Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 10: Escape

Beberapa hari yang lalu, ruang arsip kepolisian....

Televisi kecil di atas meja terus menerus menayangkan berita yang sama: pembunuhan seorang gadis tanpa pakaian yang tergeletak di halaman gedung DPR.

Anthony Wiran berbaring di sofa ruang arsip sambil mendecakkan lidah, iris matanya yang ungu terang ditutupi oleh softlens berwarna hijau. Begitu juga dengan rambut ungunya yang disembunyikan dengan wig berwarna hitam.  

Tangan kanannya menggenggam sepucuk panah kecil. Kemudian tangan itu mengayun ke belakang dan melepaskan panah tadi. Melesat di udara dan mendarat tepat pada papan target yang sudah dipasangi 5 buah foto. Panah tersebut menusuk foto yang ada di tengah. Foto seorang pria berumur 50-an yang mengemudikan mobil Agnit.

"Kutunggu nyawamu, Rian Krein." Anthony menggumam pada dirinya sendiri. Kali ini dia tak akan membiarkan siapapun terluka. Kali ini dia yang akan menuntaskannya. Menyelesaikan dendam Wiran yang sudah terkubur bertahun-tahun.

Roni dan Elena masuk ke dalam mobil dengan terburu-buru sedangkan Erick langsung memasukkan kunci mobil dan menyalakannya.

"Waktu kita terbatas!" teriaknya, "kalian sudah bawa barang-barang yang kusuruh kan?"

Elena menganggukkan kepala. "Sudah! Termasuk rompi anti peluru dan revolver," jawabnya sambil mengangkat sebuah tas jinjing dari kain berwarna hitam.

Erick mengacungkan jempol seraya menyeringai. Kaki kanannya menginjak pedal gas dan mobil pun langsung meraung, meluncur di jalanan bak kuda liar.

*****

Sama sekali tak ada waktu bagi Elena Grimm untuk memuntahkan makan siangnya begitu mobil telah sampai di gedung Bank Reksa. Erick langsung melompat dari mobil, begitu juga dengan Roni. Keduanya sudah memakai rompi anti peluru.

Tunggu, kenapa mereka sudah memakai rompi? Elena menggumam di dalam hati.

Roni berbalik arah dan memegang wajah Elena dengan tangan kanannya. Kini Elena paham apa alasannya.

"Kau tetap di sini." Roni berkata dengan nada dingin sedingin es Antartika.

Elena menepis tangan Roni di wajahnya. "Tidak mau! Biarkan aku ikut!"

Roni menggeram, aura mengintimidasi seolah berkumpul di balik punggungnya. "Sekali tidak tetap tidak. Aku pernah membawa wanita ke medan tempur dan kau tahu apa yang kudapat? Dia tewas di tangan musuh."

"Aku Elena, bukan Zikri! Aku tak akan membiarkan musuh membunuhku semudah mencabut bulu gagak!" Elena mendesis, tangannya mencengkeram kerah jaket Roni hingga pemuda itu limbung.

Roni menggeram dan akhirnya berkata, "baiklah kau menang, wanita. Tapi jangan menyusahkanku."

Kemudian Roni berlari mengikuti Erick dan meninggalkan Elena sendiri di mobil dengan mata berkaca-kaca. Dia bersumpah tak akan menangis lagi sejak menjadi seorang bullet. Tapi entah kenapa, embun itu seolah melesak ingin keluar.

Budi benar, dia sangat dingin seperti es. 

*****

Erick menolehkan kepalanya dan mendapati Roni yang sendiri tengah berjalan di sampingnya. "Mana Elena?"

"Dia kusuruh menunggu di mobil," jawab Roni, "tapi dia tetap memaksa ikut."

Erick menghela napas. "Apa kau izinkan?"

"Ya, setelah berkelahi seperti biasa." Kali ini Roni yang menghela napas.

"Dari semua hewan buas di darat dan laut yang paling ganas adalah wanita." Erick berucap tiba-tiba.

Roni tersentak, dia menghentikan larinya dan menatap Erick. "Benarkah itu?"

"Kutipan seorang penyair Yunani bernama Menandros," tambah Erick. "Kau tahu? Suatu kesalahan fatal jika kau menganggap wanita itu lemah."

Roni mendecih. "Aku tahu, Ayah. Tapi aku tak menganggap Elena lemah."

"Tapi kau meremehkannya, iya kan?" Erick mengangkat kedua alisnya bersamaan.

Roni mengelak. "Aku hanya tak ingin dia terluka." Saat dia mengatakan hal itu, kedua pipinya merona.

Erick menggeram nyaring. "Astaga! Kenapa aku punya anak yang keras kepala sih?! Pokoknya kembalilah dan jemput dia! Aku akan menendang bokongmu jika kau kembali dengan tangan kosong!"

Roni langsung berlari ke mobil dengan wajah kesal. Sedangkan Erick bersandar di tiang bangunan sambil membuka sebungkus lolipop, kemudian memakannya.

"Enaknya masa muda," gumamnya.

*****

Ketika Roni kembali ke mobil, Elena sudah berdiri di sampingnya dan sudah memakai rompi anti peluru. Kedua tangannya mendekap shotgun di dadanya. Wajahnya kesal, bisa dilihat dari alis yang menyatu dan sorot mata yang dingin dan menusuk.

"Maaf." Roni berbisik sambil mengulurkan tangan kanan. Iris biru langit itu berkedut dan meredup bersamaan.

Elena tetap bergeming di tempatnya, seolah-olah sepatu kets hitam putih itu menancap di tanah sampai tak bisa dilepas. "Atas apa?"

"Hal tadi," Roni menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Semenjak Zikri tak ada, aku ... errr jadi posesif terhadap semua hal."

Kedua alis Elena tak lagi menyatu. Dia balik menatap Roni dengan sorot mata licik. "Nah, jadi bisakah kau membiarkan partnermu ini untuk sekali-kali 'bermain liar'?"

Roni mengacak-acak rambut hitam sebahu milik Elena sambil menyeringai. "Tentu, aku jamin kau boleh 'menari' di 'lantai dansa' sepuasmu."

*****

Semilir angin dingin terasa menusuk hingga ke tulang. Di negara tropis seperti Indonesia yang namanya musim dingin itu tak pernah ada, tetapi angin dingin saja sudah bikin menggigil.

Elena mencengkeram lengan kirinya yang terbungkus dengan kaus serta jaket, tapi tetap saja angin berhasil menembus pertahanan itu. Dia menggigil kedinginan sambil terus menundukkan kepala. Telinganya siap siaga dengan suara Tony yang berteriak-teriak tak jauh dari mereka. Erick yang berjongkok di samping Elena menggenggam kuat gagang revolver di tangan kanan seraya melirik Tony dari arah bahu.

Mendadak, dia berbalik dan merangsek maju ke depan. Elena hampir memekik saking kagetnya tetapi Roni menutup mulut gadis itu seraya berbisik, "ini bagian dari rencana." yang kemudian dibalas Elena dengan anggukan kepala.

Erick terus mengacungkan revolvernya ke arah Tony, lelaki beriris ungu itu tak lagi menyembunyikan warna rambutnya. Begitu juga dengan mata yang tak lagi memakai lensa kontak.

"Anthony Wiran! Kau kutangkap atas tuduhan berlapis! Pembunuhan berencana, penculikan, serta penyerangan terhadap petugas!" teriak Erick. Netra biru muda itu bertatapan sengit dengan netra ungu terang Tony. Tetapi pria itu hanya menyeringai seraya melemparkan  pemantik ke udara. Tatapannya berpaling ke arah Rian yang masih berusaha melepaskan diri. Jarinya menekan pemantik, setetes api langsung menyembur keluar begitu pemantik menyala.

"Jangan salahkan aku, salahkanlah karma yang membalasmu ini." Tony melepaskan pegangannya terhadap pemantik yang masih menyemburkan api. Pemantik tersebut sudah diatur olehnya agar terus menyemburkan api hingga cairan parafin di dalamnya habis. Benda itu jatuh ke lantai seperti suara logam. Api yang keluar dari pemantik menyebabkan sang cahaya menyebar melalui bensin yang sengaja dituang Tony di lantai tadi. Membuat seisi ruangan langsung diterpa hawa panas.

Rian yang masih terikat di kursi bergumam ketakutan begitu api mencapai kakinya. Rasa panas itu bahkan membuat dirinya menggoyangkan kursi dan terjatuh ke lantai dalam keadaan menyamping. "Jangan bergerak! Atau apinya akan mengenai wajahmu!" teriak Roni dari sisi lain gedung. Pemuda itu mencoba memikirkan cara menyelamatkan Rian dari Api yang berkobar. Ditambah lagi dia, Erick, dan Elena harus mencari jalan keluar baru karena kedua tangga juga terbakar. Si Tony sialan itu sudah memblokade tangga yang mereka pakai tadi dengan bensin yang telah menjadi api, sedangkan tangga kedua juga bernasib sama bahkan lebih parah.

Jangankan menyelamatkan Rian, dia sendiri tak yakin mereka bisa keluar hidup-hidup.

"Roni?"

Napas Roni tercekat di tenggorokan begitu mendengar namanya disebut. Dia memalingkan wajah dan bertatapan dengan Elena yang wajahnya terlihat tenang. Gadis itu bahkan tak terlihat ketakutan. Wajahnya sedatar manekin di toko pakaian.

"A ... apa?" Roni sampai terbata begitu bicara, membuat Elena nyaris terkikik seperti penyihir.

"Kau takut? Apa yang kau pikirkan?" Elena berbisik dengan volume sepelan yang dia bisa. "Tangganya terbakar ya?"

Roni melirik ke belakang, lebih tepatnya ke arah tangga yang mereka pakai sebelumnya. "Sayangnya begitu," katanya, "si bajingan itu menyiramkan bensin di bagian pinggir tangganya."

"Apakah hanya satu sisi?"

"Tidak, keduanya."

"Oh, sial." Elena menggerutu dengan lidah yang berdecak. Tanda dia mulai kesal. Kemudian dia menoleh dan menatap Erick yang berkeliling kesana kemari sejak tadi, pria itu sudah seperti kucing jantan yang gelisah karena belum mendapat pasangan.

"Erick?"

Erick berpaling dan mendapati Roni serta Elena yang menatapnya. "Apa?"

"Aku tahu bagaimana cara keluar dari sini." Elena berkata sambil tersenyum bangga.

*****

Hutan kota di sekitar Bank Reksa sangat memudahkan Tony dalam pelariannya. Berkali-kali dia melirik ke belakang, memastikan bahwa dia tidak dikejar oleh siapapun. Kakinya beberapa kali hampir tersandung akar pepohonan, membuat jantungnya berdegup kencang. Helaian rambut ungu berkibar saat dia berlari melintasi hutan.

Gedung bank Reksa yang terbengkalai itu masih menyala-nyala. Bagaikan lentera di malam hari, tempat dari semen dan bata itu berpendar di kegelapan wilayah pinggiran Jakarta. Ya, menyala sekaligus tengah melakukan eksekusi di dalamnya.

Tony tak mampu lagi menahan rasa puas begitu kaki jenjangnya mencapai bagian tengah hutan. Dia sudah cukup jauh dari bangunan, tetapi nyala api masih bisa terlihat. Perlahan-lahan si jago merah itu merangkak ke lantai di atasnya, terus dan terus hingga netra ungu terang itu menangkap suatu pergerakan yang ganjil di pinggir bangunan.

"Tidak mungkin! Bagaimana bisa mereka melakukannya?!" teriak Tony dengan panik.

*****

Erick berusaha mati-matian untuk tidak mengeluarkan suara jeritan -lebih tepatnya lengkingan- seperti wanita yang kebanyakan minum bir. Netra biru langit itu memandang ke bawah dengan ngeri dan jantungnya seolah siap akan meledak saat ini juga. Meski begitu, jemarinya tetap kokoh berpegangan pada sebuah pipa paralon yang dipasang di bagian lain gedung yang untungnya belum terbakar.

Sementara itu, Roni dan Elena berusaha menyemangati pria yang berumur 39 tahun itu. Mulai dari mengingatkan status dudanya yang perlu diperbarui dengan kehadiran wanita lain hingga Roni yang memohon-mohon agar Erick menghadiri pernikahannya dengan Elena 10 tahun akan datang yang dibalas gadis itu dengan pelototan mata bak medusa serta injakan kaki yang menyakitkan.

"Kalau begitu kenapa tidak kalian saja yang duluan?" keluh Erick.

"Sudah menjadi tradisi kalau orang tua selalu didahulukan pada segala hal." Roni membalas dengan senyuman kecil. Padahal dia sedang menahan tawa.

"Apakah kematian juga termasuk?!" pekik Erick, kaget. Pria itu seperti hendak mengalami stroke atau semacamnya saat ini.

"Cepat turun! Atau kita berempat akan mati gosong di sini!" Elena berseru dengan nada kesal sekaligus marah pada Erick yang sudah seperti akan kencing di celana.

Rian yang kakinya nyaris terbakar, berhasil diselamatkan setelah Elena menemukan sebuah tabung kecil pemadam api di sudut dalam tangga. Meski tabung itu berkarat, setidaknya busa berhasil keluar dengan mudah dan dapat memadamkan api di sekitar Rian. Kini, pria itu masih duduk di lantai di dekat Roni dan wajahnya masih terlihat pucat.

Setelah beberapa teriakan yang berbalas antara Erick, Roni, dan Elena. Akhirnya pria itu mulai menuruni pipa dengan sangat perlahan. Tapi, baru setengah jalan dia sudah berteriak di bawah sana:

"Boleh aku kembali?"

Yang kemudian dibalas oleh Roni dan Elena, bersamaan:

"TIDAK!"

*****

Tony mendecih, netra ungu itu melotot panik begitu melihat seseorang sudah memanjat turun di gedung itu. Siapapun dia, yang jelas separuh lantai sudah dicapainya.

"Kalau begitu, pakai rencana B." Tony berbisik seraya mengambil detonator dari saku celana.

*****

To be continued ....







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro