Aku Mati Tiga Kali, Kematian Kedua Paling Menyakitkan
Biasanya pada malam tahun baru, semua orang akan bersuka cita menyambut pergantian tahun di tengah malam, membuat harapan baru, menyalakan kembang api, dan menyaksikan indahnya gemerlap langit malam bersama orang tersayang. Wajah-wajah itu terlihat bahagia. Senyum yang terukir di bibir mereka menandakan kalau mereka bahagia, 'kan?
Namun, sayangnya itu semua tidak terjadi padaku malam ini. Bahkan sekadar tersenyum pun tak mampu kulakukan. Kapan terakhir aku tersenyum? Tidak tahu.
Semuanya sudah berakhir. Ditambah peliknya masalah yang terus berdatangan membuatku sudah lama mati sebelum kematian itu sendiri datang.
Hah, kalau begitu kenapa aku tidak mati saja sekalian?
"Pergi kamu, Anak Sialan! Tidak usah menampilkan wajahmu lagi di depanku! Gara-gara kamu, hidupku jadi hancur!"
Terus. Salahkan saja aku sampai mampus.
"Kalau kamu nggak lahir, pasti aku sudah menggapai semua mimpiku!"
Aku tertawa dalam hati. Serius dia masih mengungkit kejadian tujuh belas tahun lalu? Kenapa tidak membuangku saja sejak awal? Aku bahkan tidak minta dilahirkan. Itu jelas kesalahannya sendiri karena tidak bisa menjaga diri.
Setelah dipukul dan dilempari barang pecah belah, aku keluar dari neraka itu. Tak lupa sebelum aku benar-benar pergi, aku membalaskan dendam yang selama ini kupendam dengan memukuli kepalanya sampai dia jatuh pingsan. Kejam? Biar saja. Dia lebih kejam karena sudah menyiksaku sejak aku lahir. Daripada aku mati di tangannya, lebih baik aku mati atas kemauanku sendiri.
Udara malam ini terasa dingin. Aku memeluk diri sendiri karena badanku hanya berlapiskan baju tipis dan celana selutut. Kulihat awan tebal berarak pelan di langit, menutupi sinar bulan, membuat seisi kota jadi sedikit lebih gelap. Namun, itu tidak mengurangi antusiasme orang-orang untuk menyambut tahun baru. Melihat itu membuatku iri, tentu saja. Tapi buru-buru kutepis rasa itu karena tidak ada gunanya lagi aku hidup.
Kulangkahkan kakiku menuju sebuah gedung tinggi. Tujuanku adalah rooftop gedung itu. Aku berjalan ke tepi sesampainya di sana, menikmati semilir angin terakhir yang masuk ke penghidu.
Pukul 23:54.
Jam digital yang ditampilkan di sebuah gedung itu dilihat banyak orang di bawah sana yang menunggu acara puncaknya, sementara di sini ada yang sedang meratapi detik-detik kematiannya.
Mataku menerawang langit. Ah, jadi begini akhir hidupku? Tidak ada satu pun kebahagiaan yang tersimpan dalam ingatan. Semuanya buruk. Lalu aku tertawa hambar. Aku yang bukan siapa-siapa, sebentar lagi akan menjadi terkenal.
Pukul 23:57. Sebentar lagi.
Tiba-tiba aku terpikirkan sesuatu. Apakah kehidupan kedua itu nyata? Kalau iya, apakah aku berhak hidup bahagia di kehidupanku selanjutnya? Sepertinya tidak, karena sampai detik ini pun aku belum juga bertaubat atas segala dosa yang sudah kuperbuat.
Namun kalau itu benar adanya, hatiku memekik kecil, berharap bisa hidup bahagia suatu hari nanti.
Pukul 23:59.
Ketika semua orang bersorak dan mulai berhitung mundur, aku menapakkan kaki kananku di udara. Tepat di hitungan sepuluh, aku langsung melempar diriku ke bawah.
Aku yakin pasti sudah mengacaukan acara utamanya.
***
Pasti aku sudah mati, 'kan? Sudah pasti, seharusnya. Tetapi, kenapa aku samar-samar mendengar suara?
Bukan, itu bukan suara malaikat, bukan juga suara makhluk gaib lainnya. Jelas-jelas itu suara manusia yang terdengar sangat cemas.
"Kayla?"
Tunggu, itu bukan namaku.
Perlahan aku membuka mata. Semuanya masih terlihat buram pada awalnya, tapi pandanganku berangsur jelas setelah beberapa detik lamanya. Kali pertama yang kulihat adalah sepasang suami istri yang menatapku cemas.
"Kayla! Syukurlah, akhirnya kamu sadar," ucap wanita itu dengan beberapa titik air sudah menetes dari matanya. Ia langsung memelukku erat. "Ibu khawatir banget ...."
"I ... bu?" Untuk kali pertama setelah sekian lama, aku kembali mengucapkan kata itu.
Tak lama seorang dokter datang dan memeriksa keadaanku. Setelahnya, dokter itu menjelaskan kondisiku kepada sepasang manusia tadi. Aku tidak memperhatikan percakapan mereka, sibuk melihat keadaan tubuhku. Bukan, sudah jelas ini bukan tubuhku karena aku tidak mengenalinya sama sekali.
Aku ... hidup lagi? Di tubuh baru?
Wanita itu, sebut saja Ibu, kembali menghampiri dan menggenggam tanganku. Ia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Terlalu banyak perasaan yang dipancarkan dari sana. Tak lama senyum cerah menghiasi wajahnya yang sudah terlihat keriput, tangannya yang lain mengusap lembut pipi kiriku.
Baru kali ini aku diperlakukan begini. Apa ini yang dinamakan kasih sayang?
Tiba-tiba tenggorokanku terasa kering. "Ha ... us," ucapku hampir tak bersuara.
Dengan sigap Ibu mengambil segelas air dan sedikit mengangkat kepalaku agar bisa minum. Setelahnya, ia bertanya, "Mau senderan atau tiduran aja?"
"Senderan," jawabku lemah.
Ibu membantuku duduk bersender dengan hati-hati. Kini aku bisa melihat seisi ruangan lebih leluasa. Tidak besar, tidak kecil juga. Kulihat beberapa kabel dan selang meliliti tubuh yang sangat kurus ini.
"Ayah tahu ini pertanyaan konyol, tapi gimana keadaanmu sekarang, Kayla?" Kali ini Ayah yang bertanya, khawatir. "Tujuh bulan koma. Ayah kira kamu sudah ... itu, tapi akhirnya kamu kembali. Ayah seneng banget."
Aku harus menjawab apa? Aku tidak habis koma, bahkan masih hidup kemarin. Dan sekarang aku kembali hidup, tapi di tubuh orang lain dan harus berpura-pura jadi si pemilik tubuh?
"Kayla?"
Aku berkedip beberapa kali. "Ah, begitulah, Yah," jawabku seadanya.
"Masih sakit, Kay? Kalo gitu tidur aja ya?" tanya Ibu khawatir.
Tidak ada pilihan lain, aku mengangguk saja. Ibu membantuku berbaring dan menyelimutiku. Kulihat sorot matanya yang penuh perhatian. Belum pernah aku melihat yang seperti itu. Tak lama ia mencium dahiku, begitu juga Ayah. Mereka berdua duduk berdampingan di samping ranjang, mungkin menungguku tidur.
Namun, nyatanya aku tidak bisa tidur. Mataku memang terpejam, tapi jiwaku masih terjaga setelah sebuah suara yang terdengar sangat dalam datang dan menghantui pikiranku.
"Bukankah ini kehidupan yang kau inginkan, Sera?"
***
Aku tidak tahu apa yang dimaksud si suara berat waktu itu pada awalnya. Tetapi ketika aku sudah dibolehkan pulang setelah menjalani perawatan panjang, aku paham apa maksudnya.
Hidupku berubah total.
Aku yang biasanya tidak pernah makan di rumah, kini dari sarapan sampai makan malam selalu makan bersama di meja makan. Aku yang biasanya tidur dalam kekhawatiran, kini bisa tidur nyenyak semalaman. Aku yang tidak pernah diperlakukan baik, kini orang-orang selalu bersikap sopan kepadaku.
Kehidupan Kayla benar-benar sempurna, seperti apa yang ia inginkan pasti terkabul. Bagaimana tidak? Orang tuanya kaya, teman-teman yang satu kelas dengannya, membuatku hampir tak percaya masih ada kehidupan yang seperti ini. Kayla memiliki segalanya yang kudamba selama ini. Aku tidak perlu takut kelaparan lagi--malah bebas memilih makanan lezat di mall dan restoran. Aku juga tidak perlu memakai baju yang itu-itu saja, dan masih banyak lagi.
Hidupku sudah lebih baik sekarang. Itu yang awalnya kupikirkan ....
Namun, pikirku salah.
Hari ini nilai hasil belajar satu semester akan dibagikan. Kupikir tidak ada yang salah dengan nilaiku. Tetapi ketika hasil peringkat juga diumumkan, Ayah memarahiku habis-habisan.
"Gimana bisa kamu dapet ranking tiga? Terakhir kamu dapet rangking dua, 'kan? Bisa-bisanya sekarang malah turun?" Ayah membuang raportku ke sembarang arah, menatapku nyalang. "Gimana mau dapet ranking satu kalo malah turun begini?"
"T-tapi kan, aku udah belajar semampuku," belaku. Tapi memang benar, aku sudah berusaha belajar sesuai kemampuanku, mengejar ketertinggalanku dari teman-teman lain.
Tanpa bisa kuduga, Ayah menampar pipiku. "Semampumu, kamu bilang? Kalo kamu belajar semampumu, seharusnya bisa dapet ranking satu! Kalo begini terus, gimana bisa kamu dapet jalur undangan masuk ke universitas?" bentaknya.
Aku tidak paham. Apa yang salah dari ranking tiga? Asal rata-ratanya bagus pasti dapat undangan masuk ke universitas, 'kan?
"Lihat Bara, anaknya Tante Fita! Dia bisa dapet ranking satu sampe lulus. Julia, anaknya Om Hadi, juga dapet ranking satu! Kamu yang seangkatan sama mereka kenapa bisa nggak ranking satu!?"
Ayah terus saja memarahiku semenjak sampai di rumah. Aku hanya diam terpaku sambil sesekali mengepalkan tangan bila Ayah menampar pipiku. Tidak ada yang menolongku. Ibu apalagi, ia ikut menatapku sebal.
Aku masih tidak mengerti kenapa Ayah dan Ibu sengotot itu ingin aku ranking satu, padahal aku berada di tiga besar saja sudah bersyukur. Itu hanya angka! Kenapa mereka malah ribet meributkan itu?
Tidak bisa menahan emosi lagi, aku memilih pergi dari rumah untuk mendinginkan kepala. Tujuanku mengarah pada sebuah kafe, lalu memesan ice americano dan sepotong kue. Kuteguk kopi itu seperti bayi yang meminum susu. Rasa pahit langsung menyebar ke seluruh rongga mulut dan kerongkonganku, sekuat tenaga kutahan dan menikmatinya. Mendadak otakku terasa seperti membeku karena kopinya dingin, tapi itu cukup untuk mengusir pening.
Aku menatap keluar jendela, memijit pelan keningku, mengembuskan napas. Sudah hampir setahun aku ada di tubuh Kayla, sudah selama itu pula aku berpura-pura menjadi anak itu. Kupikir hidupku akan bahagia sekarang, ternyata malah mendapat tekanan yang lain.
Selama ini aku bertanya pada diri sendiri: di mana Kayla yang asli? Apa selama ini dia stres karena tekanan yang dia dapat dari orang tuanya? Kalau memang betul, pantas saja dia belum kembali.
"Kayla tidak akan kembali."
Suara berat yang menggema di pikiranku itu muncul lagi setelah sekian lama. Aku melihat sekeliling, tapi tetap saja tidak menemukan apa-apa.
"Kau yang akan menggantikan hidupnya, Sera," sambung suara itu lagi.
"Tunggu, kenapa harus aku?" tanyaku.
"Kau sendiri yang memintanya."
"Meminta apa?"
"Hidup bahagia. Itu yang kau mau, 'kan?"
"Hidup bahagia? Dengan penuh tekanan begini? Yang mengharuskan aku harus bersikap ini-itu, harus pintar dalam segala hal, harus jadi nomor satu? Sama sekali tidak membuatku bahagia!"
Hening sejenak, sampai akhirnya suara itu membuang napas berat.
"Bahagia menurutmu itu ketika kau punya banyak uang, teman, dan kasih sayang orang tua, 'kan? Kau sudah mendapatkannya, lalu apa lagi yang kau keluhkan?"
Bukan, bukan ini yang aku inginkan ....
Suara itu kembali terdengar, berdecak sebelum menghilang.
"Dasar manusia. Ketika sesuatu itu tidak ada, mereka meminta ada. Tapi ketika sesuatu itu sudah ada, mereka malah meminta tidak ada."
Aku tercenung, melihat sekeliling dengan tatapan yang meliar. "Hei, tunggu! Jangan pergi! Kembaliin Kayla! Biar aku aja yang mati karena emang udah seharusnya aku mati! Hei!" seruku tak terkendali.
Orang-orang di kafe jadi takut melihatku yang kesetanan. Beberapa berusaha menahan dan mengunci ruang gerakku agar aku tidak mengacaukan seisi kafe. Aku tidak bisa membendung emosiku lagi, jadilah aku menangis sekeras-kerasnya karena sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Kejadian itu membuatku diolok-olok teman sekolah. Ternyata ada yang merekam dan menyebarkannya di sosial media. Mereka menganggapku gila karena aku terlihat berbicara sendiri. Bukan hanya teman sekolah, keluarga besar Ayah juga menjadikanku bulan-bulanan dan berimbas pada derajat Ayah di mata mereka karena memiliki anak yang tidak waras sepertiku.
Yah ..., kalau mereka mau mengerti, aku ini bukan tidak waras. Aku hanya tertekan dan lelah dengan semua kehidupan ini. Tetapi sayangnya, mereka takkan pernah ingin mengerti.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, begitu terus hingga sudah bertahun-tahun aku hidup di kehidupan yang gila ini. Bukannya bahagia, aku terus mendapat tekanan dari banyak hal. Itu justru membuatku ingin mati lagi.
Bukan. Bukan dengan bunuh diri, melainkan dengan menuruti setiap tuntutan yang ada. Dari situlah aku bisa mati lagi sebelum kematian itu sendiri datang. []
-selesai-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro