New Life
Madie menghela napas. Ia tidak tahu kenapa ia berbuat demikian. Manusia itu mati sendiri di dekatnya pada bulan lalu. Semakin lama bukan hanya satu mayat yang tergolek di lantai kamar. Kini beberapa undukan yang kehilangan jeroan, kepala dan tubuh yang terpisah sudah tertumpuk di ruang bawah tanah. Madie yang kebingungan menunggu bukti untuk melapor ke polisi.
Pernah suatu ketika dia terjaga sepanjang malam. Namun yang terjadi ialah saat ia bergerak, raganya justru tertinggal duduk di kursi. Dan raga Madie justru bergerak sendiri.
"Apa ini?" Tanya Madie kebingungan.
Madie berjalan mengekori, sampai dia dihadang oleh Pirus---makhluk yang senantiasa menemaninya di alam mimpi. Madie ditarik ke angkasa dan menyaksikan bintang tampak berkilau.
"Pirus, kenapa kau menarikku?"
Pirus tersenyum, menurunkan kepanikan Madie, "Apa kau tidak ingin bersamaku Madie? Aku sudah menunggumu sejak tadi."
Madie menghela napas, seharusnya ia tidak membiarkan sukmanya ditarik Pirus. Kini ia harus menanggung akibatnya setelah subuh tadi ditangkap.
"Tidak ada waktu lagi. Kau lihat! Meskipun dia diikat, tetap mayat ada di sini."
"Aku tidak tahu, tapi kursi listrik dengan voltase tinggi pasti akan melumpuhkannya. Siapkan flamethower, senapan, dan para penembak terbaik."
"Umumkan ke semua masyarakat kota. Malam tahun baru semua harus di rumah."
Telinga Madie aktif menangkap percakapan mereka. Ia sadar hidupnya tidak akan lama lagi. Ia mencoba untuk berpikir positif. Dia itu remaja. Manusia paling sial sedunia lebih tepatnya. Sejak kecil, dia selalu dirisak temannya karena warna kulit, namun siapa sangka malah teman-teman sok kuat yang menindasnya mati duluan di kamar Madie. Lalu untuk kasus lain, orang tuanya menghilang tanpa jejak. Pamitnya mereka mau bekerja, namun hingga kini saat anaknya mau dieksekusi mati, mereka tak pernah hadir sekadar untuk menangisi. Madie saat itu hanya sendirian, kesepian, sembari menunggu hasil laporannya ke polisi. Selama itu dia hidup sebatang kara. Sering bolos sekolah, bermain sendiri di rumah besar berlantai dua. Rumah Madie sebenarnya berdebu di berbagai ruangan. Dia hanya membersihkan sebagian, kemudian pergi membeli makanan dari luar, atau memasak jika memang dia berniat. Makanannya selalu dihabiskan di depan cermin. Bercerita di sana seharian. Malamnya dia tidur cepat supaya bertemu dengan Pirus---manusia bersayap yang selalu mengajaknya berpetualang dan memahaminya.
Namun kini semuanya lenyap. Dia didorong dengan kursi roda menuju tempat eksekusi. Di penghujung akhir hayat, semuanya tak hadir. Madie menangis, namun tak seorang pun mau mengiba pada monster kecil itu.
"Silakan ambil posisi Nona, duduklah di singgasanamu, kau akan menjemput teman-temanmu ..." ujarnya, "Ah tidak, kamu akan menjemput iblis di neraka. Ups jangan marah, kau akan tidur nyenyak di kuburan sembari digigiti belatung, tapi tolong habis ini jangan menghantui kami. Tidurlah dengan nyenyak, seperti semboyan pada patok kuburanmu."
"Rest in piece!" Lalu dia tertawa. Para manusia berseragam di sana mendengus dan menegur Romie---polisi yang terus mengejek Madie.
Madie kini sudah pada posisinya. Kedua tangannya diikat pada lidah kursi. Tubuhnya melekat pada kursi, saking kuat ikatan tali. Mulutnya dibungkam, puncak kepalanya diberi topi dengan ukuran sama dengan kepala Madie.
"Tenanglah di alammu Nak, ini semua demi kebaikan yang lain. Ikhlaskan semuanya." Ujar Tuan Hamid. Hanya pria itulah yang berlaku baik pada Madie. Dia menyuapi Madie, mengajak Madie berbincang bagaimana kejamnya hidup. Hanya itulah kegiatan seru yang dilakukan Madie, sebagai manusia tersial di dunia, akhirnya Madie bisa menerima fakta bahwa manusia lain juga memiliki kesialan.
"Kita memiliki jatah sial masing-masing."
Ucapan itu terngiang-ngiang di telinga Madie. Menimbulkan beribu-ribu harap untuk menjumpai jatah kebahagiaan. Dalam malam tahun baru yang sangat lesu, aliran listrik merambat dari kepala hingga sekujur tubuh. Rasa panas membara mengalir bersama dengan getaran maha dahsyat yang seolah bisa merontokkan setiap tulang yang bertaut. Jantungnya yang berdetak seolah mendobrak keluar ingin berlari. Mata Madie yang diliputi oleh air mata kini semakin temaram. Dia teringat kata terakhir yang diucapkannya di dunia. Hanya sebuah terima kasih pada manusia baik hati bernama Tuan Hamid. Ulasan senyum darinya melebihi seribu seringaian dan kebencian para penduduk di sini.
Semoga Tuan Hamid segera menemukan kebahagiaan. Semoga ia selalu bertemu dengan kemudahan. Madie terus menggemakan kata itu dalam hati hingga ujung nyawa.
Lalu semua gelap, hembus napasnya mereda. Telinganya yang berdenging mulai senyap. Namun ini hanya berlangsung sepersekian detik. Madie bisa merasakan tubuhnya kembali normal. Dalam ketakutan tiada tara, ia terus terpejam. Takut sekali kalau sampai dia dibombardir dengan senapan laras panjang, ataupun disembur flomethower.
"Sampai kapan kamu terpejam Madie?"
Gemelayar terasa di perut. Detak jantungnya terasa lebih hidup. Aroma udara terasa begitu manis meskipun asap dari jasadnya menyebar. Madie membuka mata dan mendapati Pirus sudah berdiri di hadapannya. Lengkap dengan bunga serupa mawar putih yang bercahaya. Dia tersenyum.
Madie melirik sekumpulan polisi dan tentara, kemudian mendapati Tuan Hamid sedang mengusap sisa air mata yang menyembul keluar.
Di sana ada sedikit kejanggalan. Pertama Madie melihat raganya. Kedua, di samping Pirus, ia melihat Madie lain berdiri. Dengan raut wajah pucat pasi, tanpa sayap, dan dia memegang lili putih yang bercahaya. Madie dua melangkah mendekat, membuat Madie asli bingung setengah mati.
"Ini untukmu, terima kasih untuk semuanya." Madie dua memberikan bunga lili putih bercahaya. Tubuhnya tiba-tiba bercahaya, lalu rambut mulai terurai, merembet ke bagian tangan dan kaki, lalu wajah. Senyumnya penuh kesenduan. Madie asli terpaku melihat bunga lili di tangannya bercahaya kuat dan lenyap merasuk ke tubuh Madie asli.
Perasaan dingin merasuk ke dalam tubuh Madie. Sejuk, dan juga bercahaya. Ia merasakan punggungnya ditumbuhi sesuatu. Dan ia baru menyadari kala cahaya itu lenyap. Sebuah sayap tumbuh dan kalung liontin melingkari di lehernya.
Kini giliran Pirus yang mendekat. Setiap pijakan Pirus seolah menjadi bahan bakar jantung Madie berdetak. Senyum Pirus meniupkan energi untuk terus hidup. Madie merasakan itu, saat tangan mereka saling bertaut dan terbang menuju langit malam. Meninggalkan Tuan Hamid dan segala hiruk pikuk kehidupan di bumi.
***
Selain terkejut dengan pemandangan sekitar, portal masuk ke sini membuat siapa pun mual, kini ia dikejutkan dengan pernyataan Pirus.
"Aku sudah punya kekasih di sini Madie. Kau hanya bisa menemuiku saat semua tidur. Aku akan mendatangimu. Ini semua demi kebaikanmu."
Perasaan Madie benar-benar kacau. Baiklah, alasan Pirus memiliki pujaan hati lain sebenarnya bisa diterima akal, namun mengapa? Mengapa takdir membawanya kemari kalau di kehidupan setelahnya Madie harus berurusan dengan maut.
"Aku pergi dulu Madie. Lelaplah di sini bersama Fly Fliet. Kamu bisa terbang, tapi jangan melintasi pohon besar menyala itu ya."
Pirus lenggang meninggalkan Madie. Meninggalkan cerita yang tak masih membekas di benak. Tentang Madie yang sudah menjadi dirinya yang asli. Padahal ia berada dalam raga yang berbeda. Di tubuh manusia bersayap. Di langit yang berwarna-warni seperti manifestasi galaksi. Di sini sangat sunyi. Hanya ada ekosistem unik. Fly fliet yang bercahaya seperti kunang-kunang, namun tubuhnya mirip sekali dengan penyu. Lalu ada Catefise---lele bersayap yang terselubung gumpalan air. Pohon-pohon dengan daun jarang yang menyala. Bunga-bunga yang mengeluarkan gelembung bercahaya dan meletus di perairan.
Suasana di sini begitu sunyi, sama seperti di bumi saat ini. Meskipun Madie tak yakin, pasti mereka sedang menyelebrasikan kembang api terbesar di angkasa atas kematian Madie, si gadis monster yang imut atau Madie, si manusia paling menyebalkan yang tidak tahu kalau dirinya bukan manusia biasa.
Madie larut dalam pikiran. Sembari menghitung mundur supaya jam kerja dunia lain segera berlalu, supaya Pirus segera kemari. Namun nyatanya, larut dalam pikiran hanya berlangsung sekejap. Madie harus menyesapi keindahan, dan tidur di rumput yang menusuk pinggang.
Ia teringat akan pesan Pirus, kalau sampai Madie tertangkap penghuni dunia ini, maka ia akan dibunuh hidup-hidup. Dooplegangernya diburu oleh seluruh kaum. Madie yang merebahkan badan segera terbangun sebab sebuah gulungan perkamen jatuh di jidatnya.
"Aduh!" Lele bersayap itu mendekat, kumisnya menyabet-nyabet rambut Madie, dia berbisik, "Jangan percaya siapa pun. Pirus, dia menyekap orang tuamu di dalam menara es di puncak Reverust."
Awalnya Madie tidak percaya, tetapi perkamen ini memberi peta dimana orang tuanya disekap. Tidak ada cara lain selain membuktikannya. Madie harus pergi!
***
Jalan yang dilalui Madie landai. Hanya beberapa semak belukar yang masuk ke jalan setapak ini kadang membelit sayap putihnya. Setelah beberapa saat, ia menemui pohon yang dimaksud Pirus. Pohon besar seperti beringin yang bercahaya. Dengan berat hati ia meninggalkan pohon itu, dengan harap cemas, ia berharap orang tuanya bisa ditemukan.
Hingga beberapa hari telah Madie lalui, dia tidak tahu pergantian hari, perjalanannya begitu damai. Tidak ada yang mengenalinya, dan yang terpenting ini tidak semenakutkan perkataan Pirus. Madie sudah terbang dan disapa oleh beberapa manusia terbang lain, diingatkan untuk melihat jalan dengan hati-hati, jangan lihat peta terus.
Mereka lumayan ramah. Dia sudah menyeberangi satu perairan besar dan kini ia berada di lembah yang cukup lebar. Lembah kering dan tandus, dari sini Madie dapat melihat sebuah gunung yang puncaknya tertutup awan. Masalahnya awan ini tidak berupa gumpalan putih dan lembut, melainkan kelabu dan petir menyambar.
"Pirus meletakkan orang tuaku di puncak ..." Madie bermonolog lirih, "apa ia setega itu?"
Ia pun terbang ke sana, tanpa menyadari bahwa Pirus sudah lama berada di belakang. Matanya menatap nyalang, pipinya penuh goresan. Ia tahu Madie pergi, burung Catefisa sudah berkhianat.
Alhasil tak ada pilihan lain selain membuntuti Madie dan merubah wajah Madie.
Tidak ada halangan yang berarti selain mengepung Madie, dia beberapa kali nyaris tersambar, dan satu kali tersambar petir. Dia hanya lemas lalu melanjutkan langkahnya dengan terseok-seok. Madie terbang hingga mencapai puncak. Namun sebelum membuka pintu, Pirus terlebih dahulu menahan Madie.
"Jangan sekali pun Madie, jangan buka pintu sialan ini."
"Ya benar, aku menahan orang tuamu."
"Kenapa?" tanya Madie penuh dengan gejolak amarah.
Pirus membisu
"Kau menahannya di sini, kau tidak berpikir bagaimana orang tuaku menahan rasa takut akan badai, menunggu ajal sembari diberi harapan palsu agar aku kembali. Sekarang aku ke sini untuk menjemputnya." Madie segera mendobrak pintu itu namun tidak bisa.
Pirus menatap Madie yang terus menendang dan memukul pintu. Gadis itu terus menangis dan menatapnya bengis.
"Madie, minggirlah, kau mau orang tuamu kan? Tapi siapkan dirimu, percayalah, aku begitu menyayangimu."
Pirus mengeluarkan cahaya yang begitu kuat di tangan dan mengarahkan cahaya itu pada lubang pintu, tak lama pintu itu berdesis dan berderit.
Daun pintu terbuka lebar. Madie segera meninggalkan Pirus yang menatapnya sayu. Saat Madie berjalan di tangga, pikirannya seolah membaca ukiran di dinding es menara. Di sana terukir ilustrasi manusia yang menyatukan tangan dengan ras peri. Di bawahnya tertulis: inilah menara pengorbanan, kau bisa menyumbangkan seluruh umurmu pada yang terkasih, tempat bunuh diri terbaik.
"Di lantai pojok." Ucap Pirus tadi saat membuka pintu.
Madie berlari ke sana, dengan kegamangan penuh dia melihat bayangan ia dilahirkan dengan tubuh biru, ayah meraung-raung, begitu pun ibu. Cukup sudah mereka diburu akibat ketamakan marga Centauri yang melakukan perjanjian terlarang dengan Roh Gunung Everust. Jangan berkat anak turut diambil oleh takdir. Orang tua Madie frustasi, mereka terbang tinggi dan menggapai tempat terlarang, di mana badai tebal melingkupi. Mereka melakukan perjanjian terlarang dengan Ruh Everust melalui perantara Pirus dan memberikan sisa umurnya pada Madie.
Madie menangis, lalu saat dia mendorong pintu ruangan, ia melihat onggokan tulang dan sebuah baju biru yang kini terlihat sobek dan usang. Itu adalah seragam yang dikenakan orang tuanya kala bekerja. Madie menangis pilu, cahaya dari kalungnya bergerak di depan menjadi Madie dua. Madie dua bersuara dengan suara ayah dan ibunya, ia berujar, "Tetaplah hidup Madie, berbahagialah ..." Lalu ia kembali merasuk ke dalam tubuh Madie, menjadi sebuah liontin ungu muda yang berpendar indah. Di sana Madie telah limbung tertidur dengan wajah yang hanya bisa dikenali Pirus, ia menyisakan beberapa air mata yang kering.
Setidaknya, Ayah dan Ibu telah menjadi bagian dalam raga Madie.
-selesai-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro