan pura-pura mengadopsi padahal menelantarkannya?" tanyaku dalam sekali napas. Selanjutnya, napasku begitu sesak untuk dihirup.

Mengetahui banyak fakta menyedihkan di balik senyum bodoh pecundang yang sering kubully itu, mengapa rasanya menyakitkan? Aku membencinya, karena membuatku mati dan terperangkap pada tubuh sialan ini. Tapi, kenapa aku lebih membenci diriku sendiri? Kenapa aku membenci diriku yang terlambat mengenalnya dan merangkulnya? Belum lama aku terperangkap di tubuh ini saja sudah membuatku ingin mati saja. Tapi Haidar? Dia bodoh! Bisa-bisanya dia masih bisa tersenyum di tengah kepedihannya. Aku akui, aku lebih pecundang darinya.

*****

Akhirnya, kudapatkan hidup baru ini. Meninggalkan masa-masa SMP di tanah air yang pilu. Ini hari pertamaku sekolah di Korea. Meski belum terlalu fasih, aku sudah mempelajari bahasa negeri gingseng tersebut dalam waktu dua bulan terakhir. Aku melangkah cukup yakin memasuki sekolah SMA-ku. Terkadang, rasa rindu pada ibu dan ayahku kembali menyeruak. Apakah mereka sudah punya anak lagi dengan cara mengadopsi? Ah, ingin sekali kutemui mereka jika saja mereka tidak membenci Haidar.

Begitu sampai di kelas, aku melihat sedikit kegaduhan di sana. Ternyata seorang gadis berkulit gelap dengan rambut keriting tengah dikerubungi oleh teman-teman sekelasku. Mereka sesekali mengusiknya dengan menyentuh rambut keriting tersebut.

"Hei, apa kau berendam di kubangan? Kau hitam sekali, eww," ujar gadis cantik yang duduk di hadapan gadis berkulit gelap tersebut. Satu kelas pun turut tertawa. Wah, sepertinya tidak beres ini. Apakah pandangan pertama yang kulihat di sini adalah tindak rasisme?

Dengan segera, kutarik gadis berambut keriting tersebut dari kerumunan, dan membawanya ke taman sekolah. Aku tak peduli pada sekitar yang menatapku aneh dan tak suka.

"Jangan lemah," tegasku setelah sampai di taman. Gadis tersebut pun tersentak dan menundukkan wajahnya.

"Tapi ..., mereka benar. Fisikku begitu menjijikkan," ujarnya yang dilanjut dengan tangis sesenggukan.

Aku menatapnya pedih. Ini sama yang kurasakan saat menjadi Haidar dulu. Ditatap rendah oleh orang sekitar, dan dijadikan boneka.

"Omong kosong. Mulut mereka yang menjijikkan."

Dan sejak hari itu, aku memutuskan untuk berteman dengannya. Walau dengan begitu, terkadang aku juga ikut jadi sasaran bullying dan rasisme. Aku malah merasa senang. Karena dengan ini, aku bisa menghukum diriku sendiri atas apa yang pernah Haidar rasakan dulu. Aku tidak peduli selama aku mempunyai sahabat yang benar-benar tulus kali ini. Aku akan terus melangkah tanpa memedulikan gapaian tangan mereka yang hendak menjatuhkanku, lebih tepatnya menjatuhkan Haidar.

Si Pecundang Letoy itu yang telah membuatku banyak mengetahui segalanya. Mulai sekarang aku berjanji, akan membanggakan jasad Haidar ini dengan kesuksesanku di masa depan. Bagaimana pun, aku harus membayar kesalahanku. Karena ...,

... sekarang aku tahu.

-selesai-

Note : Ada yang pernah baca fiksi mini '5 Waktu Yang Kurindukan' di work 'Aku dan Kenangan Sekolahku', nggak? Kalau ada, cerpen ini adalah sequel-nya, hihi. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro