Memori dan Keinginan
Untuk kesekian kalinya, aku melakukan kesalahan. Aku melupakan waktu belajar, berdebat dengan orang-orang keras kepala, hingga membuang waktuku untuk hal yang sia-sia yang lain. Padahal, aku tahu. Seharusnya aku diam saja, tapi lagi-lagi mulut ini terus bergerak, jari ini terus menekan layar, dan yang paling buruk, saat sisi kreatif dalam otakku kusimpan dengan yakin di tempat yang sama, seolah aku akan mengingatnya lagi esok hari.
Aku merasa sombong sekali.
Orang-orang diam, lalu membicarakanku setelah aku tidak lagi bersama mereka. Yah, aku tidak keberatan. Jika memang aku begitu, hatiku harus lapang, aku harus menjadi orang baik.
Itu keinginanku dari dulu yang tidak pernah terkabul. Nyatanya, sampai sekarang aku terus menipu orang lain dan diriku sendiri dengan berpura-pura bisa melakukan banyak hal. Aku mungkin beruntung karena mereka tak sengaja melihat sedikit sisi baik dari diriku.
Bagaimana bisa seseorang yang kehilangan semangat hidup melakukan hal sesulit itu?
Terlalu banyak beristirahat dan melakukan hal-hal tidak berguna. Aku melawan hampir semua keinginan positif sebelum kehilangan jati diri. Kelakuan seperti itu benar-benar membuat sesak.
Aku mendongak, memandang langit tanpa bintang akibat polusi cahaya yang semakin meradang. Tanpa ku ketahui saat itu, seorang pengemudi truk melaju dengan lampu mobil yang mati, menabrakku yang tengah menyebrang tanpa kehati-hatian.
Jantungku berdebar, diikuti rasa sakit luar biasa. Suara tak dapat lagi kudengar, meski masih bisa kurasakan tubuhku basah. Mungkin oleh darah.
Aku pasti akan mati.
*
"Rion?" suara wanita kudengar di balik cahaya lampu yang mencoba menusuk mata.
"Rion!" tubuhku diguncang, membuatku yang baru sadar, pening.
Rion siapa? Kenapa aku masih bisa mendengar? Bukankah seharusnya aku tidak lagi hidup?
Setelah mataku terbuka sepenuhnya, dapat kulihat semua orang menangis. Dokter mengatakan aku mendapatkan sebuah keajaiban.
Kembali dari kematian.
Aku mengalaminya, tapi dalam tubuh yang berbeda. Aku bukan orang yang sama. Lantas, bagaimana dengan "Rion"? Aku bukan anak itu.
Awalnya kupikir kami bertukar tubuh, tapi tubuhku yang asli pasti telah hancur. Kemungkinan besar Rion pasti telah di angkat ke langit.
Satu hal besar yang menjadi pertanyaan, siapa Rion ini?
*
Aku kembali, empat tahun lebih muda. Dalam tubuh seorang anak berusia lima belas tahun, aku tinggal. Keadaan benar-benar berubah, aku mendapatkan banyak kasih, semua hal yang aku inginkan pun diberi. Hidup anak ini mendekati kesempurnaan. Namun belakangan, aku tahu bahwa Rion pernah "belajar", tapi mendapatkan kesulitan, sama sepertiku.
Di atas mejanya, banyak barang-barang elektronik ternama khusus untuk bermain game. Namun jika ditelusuri lagi, ia menyimpan beberapa alat tulis baru yang berdebu.
*
"Rion, maafkan mama."
"Rion, aku minta maaf."
"Sebenernya aku pernah nuduh kamu atas kesalahanku, tapi kamu gak tau sampai sekarang."
"Aku yang kemarin nyimpen permen karet di kursimu."
"Rion ...."
Seketika, orang-orang meminta maaf. Aku merasa bahwa dunia mulai berbalik 180°, di mana biasanya orang yang kukenal gengsi akan permintaan maaf dan rasa terima kasih. Mungkin karena mereka pernah kehilangan, orang-orang baik padaku.
Pelajaran sekolah yang pernah aku kerjakan menjadi sulit, meskipun aku tahu bahwa otak ini "milikku", kelalaian mengharuskanku kembali ke awal. Namun begitu, untungnya kemampuan milik Rion tidak sepenuhnya hilang, seperti kemampuan bahasa asing yang selalu kulihat dalam benda yang sering aku gunakan.
Belakangan, aku tahu bahwa aku hidup di masa yang sama. Rion meninggal akibat shock di detik-detik pergantian tahun, sedangkan aku meninggal di tabrak truk berisikan keluarga besar yang akan merayakan tahun baru di tengah kota. Selain waktu kematian, kami juga memiliki beberapa kesamaan.
"Aku akan belajar besok", catatan yang kutemukan, ditulis setahun lalu. Namun, dalam semua buku dan perangkat milik Rion, ia hampir tidak pernah menulis kecuali memang dibebankan tugas. Sama sepertiku.
Rion menyimpan banyak dokumen penting, tapi tidak pernah membukanya. Hal itu juga sama denganku.
Rion berusaha untuk melakukan banyak kegiatan positif, namun karena kesempatan untuk bermain juga masih ada, ia memilih jalan lain tanpa dapat mengendalikan waktu. Sama ... sepertiku.
Penolakan beruntun terhadap Rion juga pernah aku alami. Yah, tampaknya kita saudara yang terpisah. Mungkin hanya satu hal yang membedakan kita.
Kesempatan.
Dalam tubuh ini, aku memiliki kesempatan untuk berubah. Jika aku berusaha sekarang, aku juga akan membahagiakan ia yang kini telah berada di langit dan diterima di universitas yang selalu aku mimpikan.
Dengan segera, aku mengambil alat tulis berdebu di atas meja. Aku merangkum dokumen pelajaran yang disimpan Rion. Namun, baru sepuluh menit aku bergerak, aku mulai malas, tapi kenapa aku dapat bermain selama berjam-jam tanpa rasa lelah? Menjengkelkan. Aku tidak suka bagian dari diriku yang seperti ini.
Tiga puluh menit saja, aku berharap dapat bertahan selama itu. Aku tidak ingin menyesal di kemudian hari, aku tidak ingin harga diriku diinjak lagi. Penolakan beruntun membuatku muak.
Ah, aku teringat masa lalu.
*
Dua jam?! Aku bertahan selama itu? Aku yang hampir tidak pernah bergerak ini ... kenapa bisa?!
Aku yang dipenuhi rasa bangga lantas meneruskan belajar. Berselang tiga menit, sebuah pesan masuk. Sepertinya waktu untuk menonaktifkan notifikasi telah habis.
"Hei. Mikha!" Seseorang yang tidak kukenal tiba-tiba mengirim sebuah pesan di sosial media.
Mikha, itu aku! Bagaimana bisa dia mengetahuinya, sedang dia mengirimkan pesan lewat media sosial milik Rion?
Dua detik kemudian, aku membalas. "Bisa kita bertemu?"
"Tentu." Tidak lama setelahnya, orang misterius itu mengirim alamat temu.
Sejak saat itu, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak setiap malam, hingga hari pertemuan tiba di akhir pekan ....
"Ini terjatuh saat kau berlari di hari Senin," ucap si pemuda misterius di balik masker, sembari memberi buku catatanku yang hilang kemarin. Tidak pernah kulihat ia sebelumnya, bahkan bentuk tubuhnya pun, terasa asing.
"Terima kasih, tapi bagaimana bisa kau—" belum selesai aku berbicara, ia memotong.
"Itu ... tubuhku," ujarnya menunjuk wajahku.
*
Penjelasan panjang lebar telah usai, kami lalu mengobrol tentang bagaimana sulitnya hidup menjadi orang lain. Penyesuaian diri benar-benar berat.
Aku tinggal di tubuh milik Rion, dan Rion tinggal di tubuh temannya yang telah tiada. Sedang Mikha yang mengalami kecelakaan tidak menjadi "wadah". Artinya, tidak ada yang dapat tinggal dalam tubuh yang hancur, kecuali jika dirasuki.
"Kita punya kesempatan, ya." Rion berkata.
Aku menghela napas, "ya."
"Aku menginginkan banyak hal." Rion kembali berucap, memandangi sekolah favorit di depan kami.
Aku tahu, ia menginginkan belajar di tempat itu sejak lama, hanya saja karena dirinya tidak dapat bersaing, Rion terpaksa harus memilih sekolah lain. Setiap melihat dia, rasanya aku sedang bercermin.
Maaf atas ucapanku, aku tidak sengaja, karena situasi di sini tak kunjung membaik.
Kami diam sejenak, mengistirahatkan pikiran dari hal-hal berat, akan tetapi tidak lama kemudian, pertanyaan mengganjal datang. Apa dari awal ada sesuatu yang tersembunyi? Seperti keyakinan akan diri sendiri.
Hal yang menyebabkan jiwa ini kesulitan tumbuh. Apa itu?
Adakah sesuatu yang tidak aku sadari, namun sering terjadi?
Aku hanya mengingatnya selama beberapa menit setiap harinya. Itu pun, tidak terjadi di saat yang bersamaan.
Setiap hari!
"Kita terlalu banyak berpikir." Rion berkata.
Aku membalas. "Kita mendapatkan salah satu kunci."
Kami kembali terdiam, satu kesalahan besar telah ditemukan. Sekarang ....
Aku dan Rion berkata dengan keras, "Temukan kepingan ingatan yang hilang!"
Aku paham sekarang, ingatan kecil yang terselip, teguran atas kelalaian. Kepingan puzzle yang dianggap hilang, ternyata ada di bawah kaki kita.
-selesai-
Catatan: cerita ini tidak bermaksud untuk menyinggung maupun merendahkan suatu pihak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro