Kasam yang Berkirau
Dia memang serupa setan yang lebih rendah dari binatang. Meski akan menggagahi raga semata wayang perawan yang memiliki darahnya, tangan kekarnya terus menjelajah. Mulut berbingkai kumis dan janggut tipis itu pun tak henti menelusuri leher, kemudian hinggap lama di bibir. Berulang kali dia bisikkan, bukan salahnya. Tubuh yang tergolek pasrah ini yang memulai. Benar, aku yang memancingnya. Aku ingin dia ingat tentang malam berdentum petasan di segala penjuru. Juga buru napasku yang habis di malam itu.
***
Tuan—begitu dulu aku harus menyapanya—selalu punya cara untuk menyampaikan hasrat. Kadang, ketika Nyonya menyiduk nasi di meja makan, Tuan bertanya setelah menyeruput sebentar kopi yang baru dihidangkan, apa tidak rindu kampung? Sering pula Tuan sengaja duduk di pelataran belakang sambil membaca koran kemudian berujar, apa tidak ingin libur barang sehari? Tak jarang juga selepas lantai atas dipel, Tuan menyisipkan tiga lembar uang seratus ribuan diiringi bisik, itu untuk jajan.
Memang, menggeleng atas pertanyaan Tuan susah dilakoni, meski bukan lagi dia bujang bertampang mumpuni. Otot-otot yang selalu dia banggakan acap kali berkisah sudah dimakan usia. Sudah kepala lima umurnya. Namun, Tuan memiliki aroma kuat yang setiap disesap terhirup wangi manis yang segar. Wewangian itu membuat mata susah terpejam, jika tidak membayangkan rambut klimis Tuan yang memutih, dan hidungnya yang mancung, serta tatap yang disertai suara lembutnya. Kata orang di pasar, Tuan punya semacam ajian pemikat sekaligus pelindung. Tuan, yang merupakan pemilik dua puluh pintu kontrakan dan satu toko material, mungkin orang kolot yang doyan kasih uang ke dukun. Bagiku, dibanding dugaan susuk yang dipasang di sekujur badan, Tuan tahu bagaimana menangani perempuan. Tidak serta-merta dia membeli apa yang dimau, tetapi memberi apa yang dibutuhkan.
Pernah aku bertanya pada Nyonya seusai kami menyantap makan malam tanpa Tuan, apa dia tidak cemburu? Yang bekerja di rumah ini tentu gadis yang masih lugu, yang kalau disuruh ini-itu pasti mau. Nyonya menyeka mulutnya dan menggenggam tanganku, dia katakan, itu bukan masalah. Tidak ada alasan baginya untuk cemburu. Tuan memang dari dulu seperti itu, baik dan perhatian. Dia ingatkan aku tentang betapa Tuan sangat menyayangi kami. Ditambah, lebih dari lima bulan tubuh tempat sukmaku bermukim saat ini terbaring nyaris mati. Kalau bukan karena pembantu, sudah pasti urusan rumah bisa terlantar. Dan mengambil yang bukan perawan, tambahnya, bisa rawan. Nyonya mengingatkan lagi—seolah memang raga sukmaku benar lupa ingatan—soal badan yang tidak cekatan, anak tidak dikasih makan, sering izin pulang kampung, dan yang lebih parah uang di dompet berkurang.
Nyonya tidak tahu, kalau tenaga pembantu perawan mereka tidak hanya tersalur lewat sapu, kain pel, panci, atau mesin cuci. Nyonya tidak menyadari, setengah waktu mengabdi pembantu mereka diserahkan ke Tuan. Tuan mencuri tenaga itu secara terang-terangan, tetapi terselip apik. Kalau sudah sering Tuan minta kopi diantar ke ruang kerja, keluar dari sana membuat pertahanan untuk setia pada Nyonya pelan-pelan runtuh.
Ruang kerja, tempat di mana Tuan menghabiskan jam saat sedang tidak ke toko, dipenuhi lukisan yang memenuhi dinding. Seni sangatlah indah, begitu Tuan memulai dan meminta ditemani sebentar. Sambil menyeruput kopi akan dia kisahkan hidupnya. Mulanya, dia tidak meminta lebih, hanya ingin disimak. Nyonya selalu sibuk dengan arisan dan putri mereka, sedang Tuan butuh wadah untuk berbagi keluh kesah. Hingga kagum tumbuh mekar di hati, bak bandar yang membagikan sabu-sabu secara gratis, tuturan Tuan bikin keranjingan. Kalau tidak mendengar sehari suaranya, pikiran penuh dengan di mana Tuan? Bisa-bisa, seharian rajin menengok ke ruang kerja. Kepincut, itu yang Tuan mau. Jika sudah begitu, Tuan menaikkan permintaan. Mulai menawarkan sesuatu yang lebih dari sabu-sabu; sesuatu yang menantang, yang memenuhi kebutuhan, dan bikin penasaran. Tanpa ragu lagi, diajarinya kode.
Setahun lebih sebagai asisten rumah tangga dan setengah tahunnya khusus mengangguki pertanyaan Tuan, aku hafal betul kapan tagihan itu akan datang. Setelah Warsih yang kata Tuan pulang kampung, giliran Ayu yang ditanyai. Setahun sukmaku merasuk ke raga baru dan naik derajat dari babu ke majikan, sudah berulang kali tertangkap mata Ayu yang dikasih uang oleh Tuan. Sudah beberapa kali pula Tuan menawarkan liburan, termasuk pagi ini. Saat Ayu mengangguki tawaran Tuan untuk pulang kampung, lewat satu malam rumah tanpa pembantu, aku meninggalkan kasur empuk dan Nyonya yang terlelap.
Tanpa mengendap, aku memergoki Ayu yang tengah merias diri. Tuan memang sesuai apa yang dituturkan mulutnya sendiri; suka kerapian dan teratur. Dulu, setiap kali ingat dua kata itu semangatku membuncah. Bahkan meluber hingga terlalu berlebihan dalam berdandan. Nyonya tak marah. Curiga pun tidak. Nyonya hanya berpikir, seperti putri semata wayang mereka, aku ingin tampil menarik. Dan didukung ocehan Tuan soal lirikan salah satu karyawan di toko, Nyonya berhasil dikibuli. Namun kini, mengingat dua kata itu membuatku ingin meludah. Terlebih dempulan di wajah Ayu melebihi biduan yang saban asar keliling diiringi musik dari gerobak. Sudah siap tempur dia.
"Non Nasha?" Ayu masih tampak linglung, saat kulewati dia. "Dari mana Non tahu saya di sini?" Suaranya bergetar dan tubuhnya gemetar. Segera dia tutup pintu. "Non tahu saya di sini dari siapa?"
Aku tahu karena memang pernah bermukim kilat di sini; di salah satu pintu kontrakan Tuan. Jarang ada yang lewat dan tetangga hanya tahu ini kontrakan kosong yang terkadang ditengok Tuan.
"Non ...." Jemari Ayu bertautan. Masih gemetaran tubuhnya.
Aku duduk di pinggir ranjang yang memang Tuan sediakan untuk si penyewa. Sambil memperhatikan tubuh tambun Ayu dari atas sampai bawah, aku menyabet ponselnya. Seperti yang sudah Tuan lakukan terhadapku, mungkin juga ke Warsih, dan sekarang ke Ayu, rentetan kata-kata memabukkan jiwa ada di kotak pesannya. Bahkan ada rekam suara Tuan. Suara berat dan serak itu dengan lancar memuisikan asmara.
"Ini saya bawa." Ponsel itu aku masukkan ke tas.
Begitu berdiri, Ayu langsung mencekal lenganku. Tersedu dia mohon ampun, bahkan sampai bersujud. Mungkin, jika dulu aku ketahuan, akan melakukan apa yang Ayu lakukan sekarang. Mengemis agar Nyonya tetap tidak tahu, mengatakan bahwa aku disuruh, dan menyatakan rela dipecat tanpa pesangon. Lihat, Ayu begitu rapuh. Untuk beberapa menit yang lalu pikirnya pasti membumbung. Barang kali selepas malam ini Tuan melamarnya. Mungkin lusa mereka berbulan madu ke negara tetangga. Dan hari-hari setelahnya akan hidup bahagia, meski berstatus madu jahanam. Aku juga dulu sempat mencicipi indahnya khayal yang dibangun berdasarkan apa yang Tuan beri.
Ayu sama sepertiku dan mungkin juga serupa dengan Warsih. Mungkin pula kami senasib dengan mereka yang sudah bekerja sebelum kami masuk ke ruangan Tuan. Terjerat di sana. Menghambakan diri untuk memuja kebaikan Tuan. Membaiat hati hanya pada Tuan seorang. Pada Ayu kukatakan, bahwa mulutku akan terkunci. Dia cukup berdiam diri di sini, jika mau aman. Biar aku yang menghadapi Tuan.
Di pengkolan mana Tuan akan menyambangi, di sana aku menanti. Jalan mulai lenggang dan sorot lampu jalan lumayan memberi penerangan. Beberapa pengendara motor sempat melirik, aku merasa kembali ke setahun lalu. Ketika cintaku masih menggebu. Tanpa peduli tatapan orang yang lewat, aku tetap menunggu di pengkolan tempat bertemu. Juga sabar berdiri di tikungan yang ditunjuk Tuan, tiap kali menerima tawaran libur sehari. Dan mengubur rasa malu guna membukakan pintu di jam yang ditentukan Tuan setelah menerima tambahan uang jajan. Dulu, aku merasa bisa melebihi Nyonya. Wajah puas Tuan. Pujian Tuan. Sampai sekarang, jika lupa apa yang terjadi, mungkin leherku tetap terikat rantai Tuan.
Kini, kembali duduk di samping Tuan dalam mobil, aku merutuki parfumnya. Semakin dihidu, aroma manis dan segar semakin membelenggu kewarasanku. Semakin disesap, semakin aku ditarik ke masa lalu. Semakin dihirup, semakin aku sulit menolak untuk maju.
"Kenapa kamu ada di sini, Sha? Mami tahu kamu keluar malam-malam begini?"
Aku mengalihkan tatap. Tidak bisa mundur lagi. Sekarang waktu yang tepat. Sudah cukup lama aku menahan diri.
"Sha?" Suara serak dan berat Tuan kembali bertanya. Tatap kami sempat bertemu sebentar. "Ini sudah kelewat malam, kalau Papi enggak sengaja lewat sini, bagaimana kamu pulang? Walau sudah sehat, jangan keluyuran malam kayak dulu lagi."
"Aku cuma cari angin. Di rumah agak pengap karena Mami terus membuntuti."
Tuan terkekeh. "Wajar, dong. Kami sangat khawatir waktu kamu kecelakaan. Mami bahkan enggak mau pulang ke rumah sebelum kamu sadar."
Oh, ya? Aku ingat ke mana Tuan bermalam ketika pertama Nyonya menginap di rumah sakit. Tuan tidur di kamarku. Aku juga ingat di mana kita menghabiskan malam sewaktu putri kalian di antara hidup dan mati. Di vila daerah Bogor. Dan aku juga ingat tentang Tuan yang mengajakku ke Bandung, sedang Nyonya masih kekeh tidur di rumah sakit.
Aku bergeser sedikit. Tepat di lampu merah, aku memulai apa yang pernah Tuan ajarkan. Bau jamu samar menguar dari mulut Tuan, jelas karena usia Tuan bukan lagi muda. Ketika aku kecup telinga Tuan, Tuan langsung menoleh. Alisnya mengerut. Aku tersenyum. Sekali lagi, aku melakukan hal itu. Tuan langsung membuang muka. Dadanya naik-turun. Napasnya memburu. Marahkah? Murka? Atau malah merasakan hal yang dia nantikan?
Lekas, aku pindah ke jok belakang. Ingatanku masih kuat tentang bagaimana Tuan ingin diperlakukan. Aku menjulurkan tubuh dan kembali mengecup telinganya. Kali ini kubisikkan, "Papi, bukankah dunia sudah berubah?"
Ujung mata Tuan yang berkeriput semakin berkedut. Aku bersandar di jok tengah sembari melucuti baju. Sesekali Tuan melongok ke belakang. Lalu, tangannya memutar setir, membanting arah. Bukan lagi menuju rumah. Kami beberapa kali pernah bermain di jok tengah. Tuan mengajarkan segalanya. Jadi, begitu mobil di parkir di luar area makam tak terawat, tubuh ini sudah pasrah digagahi.
Tuan bertingkah sebagaimana biasanya. Menarikku kembali dalam buaian nikmat laknat yang mau tak mau kuacungi jempol. Aku biarkan bisiknya memenuhi telinga. Bukan soal maaf, dari bau jamu yang lumayan menyengat, disalahkan tubuh putrinya. Dia tidak bisa membiarkan kail berisi umpan menggantung begitu saja. Ambil, bila perlu gigit dan tarik hingga si pemancing tercebur dan turut tenggelam. Betapa Tuan sangat menjunjung hasrat biadabnya.
Seperti yang diinginkan Tuan, aku yang memegang kendali. Tubuh kami berbalik posisi. Seperti yang pernah kami lakukan, tubuhku sekarang aku gerakkan sesuai kemauan Tuan. Tanpa diajarkan lagi. Tanpa Tuan harus mengarahkan lagi. Tersirat kepuasan di wajah Tuan. Belum cukup, aku beri yang dia mau terus dan terus. Tuan mendesah. Entah sadar atau tidak, dia membisikkan namaku.
Aku mendekatkan wajah. Sorot Tuan yang sudah sayu membalas tatapku. Aku memintanya mengulang. Sebutkan lagi namaku.
"Marni ...." Tuan membelai sebelah pipiku.
Sekali lagi, Tuan. Sebut namaku sekali lagi.
"Marni ...."
Oh, rupanya Tuan masih mengingatku. Apa Tuan juga masih ingat tentang tubuh yang tergolek di antara batu, sedang langit yang serupa kanvas hitam diciprati warna-warni terang? Malam itu aku kesakitan, Tuan. Aku merasa rusukku menusuk paru-paru. Tulang dan tengkorakku remuk. Aku bisa membaui basahnya tanah dan darah. Telingaku masih mampu menangkap dentum dan percik kembang api, juga samar trompet di kejauhan. Namun, hanya mampus yang Tuan lontarkan dari atas.
Apa Tuan tahu betapa takutnya aku malam itu? Yang terlintas hanya janin di rahimku, anak kita, yang baru saja Tuhan tiupkan ruh untuknya. Untuk sesaat aku merasa sukmaku ditarik paksa. Aku mati. Melayang dan mungkin akan gentayangan. Betapa saat itu aku ingin terbang ke muka Tuan. Balik mencaci dan mencekik seperti Suketi yang diperankan Suzanna. Namun, Tuhan seperti memberi kesempatan. Entah memang begitu atau sengaja membuatku semakin tenggelam pada dosa.
Tuan, apa Tuan percaya jika aku mengatakan bahwa aku adalah Marni? Perempuan yang Tuan janjikan untuk ditemani sehidup semati? Perempuan yang Tuan sayang? Perempuan yang bisa mengalahkan Nyonya untuk memuaskan Tuan?
Tuan sudah terlelap. Usia memang tidak bisa ditipu. Sehabis kami bergumul hebat, akan pulas tidurnya. Aku elus lagi wajahnya. Wajah yang sudah menua. Wajah yang membuatku menggali liang lahad di neraka. Lalu, aku menyalakan pendingin mobil, Tuan tidak suka kegerahan. Dan merapatkan semua kaca mobil, Tuan sangat menjaga rahasianya. Lalu memunguti setelan bajuku dan menutup pintu mobil.
Di luar angin lumayan kencang. Sunyi dan lampu penerangan jalan berpendar muram. Tertatih aku menjauhi Tuan yang masih mendengkur. Seperti kebiasaannya. Dan setelah ini, aku harus benar-benar berterima kasih pada Tuhan.
-selesai-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro