Part 5: Sledgehammer
Apa yang biasa ditemui orang pada umumnya di pagi hari? Sinar matahari, burung yang bertengger di kusen jendela dan mematuk-matuk kaca, atau teriakan mama tersayang yang mengingatkan agar bangun pagi?
Semua itu tidak didapatkan oleh para peluru begitu juga polisi pada pagi ini.
Disaat yang bersamaan tetapi tempat yang berlainan, Erick menyumpah-nyumpah, James meninju jam wekernya, Andi mengusap kepalanya yang menghantam pinggir kasur dan Roy masih bergelung dalam selimut putih miliknya.
Peluru? Jangan tanya. Mereka tinggal di underground (bawah tanah). Sinar matahari hanya muncul sedikit, itu pun karena berhasil menembus sela-sela tutup saluran air.
Mungkin pembukaan cerita seperti ini membuat kalian bosan, tapi ada alasan yang (sangat bisa dimaklumi) dari kelakuan Erick dan kawan-kawan tadi.
Karena si Rubah Hitam kembali membunuh.
*****
Erick menghela napas panjang. Tubuhnya terasa sangat lelah. Selain karena James yang membangunkannya di pagi hari dengan teriakan bersuara sumbang layaknya burung gagak, juga karena dia baru tidur saat tengah malam. Membuat kelopak matanya berkantong dan menghitam.
Belum lagi desakan dari atasan tertinggi dan awak media serta masyarakat untuk mereka berempat agar menyelesaikan kasus ini secepatnya. Rasanya seperti mau mati.
James menepuk bahunya, agak keras hingga Erick nyaris oleng. Pak inspektur itu menatap Erick dengan iba. Walau Erick hanya berstatus sebagai detektif konsultan untuk kepolisian, tetapi beban yang ditanggungnya juga berat. Bahkan lebih berat lagi.
"Hei, kau baik-baik saja?" tanya James.
Erick mengangguk. "Jangan khawatir," ujarnya, "aku baik-baik saja."
James mengalihkan pandangannya. Begitu juga dengan Erick. Keduanya menatap sesosok tubuh lelaki yang bersandar di bawah pohon beringin tua. Pakaiannya masih utuh. Kemeja putih lengkap dengan dasi hitam ditambah jas berwarna biru malam serta sepatu yang membungkus kedua kakinya.
Tubuhnya memang utuh tapi tidak untuk kepalanya.
Kepalanya kini tinggal serpihan. Hancur dengan bekas darah yang menciprat dimana-mana. Kepingan-kepingan tengkorak, serpihan kulit, dan rambut putih miliknya tersebar di tempat itu. Beberapa tetes darah terlihat di bangku kayu dekat pohon. Cairan merah lengket itu juga melumuri bagian bawah tiang lampu, pagar besi pembatas, dan pohon beringin itu sendiri. Sebuah palu berukuran sangat besar tergeletak di samping mayat. Seolah menunjukkan dengan bangga bahwa benda itulah yang telah menewaskan si pria.
Erick menguap lebar, matanya yang agak memerah memandang James dengan kesal.
"Lalu dari mana kau tahu kalau Rubah Hitam-lah yang membunuh pria ini?" ujarnya.
James merogoh saku jaket kepolisian yang dikenakannya, mengeluarkan sebuah kantong plastik transparan berukuran kecil dan mengulurkannya pada Erick yang langsung diambil pria itu. Kantong plastik transparan itu berisi serpihan kulit yang berukuran cukup lebar dibandingkan serpihan-serpihan kulit lain yang ada di tempat kejadian.
"Butuh waktu setengah jam untuk menyatukan semuanya," kata James, "dan itulah hasilnya. Karya seni dari si Rubah."
Lagi-lagi ukiran tato berbentuk kepala rubah diukirkan disana.
*****
Emily membantu Rinka membuat kue, Kirana dan Elena sibuk berdiskusi tentang senjata pada majalah katalog, Roni dan Budi asik bermain monopoli (meskipun hal ini sangat jarang terlihat mengingat keduanya sering berdebat), sedangkan Eko dan Ren tengah memeriksa rekaman kamera CCTV.
Baru saja Rinka memasukkan loyang kue terakhir ke dalam oven, sebuah nada panggil terdengar dari ruang rapat. Dengan tergopoh-gopoh, semuanya langsung meninggalkan aktivitas masing-masing dan berlari menuju ruang rapat. Saking hebohnya, Rinka lupa melepas celemek, Budi memegang dadu yang tadi dimainkannya dengan Roni dan Eko masih memakai headphone di telinganya hingga Ren melepaskan benda itu.
"Siapa yang akan mengangkatnya?" tanya Eko.
Budi mengangkat tangan, yang diikuti oleh anggukan kepala dari teman-temannya. Kemudian dia mengangkat gagang telepon dengan alat perubah suara berbentuk kubus di angkat di depan bibirnya.
"Halo?"
Sebuah suara membalas suara Budi.
"Hai lagi, bullet."
"Ada apa Erick?"
"Bisakah aku bicara dengan Ren? Ini penting."
Budi membelalakkan mata. Dia langsung berpaling dan menatap Ren yang bergerak tak nyaman di bangkunya.
"Apa maksudmu? Kami tak tahu siapa itu Ren."
"Jangan berbohong, aku tahu siapa dia dan dia juga tahu siapa aku."
"Bisa kau tahan dulu telepon ini?"
Budi menaruh gagang telepon secara menyamping dan menutup lubang suaranya. Dia mengalihkan pandangan pada teman-temannya, terutama Ren.
"Apa yang terjadi di Banjarmasin bulan lalu?" tanyanya dengan nada menginterogasi.
"Erick tahu identitasku sebagai bullet." jawab Ren. Bola matanya terlihat sendu.
"Kau tahu apa aturan kita kan? Jika identitas ketahuan kau harus keluar." ucap Budi, dia menatap Ren dengan tajam.
Ren menghela napas, "aku tahu itu."
"Tapi aku tak mau mengeluarkanmu begitu saja. Kau pasti punya alasan." sahut Budi, lagi. Nadanya tidak lagi terdengar marah.
Ren mengangkat kepala dan balik menatap Budi. "Erick adalah mantan anggota UB."
"Apa?!"
*****
Budi dan yang lain menatap Ren dengan ekspresi terkejut yang sama.
"Tak kusangka, ayahku dulu juga seorang bullet." komentar Roni.
Budi menatap Ren untuk beberapa saat lalu senyum mengembang di wajahnya.
"Kau jujur, aku tahu itu." ujarnya.
Kemudian terdengar suara gumaman dari arah telepon. Budi menyadari hal tersebut dan langsung mengangkat telepon. Dia menatap Ren sembari tersenyum. Ren berdiri dan mengambil gagang telepon dari tangan Budi.
"Halo? Erick?"
"Yo Ren, aku masih disini."
"Jadi apa yang ingin kau bicarakan?"
"Begini, kau dan teman-temanmu memberikan dua pilihan bukan?"
"Ya, itu benar. Jadi apa pilihan kalian?"
"Kami akan menggunakan keduanya."
Ren mengangkat alis. "Wah, itu mengejutkan."
Erick mengedikkan bahu. "Mau bagaimana lagi? Kalau pilihan pertama tidak berhasil pakai saja yang kedua, bagaimana?"
"Kami diskusi dulu sebentar."
Ren menutup gagang telepon lalu menoleh pada yang lain.
"Mereka mau memakai kedua pilihan, ada yang keberatan?"
Semuanya serempak menggelengkan kepala.
"Si Rubah Hitam sangat lincah, apa salahnya kalau mereka memakai kedua pilihan itu?" komentar Eko.
"Aku setuju dengan Eko." sahut Roni.
"Aku juga." balas Budi.
"Mereka semua setuju Erick," sahut Ren di telepon.
"Baiklah, untuk seminggu ini kami akan mengawasi seluruh anggota DPR," jawab Erick.
"Selamat bertugas Erick."
Kemudian keduanya serempak menutup telepon. Ren mengacungkan kedua jempolnya seraya menyeringai senang. Hingga hidungnya mencium sekilas aroma asap.
"Hei, apa kalian mencium bau asap? Ada yang menyalakan kompor ya?" tanyanya.
"Astaga! Kueku!!" teriak Rinka.
Gadis itu langsung berdiri tegap, membuat kursi terjatuh dan mendarat di lantai dengan suara berdebum kencang. Kemudian dia berlari keluar ruang rapat diikuti oleh Emily dengan raut wajah yang sama-sama cemas.
"Oh tidak, kita akan dipaksa mencicipi kue gosong." komentar Roni dengan wajah pucat pasi.
*****
Disaat yang sama, di tempat yang berlainan....
Wajah wanita itu pucat pasi. Bagian bawah kain beludru dari rok merah marun yang dipakainya ternodai oleh debu dan lumpur. Langkahnya terseok-seok, mencoba mundur dari orang yang ada di hadapannya. Dia terus berjalan mundur. Hak tinggi sepatu hitam legam miliknya menimbulkan suara nyaring saat bersentuhan dengan lantai granit. Napasnya tertahan saat punggungnya merasakan dinding yang keras.
"Kumohon, jangan bunuh aku." bisiknya dengan sangat lirik.
Iris hitam mata wanita itu bergetar saat melihat sesosok pria berjubah hitam di depannya. Keringat dingin membanjiri punggung ketika matanya menangkap sekilas cahaya perak dari arah tangan si pria.
"Kau memohon?" ucap si pria dengan nada tak percaya.
Si wanita mengangguk. Air mata mengalir dari kedua matanya.
"Pembohong," si pria mendesis, "kau sudah mengambil nyawa ayahku, ibuku, adikku, dan seluruh harga diri keluarga kami. Sekarang kau memohon untuk tetap hidup?" tambahnya.
Dia menelusuri pipi si wanita dengan jari telunjuk. Seringaian kejam tercetak di wajahnya, kemudian seringaian itu menghilang seiring dengan gergaji mesin yang dikeluarkannya dari balik punggung.
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!
GRUUUNGGGGGG!!
*****
To Be Continued...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro