Harusnya Aku Biarkan Saja Mereka
Ingatan terakhir Raihan berada di penghujung 31 Desember dengan petasan meledak di atas kepalanya—menyalakan langit malam yang gelap. Cahaya itu seakan membentuk titik-titik peta yang buyar dalam beberapa detik setelah ia tergambar.
Di sisinya ada Agung dan Dea. Bertautan tangan satu sama lain. Tangan Raihan ada di dekapannya sendiri sebagai upaya untuk menjaga kehangatan tubuh.
Hari ini sudah 1 Januari.
Apa yang berbeda dari tahun ini dengan tahun sebelumnya?
Tidak ada.
Raihan masih terbangun di atas kasurnya. Tidak ada alasan khusus perihal bangunnya yang terjadi secara mendadak. Entahlah, mungkin dering di ponselnya yang membangunkannya. Mungkin sinar matahari yang tembus dari kamarnya juga ambil peran.
Ada satu pesan masuk dari Agung.
Bangun cepat, Bodoh. Kita harus bergegas.
Kening Raihan berkerut. Bergegas ke mana?
.
Tangan Agung direntangkan selebar mungkin. Dea, yang berdiri di sisi Raihan, mendengus melihat kelakuan anak laki-laki itu yang terlihat kenakana. Raihan sendiri memilih diam, benaknya masih bertanya-tanya kenapa Agung tiba-tiba mengajak mereka ke sini.
Bukit dekat rumah mereka. Tujuh belas tahun Raihan hidup, Raihan tidak pernah ingat lima belas menit dari rumah mereka ada bukit yang bisa didaki untuk menikmati sinar matahari pagi. Rasanya Raihan tidak seapatis itu dengan lingkungan sekitarnya.
"Udara hari ini cerah luar biasa."
Ya, sangat cerah.
"Panas," komentar Raihan. Dia mengambil posisi duduk di dekat Agung dan Dea mengekorinya. "Kamu kenapa?"
Agung menolehkan kepala. "Kenapa apanya?" tanya balik Agung.
Raihan kembali mengerutkan kening. "Tiba-tiba ngajak ke sini," jelasnya. Dia menunjuk Dea yang sudah berada di sisinya. "Kamu punya rencana berdua sama Dea, ya, awalnya?"
Dea mendengus. "Mananya berdua, sih? Ini, kan, rencana kita dari lama." Dea kemudian mengulas senyum. Gadis itu terlihat manis sekali, tetapi di ingatan Raihan itu sudah lama sekali sejak Dea tersenyum kepadanya dengan semanis itu. "Kamu yang bilang kalau kamu ingin coba nikmatin matahari pagi sama kita."
Kapan Raihan bilang seperti itu?
Sebelum Raihan bisa bertanya lagi, Agung melempar sebuah botol ke arah Raihan. Entah botol dari mana, Raihan hampir saja tidak bisa menangkapnya karena terkejut dengan Gerakan yang tiba-tiba dari temannya itu.
Botol susu kedelai.
"Kamu belum sarapan, kan, Han?" Agung bertanya lagi. Raihan yang masih linglung mengenai apa yang terjadi pun mengangguk. "Minum susunya. Tadi Dea bawa dari rumah, tapi dia nggak punya kantong jadinya aku yang bawa."
Di sebelahnya, Dea mengangguk semangat sebagai bentuk konfirmasi.
"Terima kasih?" Sekali pun terdengar ragu, Raihan tetap menghargai segala usaha yang telah dilakukan oleh teman-temannya. "Apa aku keseringan gak sarapan sampai kalian tau?"
Agung kelihatan berpikir sejenak. "Gak terlalu, sih. Aku gak terlalu ingat kamu sarapan atau gak, teehee." Agung menyeringai polos. "Kayaknya Dea yang tahu kebiasaanmu sampai mendetail. Makanya Dea juga yang bawain susunya buat kamu."
"Ya, dong! Apa yang aku gak tau soal Raihan!" Dea menyombongkan dirinya sambil menepuk-nepuk dada bagian kirinya. Gestur yang sangat perkasa, Raihan memutar bola matanya sementara Agung hanya mengangguk-angguk saja melihatnya. "Aku tau Raihan suka banget susu kedelai."
Pagi itu, mereka menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang tak perlu di atas bukit sampai matahari bersinar dengan teriknya.
Di perjalanan pulang, Dea duduk di sisinya di jok belakang mobil sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Raihan. Raihan menatap Agung yang tengah menyetir dengan takut-takut, ia tidak mau menimbulkan masalah.
Nyatanya, Agung tidak berkomentar sama sekali dari awal perjalanan sampai mereka kembali di rumah masing-masing. Setelah mengucapkan terima kasih, Raihan kembali masuk ke dalam kamarnya.
Ini 1 Januari paling aneh yang pernah ia alami.
.
Hari ini sudah 5 Januari dan kehidupan Raihan terasa sangat aneh.
Intensitas dia bermain dengan Agung dan Dea tetap sama. Mereka kembali berkumpul di atas bukit yang masih terasa sangat asing bagi Raihan. Di hari kelima ini mereka telah tiba sebelum matahari terbit. Suhu udara sangat dingin.
"Aku pinjam jaketmu, ya." Raihan bisa mendengar Dea meminta izin kepada Agung.
"Jangan." Agung melarang sambil merebahkan tubuhnya di sisi Raihan. "Aku kedinginan sekarang, tahu." Dea terdengar kecewa dengan raut wajah meledek, tetapi tidak mengatakan apa-apa dan malah menyandarkan kepalanya di atas bahu Raihan.
Matahari terbit dan Agung belum melepas jaketnya. Sinar matahari terik menyorot ke arah mereka, namun Dea sama sekali belum bergeser dari posisinya dan kelihatan sangat nyaman bersandar kepada Raihan.
Harusnya ini bukanlah sesuatu yang terasa aneh. Kedua teman baiknya bersamanya di momen-momen sederhana ... itu adalah hal menyenangkan dan berharga.
Akan tetapi, semua itu terasa begitu aneh bagi Raihan.
.
Ini sudah 10 Januari dan hidup selalu berjalan seperti itu.
Tidak ada yang berubah. Raihan bahkan merasa mati rasa ketika Agung kembali mengajak mereka ke atas bukit dan menikmati pagi hari. Dea juga sangat persuasif dalam membujuk. Kedua tangannya sudah digenggam oleh masing-masing manusia itu dan Raihan tidak punya pilihan lains selain mengikuti keduanya.
Matahari terbit di ufuk timur. Kicauan burung dalam nada-nada tinggi. Dea yang bersandar kepadanya dengan Agung yang merebahkan tubuh di sisinya. Bahu Raihan terasa pegal karena harus menanggung berat kepala Dea, hanya saja dia tidak berani memprotes karena Dea tampak nyaman sekali tidurnya.
"Apa tidak bosan?" Raihan kembali bertanya di keesokan harinya, 11 Januari dengan langitnya yang cerah. "Selalu berada di sini? Di atas bukit ini?"
Kening Dea berkerut. "Kenapa harus bosan?" tanya Dea balik. "Kita baru menemukan tempat ini selama .... Dua hari yang lalu? Tiga hari yang lalu?"
Raihan mengerjap.
"Ngaco. Kalian sudah pernah mengajakku ke sini dari 1 Januari kemarin sampai sepuluh hari ke depannya."
Kali ini giliran Dea yang mengerjap.
"Ini masih tanggal 5?"
.
Ini bukan dunianya.
Di tempat yang ia tahu, hujan sudah seharusnya turun banyak karena masih memasuki musim hujan. Harusnya Raihan melihat tetesan air di udara dan bukan merasa sangat nyaman seperti awal musim panas.
Selama ini yang ia tau, Agung dan Dea berpacaran dan menyebabkannya selalu melakukan semuanya sendiri. Mereka bertiga adalah teman yang sangat dekat, semua tahu itu, Raihan bisa mengerti jika Dea sama sekali tidak menginginkan hubungan mereka dipublikasikan. Apakah mungkin karena ada rasa bersalah telah meninggalkan Raihan sendiri karena keduanya menjalin hubungan?
Jika merasa bersalah, seharusnya Raihan tidak perlu merasa dicampakan karena hanya bisa menjadi penonton. Pertemanan mereka tidak kembali semenyenangkan yang dulu-dulu dan Raihan tidak bisa menyalahkan salah satu di antara keduanya—memang keduanya yang salah dan Raihan ingin memaki sekeras yang ia bisa.
Ponselnya kembali menyala. Agung mengajaknya pergi lagi.
Raihan berdecak sambil membuang ponselnya ke sembarang arah. Ingatannya kembali melayang ke suatu hari—hari yang tidak ia sangka malah akan menjadi hari terakhirnya hidup dengan baik-baik saja tanpa sejuta tanda tanya.
Jika semua keanehan ini adalah manifestasi dari harapan konyolnya saat itu, Raihan pikir dia seharusnya memang tidak mengharapkan utopia dan membiarkan saja kedua temannya itu melakukan hal semau mereka. Raihan mengerang keras.
"Ah, kesel banget! Kenapa aku bodoh pas itu, sih?!"
Kalau tahu semuanya akan menjadi semenyebalkan ini, Raihan tidak akan meminta apa-apa di malam tahun baru.
Terjebak dalam rutinitas yang sama terus-menerus adalah hal yang memuakan.
.
Harapan di awal tahun baru terdengar konyol. Raihan menolak mempercayai itu.
Akan tetapi, melihat Agung dan Dea tampak tidak masalah memejamkan mata mereka sambil memanjatkan harapan mereka ke arah langit yang dibubuhi oleh banyak kembang api tersebut membuat Raihan mau tidak mau ikut memejamkan matanya.
Yah, dia tidak punya apa-apa untuk diharapkan selain satu permintaan kekanakan yang mungkin terdengar bodoh.
'Menjadi third wheel dari pasangan yang dulunya adalah sahabat itu tidak enak. Bisakah di tahun baru ini aku mendapatkan teman baru saja agar aku tidak terus-terusan muak berada bersama mereka?'
-selesai-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro