A Little Piece of Dreams
"Ma, bisa enggak, ya, Sadam menikah? Punya anak kandung yang langsung lahir dari rahim istri Sadam nantinya."
"Ma, Sadam mau nikah sama Rika! Besok kita ke rumahnya, ya. Buat lamaran."
"Ma, maaf. Karena kondisi Sadam, Sadam enggak bisa kasih mama cucu lagi. Enggak kayak Kak Dya. Maaf juga Sadam udah buat Mama malu dengan memaksakan diri untuk melamar Rika. Hah! Siapa juga yang mau nerima laki-laki seperti Sadam."
Aku masih ingat, penggalan-penggalan kalimat yang aku bicarakan dengan mama siang tadi. Sudah cukup aku membuat malu dengan memaksakan diri menikahi gadis yang aku cintai, namun berakhir dengan cemoohan saat keluarga dari kekasihku –mantan—karena tahu bahwa pria yang melamar gadisnya itu adalah pria yang tidak sempurna, alias cacat.
"Dam, kenapa kamu ngelamun di sini, Nak?" Aku menggelengkan kepala, mematikan sebatang rokok yang baru habis setengahnya karena secara tiba-tiba mama datang menghampiriku di atap rumah kami.
"Cuman mau menikmati malam pergantian tahun. Sendirian." Kata terakhir kuucapkan sepelan mungkin.
Mama menghela napas, sebagai seorang ibu, ia tentu sudah sangat mafhum dengan keadaan hatiku, anak keduanya.
"Maafin Mama dan almarhum Papa, ya, Dam. Kalau saja dulu kita lebih cepat menangani kekuranganmu, mungkin hari ini kamu sudah bahagia dengan mimpi-mimpi kamu." Aku lagi-lagi menggelengkan kepala, enggan membuat beban pikiran satu-satunya orangtua yang masih kumiliki semakin bertambah.
"Mama enggak salah, kok. Memang ini udah jadi garis takdirnya Sadam. Mungkin, Tuhan ciptain Sadam dengan kondisi begini biar bisa terus nemenin Mama sampai nanti." Aku memeluk mama dengan sangat erat. Pelukanku dibalas dengan usapan lembut di punggungku.
"Mama sama Papa sudah berusaha ngerawat Sadam, dari bayi biru yang enggak langsung nangis waktu lahir, sampai sekarang yang dewasa secara umur tapi masih selalu kekanak-kanakan dalam berpikir." Aku menghirup napas sejenak, setiap kata yang aku keluarkan dari mulut, berimbas tidak baik untuk dadaku, semakin dalam kata yang aku ucapkan, semakin jauh pikiranku berkelana ke masa lalu dan ke dalam mimpi-mimpiku yang semu. "Mama sama Papa sudah berusaha menyembuhkan Extrophy bladder yang diderita Sadam, walau baru setengah jalan. Sadam ngerti, kondisi ekonomi kita tidak selalu stabil. Sadam ikhlas, Ma, dengan kondisi Sadam. Jadi, Mama jangan minta maaf, ya, Mama sama almarhum Papa enggak salah."
Setelah runtutan kalimat itu aku sampaikan, jantungku berdebar, napasku tercekat, kepalaku pusing dan pandanganku mendadak kabur. Kuremas dada sebelah kiriku yang terasa sangat sakit.
Dari kejauhan kulihat papa, dengan baju serba putih, tersenyum manis sambil melambaikan tangan, mengajakku untuk pergi mengikutinya. Aku merasakan diriku telah lepas dari raga yang selama ini menjadi tempatku menjalani hidup.
"Dam, Sadam!" Mama berseru kencang, meski tidak terdengar jelas di telingaku karena kini, tanganku sudah ditarik oleh papa, mengikutinya ke sebuah cahaya yang sangat terang.
Kulihat mama menepuk-nepuk pipiku, berseru berkali-kali berharap aku kembali terbangun.
"Innalillahi wa inailaihi rajiun." Kalimat terakhir yang aku dengar dari mama, mengantarkanku menuju cahaya panjang yang dituntun oleh papa.
~~~
Aku mengejapkan mata berkali-kali, menyesuaikan pandangan dengan cahaya yang baru saja masuk dari sela-sela jendela kamar yang asing bagiku, nuansa warna putih terpancar jelas di kamar yang jauh lebih luas dari kamar milikku. Aku bangkit dari posisi tidur, bersandar pada kepala kasur. Kupijat-pijat pangkal hidungku, mengurangi pusing di kepala yang benar-benar sangat mengganggu.
Mataku melirik ke berbagai sudut kamar ini, terasa asing, tapi aku seperti mengenali setiap sudutnya. Lebih tepatnya seperti kamar impian seseorang
A, aku mau desain kamar aku sendiri. Nanti teh, ya. Di sudut sini, ada pojok kenangan, terus sebelah kasur ada nakas. Nah nanti di nakas itu aku mau beli lampu bentuk mawar warna merah buat hiasan. Nah di sudut sini, mau jadi pojok foto, tempat kalau nanti tiba-tiba pingin narsis, hehe." Rika menunjukkan sebuah gambar desain ruang kamar yang ia inginkan.
"Bagus, Yang. Buat kamar kita, ya."
"No! Ini kamar aku. Aa bikin kamar sendiri aja."
Aku terkekeh, ah, ternyata seperti kamar impian Rika. Benar-benar seperti mimpi yang nyata baginya, bukan bagiku. Karena, aku dan dia sudah berakhir di tangan orangtuanya.
Menggeliat setelah bangun tidur adalah hal yang paling nikmat, meregangkan otot apalagi sembari menguap. Ah, mantap!
Aku mengerenyitkan dahi saat menyadari kasur yang aku tempati sedikit bergerak, seperti ada orang lain juga yang menempatinya. Kulihat, di sisi sebelahku ada wajah cantik seorang wanita yang masih terpejam, tapi sayang, wajahnya penuh luka lebam, bahkan sudut bibirnya terlihat sobek. Tubuhnya masih terbungkus selimut tebal, yang juga menyelimuti bagian tubuh bawahku.
Kutelisik wajah cantiknya. Wanita ini, mirip dengan gadisku, mantan lebih tepatnya. Aku memberanikan diri mengusap wajahnya. Kasihan sekali wanita ini, orang macam apa yang berani melukai wanita cantik nan manis ini.
Ia menggeliat, posisi tidurnya sedikit berubah membuat selimut yang ia pakai sedikit turun sehingga mengekspos sedikit tubuh bagian atasnya yang polos, tanpa sehelai benang pun yang menutupinya.
Tubuhku menegang, terkejut dengan apa yang baru saja aku lihat.
Apakah. Aku. Baru. Saja. Melakukan. Zina!
Tanganku gemetar, aku takut karena sudah melakukan hubungan terlarang dengan wanita yang bahkan, tidak aku kenali sama sekali! Tuhan, tolong maafkan hambamu yang hina ini.
Matanya terbuka, lalu mengejapkan matanya berkali-kali, seperti tengah menyesuaikan matanya dengan cahaya di ruangan ini.
"Pa--pagi, Kak," ucapnya terbata-bata, sorot matanya memancarkan ketakutan.
"Maaf, aku bangun terlalu siang, sampai tidak sempat membuatkan kopi dan sarapan untukmu," ucapnya lagi setelah melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.
"Tidak apa, kamu beristirahat saja. Maaf, aku...." Wanita yang mirip Rika itu mengernyitkan dahi, seperti ada yang aneh dengan apa yang baru saja aku katakan.
"Tidak, tidak. Aku ke kamar mandi dulu sebentar. Harus kusiapkan sarapan sebelum anak-anak mengamuk." Ia bangkit dari tidurnya menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar. Wanita itu membiarkan tubuh polosnya terekspos, dan yang membuatku terkejut, bukan hanya di bagian wajahnya terdapat lebam. Tapi, di beberapa bagian tubuhnya juga.
"Bunda...." Pintu kamar terbuka sedikit, aku melihat sesosok gadis muncul dari balik pintu yang terbuka itu.
"E--eh, Ayah. Maaf sudah mengganggu tidur Ayah."
AYAH! Aku membelalakkan mata, sejak kapan aku menikah, dan mempunyai anak?
Tapi, raut wajah gadis itu tidak jauh berbeda dengan wanita tadi. Ia ketakutan melihatku. Hei, aku bukan monster.
"Kemari!" Aku menyuruh gadis itu masuk. Dengan ragu-ragu, ia membuka pintu, mengayunkan tungkainya masuk ke dalam kamar.
"Nama kamu siapa, gadis kecil?" tanyaku sambil membelai puncak kepalanya.
Gadis itu malah terdiam, menautkan kedua alisnya mendengar pertanyaanku. Sepertinya, ada yang salah dengan apa yang aku tanyakan.
Plak!
Aku menepuk keningku, sudah pasti pertanyaanku membuatnya bingung. Aku, ayahnya, menanyakan namanya adalah hal yang pasti sangat aneh.
"Indira." Gadis yang dipanggil Indira menoleh ke arah wanita yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Sepertinya wanita tadi sudah selesai dengan urusan bersih-bersihnya. Giliranku untuk bersih-bersih.
"AYAH!" Teriak Indira dan wanita itu. Aku lupa, kalau aku pun sejak tadi tidak menggunakan sehelai benang di tubuhku selain selimut tadi yang membalut tubuhku.
~~~
Apakah cermin di hadapanku tengah berbohong, meipuku dengan pantulan wajah yang berbeda dengan diriku. Cermin di hadapanku jelas-jelas menampilkan sosok lain, sosok yang sama sekali tidak ku kenali, walau ada sedikit kemiripanku dengan sosok yang terpampang jelas di hadapanku ini.
Aku mendadak mengingat kejadian semalam, saat mama meneriakkan namaku dengan histeris, lalu muncul sosok almarhum papa dari sebuah lorong bercahaya sangat terang, mengajakku untuk pergi bersamanya. Dan, yang terakhir ku ingat, mama menggumamkan kalimat duka yang seharusnya mengantarkanku pergi menuju keabadian.
Tapi, pagi ini. Aku terbangun, dengan tubuh telanjang, bersama seorang wanita yang penuh luka dan lebam di wajah dan tubuhnya. Lalu datang seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun bernama Indira, dan memanggilku dengan sebutan ayah dan wanita yang tidur denganku dia panggil bunda.
Kini, aku dikejutkan dengan sosok lain yang ada di balik cermin, sosok yang jelas-jelas bukan aku.
Kepalaku berputar, bayangan-bayangan masa lalu hidupku tumpang tindih dengan bayangan yang sepertinya merupakan memori dari orang yang tubuhnya diambil alih oleh jiwaku.
"Kak, maaf. Ampun!"
"Kak ... sakit."
"AYAH, CUKUP. JANGAN SIKSA BUNDA LAGI!"
"Ayah, kami mohon. Berhenti!"
Kejadian ini, kejadian yang tiba-tiba muncul di benakku seperti sebuah video yang diputar. Rangkaian-rangkaian kekejaman pria yang kutahu bernama Azzam pada istrinya Fika. Dan juga permohonan dari kelima anaknya yang agar ia menghentikan siksaan pada sang bunda.
Kini, kutahu. Gadis tadi bernama Indira lengkapnya Afsha Yuki Indira, anak pertama dan memiliki kembaran, Ziyad Sirius Khan. Keduanya memiliki tiga orang adik, Viona Cindy Ashyfa, Flora Sarasvati Katya, dan Freya Riani Diana.
Dan, bila kehidupan Azzam, adalah kehidupan impianku. Memiliki seorang istri, dan lima orang anak. Tapi sayang, Azzam menyia-nyiakan apa yang ia miliki, seorang istri cantik, lima anak yang cantik juga tampan. Ah, mungkin ini jawaban Tuhan dari mimpiku, inginku dan anganku. Tapi, tidak mudah membuat anak-anak itu tidak menatap takut ke arahku.
"Selamat pagi menjelang siang!" sapaku ramah saat baru saja menginjakkan kaki di ruang makan.
Mereka, Fika dan kelima anaknya menatap heran ke arahku. Sepertinya, hal ini adalah hal yang langka atau bahakan tidak pernah dilakukan oleh Azzam.
"Kenapa kalian liatin Ayah seperti itu?" tanyaku setelah menarik satu kursi untuk tempatku duduk.
"Ayah kenapa?" Aku mendengar bisikan Ziyad--satu-satunya anak laki-laki di rumah ini-- pada kembarannya.
Indira yang ditanya oleh kembarannya menggeleng heran.
Aku mengedikkan bahu, tidak mau ambil pusing dengan tatapan anak-anak yang terlihat aneh pada sosokku sekarang. Sudah kupastikan, mereka merasa yang dihadapan mereka kini bukanlah ayah mereka.
"Terima kasih, Sayang." Lagi-lagi, mereka menatap heran dengan apa yang baru saja aku katakan. Padahal, bukankah hal yang lumrah jika aku berterima kasih pada Fika karena ia sudah melayaniku.
"Kalian kenapa, sih?" Mereka menggelengkan kepala lalu kembali sibuk dengan sarapan mereka.
"Setelah sarapan yang kesiangan ini. Ayah mau berbicara penting pada kalian." Raut wajah heran mereka berganti dengan ketakutan dan ketegangan. Sepertinya, berbicara penting adalah suatu ancaman bagi mereka.
Sarapan sudah benar-benar selesai, kulihat Indira bersama ketiga adik perempuannya membantu bunda mereka membereskan bekas sarapan, lalu mencuci peralatan makan yang mereka gunakan.
Aku merasa, Fika mengajari kelima anaknya dengan baik. Meski Azzam memperlakukan mereka dengan buruk.
"Zi, ikut Ayah ke ruang kerja." Ziyad mengangguk, mengikutiku berjalan ke sebuah ruangan di pojok dekat taman belakang rumah ini.
Sesampainya di sana, aku dan Ziyad hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Fika, bersama tiga anak empat anak gadisnya masuk ke dalam ruangan.
"Sebelumnya, ak-- Ayah ingin kalian memperkenalkan diri." Semua orang yang ada di ruangan itu mengernyitkan dahi, hal yang sudah pasti sangatlah aneh bagi mereka. "Lakukan saja, ayo!"
"Baiklah, Kak. Aku, istrimu. Fika Anjani."
"Usia? Ayolah, Sayang. Katakan dengan lengkap."
"Tiga puluh tujuh tahun." Muda sekali!
"Kapan kita menikah?"
"Sembilan belas tahun yang lalu. Saat aku masih berusia delapan belas tahun."
"O--oke, cukup." Kejutan yang luar biasa, ternyata. Azzam dan Fika menikah muda, sangat muda. Pantas saja, anak pertama mereka terlihat sudah beranjak dewasa.
Selanjutnya, Ziyad dan Indira memperkenalkan diri secara bergantian. Keduanya baru saja menginjak usia delapan belas tahun pada bulan agustus yang lalu. Lalu disusul Viona, lebih sering dipanggil Vivi. Flora dan terakhir Freya. Vivi berusia enam belas tahun sementara Flora hanya terpaut satu tahun dari kakaknya. Si bungsu Freya, saat ini berusia tiga belas tahun.
"Em, ada alasan kenapa Ayah meminta kalian memperkenalkan diri. Ayah sadar, selama ini Ayah tidak mengenali kalian, tidak kenal pada istri dan anak-anak Ayah.
"Ayah minta maaf sebesar-besarnya pada kalian atas sikap Ayah kemarin-kemarin. Mulai hari ini, di tanggal satu januari. Ayah akan berusaha menjadi Ayah yang baik, bersikap, dan berperan layaknya seorang Ayah." Kulihat Fika dan anak-anak terisak, ada perasaan haru yang terpancar dari wajah mereka.
Aku bangkit dari posisiku duduk. Bersimpuh di bawah kaki Fika yang duduk manis di sofa ruang kerja.
"Fika, istriku. Aku memohon maaf atas sikapku selama ini. Tolong, maafkan aku."
Aku memeluknya erat, tubuh Fika bergetar, menangis di pelukku. Setelah tangisnya reda, kuberikan sedikit jarak. Mengelus setiap luka di wajahnya, lalu menciuminya satu persatu hingga berakhir di bibirnya. Aku tidak memikirkan anak-anak, aku hanya ingin menunjukkan, permintaan maaf dan kasih sayangku pada mereka adalah hal yang serius.
"Kalian, kemarilah!" Kelima anak-anakku mendekat, memelukku dan Fika secara bersamaan. Semoga dengan ini, luka mereka berakhir dengan aku yang Tuhan kirimkan di tubuh ayah mereka.
Mereka, pasti mimpi memiliki ayah selayaknya seorang ayah yang baik. Begitu pula aku, bermimpi untuk menikah, mempunyai istri dan juga anak-anak yang baik.
~~~
"Saddam anakku, Papa sudah meminta pada Tuhan agar mimpimu diwujudkan. Saddam anakku, jangan kamu sia-siakan apa yang sudah Tuhan berikan padamu. Jaga anak-anak dan istri Azzam. Mereka orang-orang yang tersakiti.
"Jika kamu bertanya Azzam di mana, jawabannya, ia sudah ada tempat pengadilan Tuhan. Mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama di dunia. Saddam anakku, jangan lupakan ibumu, sesekali mampirlah ke rumah, tengok ibumu meski kamu ada di sosok lain yang ia tidak kenal. Tapi, insting seorang ibu tidak akan pernah salah. Ia pasti menerimamu, sebagai anakmu, meski tidak akan menganggapmu sebagai Saddam yang sudah berpulang."
-selesai-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro