AWAL YANG BARU
"Ini akan menjadi awal yang baru buatmu."
Ronin mendengar kalimat itu pertama kali tatkala ia ditukar dengan sejumlah koin emas. Pamannya tampak berseri-seri dengan kantung di tangan, sementara pria tambun menyeretnya kasar. Ia dibawa dengan gerobak reyot, berdesak-desakan dengan beberapa bocah dalam isak tangis dan bau bacin. Tempat singgahnya adalah kerangkeng-kerangkeng berkarat, lantai tanah kotor lagi dingin, juga dinding-dinding tebal di mana cahaya matahari sukar untuk masuk.
Kalimat yang sama juga tersampaikan padanya kala terbebas dari kerangkeng sempit itu. Ia melihat bentang bumantara luas setelah beberapa tahun terkurung dalam ketidakpastian. Kebebasan mungkin menjadi awal baru yang lain, tapi pikiran Ronin dipatahkan. Tak sampai baginya menikmati kebebasan selagi dirinya dipekerjakan sebagai budak rendahan di Kastel Lucia, tempat terburuk seantero Kerajaan Poinsettia.
Tempat itu terletak jauh di tenggara, tempat di mana tanah tandus menghampar dan kemiskinan merajalela. Kastel Lucia sendiri tak ubahnya sebuah benteng bobrok di sudut wilayah termiskin Poinsettia. Tempat yang sama di mana pangeran ketujuh, Carliste Poinsettia, diasingkan. Seorang pangeran sinting yang hanya tahu bagaimana cara menumpahkan darah orang tak bersalah. Orang-orang kerajaan menggambarkannya sebagai iblis tanpa belas kasih.
"Ini awal yang baru buatmu."
Ha! Jangan bercanda! Ronin merasa ingin menertawai kemalangannya sendiri. Dewa terlampau kejam pada seorang remaja yang tak memiliki apa pun selain seonggok tubuh kurang gizi. Ia pikir akan baik-baik saja selama ia tak bersinggungan dengan Carliste, tapi dirinya malah mendapatkan curahan perhatian-nya.
Dilemparkan ke dalam penjara bawah tanah yang lembab dan gelap menjadi suatu awal kemalangannya. Ia dibiarkan berhari-hari dalam rasa lapar dan dahaga. Lidahnya dipotong karena dusta yang tak pernah ia ucap, jari-jarinya dicacah atas perbuatan yang tak pernah ia lakukan, dan satu kakinya dipotong atas kelancangan yang tak pernah ia suguhkan. Belum lagi lecutan yang menghadiahinya bilur-bilur bernanah.
"Sebenarnya di mana letak kesalahanku?"
Carliste selalu punya daya imajinasi yang besar, bukan, kesintingan adikodrati. Alasan-alasan tak masuk akal membawa satu penghukuman biadab untuk orang-orang tak beruntung yang mendapat curahan perhatian darinya. Ia biasanya akan menyaksikan penghukuman secara langsung dengan tawa sinting, sebelum beranjak gontai mabuk darah.
Ronin kira ketidakberuntungan mengakar ke jiwa-jiwanya. Di bawah tawa iblis Carliste, kematiannya datang terlampau cepat untuk usia mudanya, terlampau kejam, terlampau menyakitkan. Setelah setengah tahun bertahan dalam kekejaman tiada akhir, tubuhnya menyerah, menghardik kehendak dunia. Saat sorak sorai dan letup kembang api pergantian tahun terdengar, Ronin mengambil napas terakhirnya dalam kerangkeng kumal dengan tampilan paling mengenaskan. Setidaknya ia yakin rengkuh kematian saat itu membawanya kepada akhir.
"Tapi ini nyatanya awal baru yang lain."
Helaan napas keluar dari bibir Ronin, ia menatap jari-jarinya yang masih genap. Netranya beralih ke dalam teh di cangkir keramik, di mana sepasang mata karamel cantik menatapnya balik. Wajahnya adalah pahatan porselen dengan kulit putih pucat, hidung macung, dan bibir tipis kemerahan. Bukan lagi wajah kumal penuh bilur-bilur jelek dan tubuh cacat jejak perhatian Carliste.
Tapi siapa sangka itu adalah wajah Carliste sendiri?
Tepat di pagi pertama tahun 890 penanggalan kalender Poinsettia, Ronin terbangun dari kegelapan yang dingin. Terlalu singkat untuk menyebutnya sebagai kematian. Mungkin juga sebuah ironi karena ia terbangun sebagai Carliste Poinsettia, bukannya menjangkau alam baka. Ronin sempat berpikir halusinasi gila menyambutnya di pangkal kematian, tapi sehari setelahnya sakit kepala hebat. Ia berakhir terbaring dalam demam tinggi selama seminggu penuh. Rasa sakit mengingatkannya pada realitas yang ia hadapi.
Bersama sakit kepala itu, ingatan, pengetahuan, dan pengalaman Carliste Poinsettia mengisi kepalanya. Semua hal milik Carliste terlampau nyata hingga di satu titik membuat lupa bahwa dirinya seorang budak rendahan bernama Ronin. Butuh beberapa hari lagi untuk membuat dirinya memahi dirinya sebagai Ronin di masa lalu dan Carliste di masa sekarang. Dipikir bagaimana pun, takdir itu sinting.
"Nelson." Panggilan singkat Ronin membuat pria tua di sisinya menuangkan lebih banyak teh ke cangkir keramik.
Setiap melihat kepala pelayan Carliste itu, Ronin merasakan keterikatan yang aneh. Ia seperti melihat kakeknya sendiri, padahal dirinya tak pernah memiliki seorang kakek. Inikah yang dirasakan Carliste tentang Nelson? Sungguh? Pria sinting itu? Bagaimana pun, Carliste tampaknya masih seorang manusia.
Ronin mulai membalik halaman demi halaman jilidan kertas di tangannya. Setelah menjadi Carliste, ia membaca tulisan yang belum pernah dilihatnya seolah itu wajar. Pengetahuan pangeran ketujuh itu juga menakjubkan mengingat kelakuan edannya. Ronin tidak bisa tidak terkejut dengan segala pengetahuan yang mungkin cukup membawa Carliste ke jalur suksesi takhta. Sebetulnya apa yang membuatnya tumbuh dengan bengkok?
"Pangeran, Anda tidak perlu repot memeriksa dokumennya lagi. Saya telah menyelesaikannya dengan baik. Seperti biasa." Pria berkulit gelap dengan monokel emas di bertengger di hidungnya tampak gelisah.
Melihat Carliste masuk ke ruang kerja dan mengecek dokumen administrasi wilayah adalah suatu keganjilan yang mungkin saja akan membuat raja Poinsettia sendiri terkena serangan jantung. Ia biasanya hanya bermain-main dengan kegemaran biadabnya, sedangkan administrasi wilayah berada di tangan ajudan secara penuh.
"Hueil Lairgnen." Panggilan dingin Ronin membuat ajudan Carliste, Hueil, terhenyak. "Sudah berapa lama kau menjadi ajudanku?"
Oleh pertanyaan agak tak biasa itu—walaupun gugup—Hueil mejawab dengan kepercayaan diri. "Kurang lebih sudah tiga tahun, Yang Mulia."
Mengangguk samar, Ronin menatap kedua kesatria berzirah yang senantiasa mengekori Carliste kemana pun dia pergi. Keduanya tak ubahnya sepasang pengeksekusi dari segala perintah tak masuk akal Carliste. Sejujurnya, keduanya menjadi mimpi buruk terbesar yang menghantui Ronin. Nyaris menggelikan jika mengingat kini keduanya akan mengikuti segala yang keluar dari mulut Ronin, sekali pun itu sebuah omong kosong.
"Pria ini." Ronin menunjuk Hueil dengan telunjuknya. "Penggal kepalanya."
"Yang Mulia!" Hueil terlonjak hingga kursinya terguling di lantai, terlampau terkejut dengan hal tak terduga yang keluar dari mulut Ronin.
Perintah dingin itu datang seperti gelegar petir di siang terik. Sampai-sampai sepasang kesatria Carliste, Keith dan Harvey, turut terkejut. Mereka terbiasa menerima perintah tidak masuk akal, tapi yang kali ini terlampau sinting. Carliste biasanya tidak mencurahkan perhatian untuk orang-orang yang berguna, seperti ajudannya sendiri. Berlainan dengan reaksi yang lain, Nelson tampak tenang.
"Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan selama ini?" Ronin tertawa sinis, mulai merasa menguasai kepribadian Carliste yang agak waras. "Kira-kira, seberapa banyak anggaran wilayah yang sudah masuk ke sakumu? Apa kau bahkan dapat menghitungnya?"
"Ampun, Yang Mulia! S-saya akan menjelaskannya."
Hueil mulai bersujud mengemis belas kasih, tapi Ronin bahkan tidak menatapnya. Ia hanya memberi isyarat mata singkat pada Keith dan Harvey. Mereka lekas menyeret Hueil ke tiang pancung tanpa kesempatan menyuarakan sanggahnya. Namun, di kepala keduanya masih terpikirkan satu hal, sejak kapan pangeran mereka punya mata dingin penuh amarah bukannya kegilaan?
Saat kebisingan teriakan Hueil mereda, Ronin menghela napasnya. Tangannya sedikit bergetar saat menggapai cankir keramik hingga isinya tumpah di atas karpet. Sungguh menakutkan membunuh orang lain hanya dengan beberapa kalimat singkat.
"Nelson."
"Ya, Yang Mulia." Kepala pelayan tua itu menunduk hormat dengan senyuman terpoles di wajah, seolah tengah mengapresiasi prestasi cucunya. Sejenak, Ronin merinding, merasa Nelson mampu melihat niatnya sejak awal. Pria tua itu bertinggah seolah mengetahui segala isi kepalanya hingga ke sudut-sudut.
"Kirim surat ke ibu kota, aku memerlukan ajudan baru." Ronin menyesap tehnya yang tinggal seperempat cangkir, mencoba bersikap wajar. "Aku akan mengambil pekerjaannya sementara."
"Dimengerti." Setelah jawaban singkat, Nelson bertanya dengan ketenagan yang pantas untuk usia tuanya, "Apakah Anda akan menyelesaikan yang lainnya juga?"
Ronin tersenyum, nyaris tertawa. Sejujurnya, kepala pelayan itu agak menakutkan. Ia mungkin satu-satunya yang menyadari perubahan Carliste sejak Ronin mengambil alih tubuhnya. Ia hanya berharap tidak dituduh kerasukan.
"Yah, orang yang membuat kerusakan di wilayahku harus ditumpas habis." Jika memikirkan ulang perkataannya sendiri, Ronin rasa, sebagai Carliste, ia harus bunuh diri. Kau adalah kerusakan mahabesarnya!
Setelah perintah eksekusi Hueil, Ronin memerintahkan Keith dan Harvey menangkap beberapa orang lagi. Di antaranya orang-orang yang dikirim pangeran kelima dengan niatan buruk, orang-orang korup, sampai semua sampah yang dapat Ronin temukan dengan bantuan Nelson yang cekatan. Sebagian ia temukan berkat pengetahuannya sebagai Ronin. Orang-orang tingkat bawah lebih tahu tentang kebusukan.
Karena perubahan drastisnya, orang-orang kastel mulai menyebut Pangeran Carliste kerasukan. Ia mengurus administrasi wilayah dengan baik, bahkan tanpa ajudan di sisinya. Beberapa masalah di wilayah Kastel Lucia juga sedikit demi sedikit terselesaikan. Ronin lebih banyak mengurung dirinya di ruang kerja. Carliste betul-betul membuat wilayah yang buruk itu semakin rusak. Sampai-sampai niat baik Ronin membuatnya bekerja gila-gilaan.
"Aku tak ingin ada Ronin yang lain."
Motivasinya sungguh jelas. Walaupun dipimpin seorang raja bijaksana, Poinsettia belum bisa menjadi tempat yang layak untuk ditinggali semua orang. Mengingat bagaimana ia mengabaikan wilayah tandus seolah tanpa harapan dan penjualan budak merajalela membawa lebih banyak kesengsaraan. Ronin marah atas ketidakberdayaan lamanya.
Ronin mengamati langit siang yang cerah nyaris tanpa awan dari balik jendela kaca lebar koridor Kastel. Ada sedikit kegetiran di bibirnya, memikirkan banyak hal harus diperbaiki mulai dari wilayah bobrok yang kini menjadi miliknya. Sebetulnya, kehendak takdir melemparnya ke arah yang tidak terduga sampai-sampai ia merasa bisa menggenggam segalanya. Daripada bermalas-malasan menikmati kehidupan sebagai pangeran, ia ingin bekerja lebih keras.
"Yang Mulia, kami sudah melaksanakan apa yang Anda minta."
Keith dan Harvey menunduk singkat, menunggu reaksi Ronin. Keduanya tak berubah, sekali pun dengan permintaan aneh-aneh tuan mereka. Sungguh agak tak wajar mengetahui keduanya mengikuti Carliste tanpa syarat dengan segala dosa-dosanya.
"Kerja bagus." Ronin menatap keduanya dengan penasaran. "Ngomong-ngomong, mengapa kalian mengikutiku?"
Keduanya saling menatap oleh pertanyaan itu. namun Harvey lekas menjawab, "Karena kami adalah kesatria Anda, Yang Mulia."
"Bahkan dengan dosa-dosaku?"
Kali itu Keith yang menjawab dengan ketegasan di tiap katanya, "Kami telah bersumpah. Sumpah seorang kesatria harus dibayar dengan darah."
Ronin memiliki rasa pahit di ujung lidahnya. Kedua kesatria itu tidak mengikuti Carliste karena ingin, tapi karena sumpah turun temurun keluarga mereka. Setelah menjadi Carliste, sedikit demi sedikit, Ronin mengerti tentang bagaimana orang di puncak kedudukan mengikat orang-orang di bawah mereka. Itu tak ubahnya seperti kekangan tak bercela yang kejam. Keith dan Harvey adalah orang-orang tak beruntung yang memiliki tuan semacam Carliste. Harus mengabdikan diri dan berkecimpung dalam dosa seumur hidup mereka.
Aku tak akan menyia-nyiakan kalian, pikir Ronin. Aku akan merubah wilayah ini, tidak, kerajaan. Aku akan menjadi raja.
Dengan pengetahuan kedua kesatria itu tentang Carliste lama, saat mendengar pernyataan Ronin, mereka mungkin akan mengarkan pedang ke diri mereka sendiri. Namun, Ronin sudah mantap membangun keinginannya. Entah hambatan apa yang akan menghadangnya nanti.
"Sebuah awal baru tak pantas disia-siakan."
-selesai-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro