003. Perkamen Misterius
"Bell, pinjem mobil, dong. Gue mau jogging ke lapangan kota. Habis itu ke tempat Joya bentar."
Mendengar todongan tiba-tiba saudari kembarnya, wanita dengan apron motif bunga ungu itu mendongak ke arah jam dinding.
Dahi Bella berkerut serius sebelum menoleh pada Oceana yang sudah berpenampilan sporty.
Masih memegang sutil masak, Bella menghadap sang adik. "Lo bilang mau apa?"
"Jogging," jawab Oceana cepat. "Olahraga, Bell."
"Lo memang mancing banget, ya, Ce!" Kepala cantik Bella yang berhias penutup sewarna apronnya itu menggeleng. "Gak heran kenapa tensi Dok. Erlang naik terus karena ulah lo."
"Duh, Carabella Sativa! Bisa gak, sih, jangan sebut-sebut nama beruang satu itu. Kuping gue alergi!" sebal Oceana menggaruk telinga yang sungguhan gatal.
Urusan dengan Airlangga sudah selesai begitu Oceana mengumpulkan tugas.
Namun Boro-boro diperiksa atau mendapat komentar pedas. Adanya terjemahan laporan kasus yang Oceana kerjakan sampai bergadang semalam suntuk itu tak tersentuh sama sekali. Airlangga pergi menghadiri seminar internasional di Korea selama seminggu ke depan.
"Sia-sia jari gue sampai kribo begini. Airlangga setan, emang!" batin Oceana. Tak takut mengumpati dosen pembimbingnya yang sedang berada jauh di negri ibu mertua sana.
Tangan Oceana mengadah. "Mana kunci mobilnya, Bellek! Ke buru siang, tau!"
"Emang udah siang ya, pentil kuda! Tuh, jam dua belas lewat lima menit!" geram Bella. "Lo mabok sinar mentari, ya?"
"Hah?! Apa, sih? Orang baru jam—"
Sutil dalam kuasa Bella teracung ke arah penanda waktu yang tersemat di atas sana. "Lo perhatikan baik-baik! Itu di angka berapa, hah?!"
Pupil mata Oceana membola sempurna. "Loh? Lho? Kenapa udah jam segitu? Perasaan tadi di kamar masih pukul sembilan kurang lima belas menit. Rusak pasti, tuh, Bel."
Jelas butuh kesabaran ekstra saat menghadapi tingkah laku Oceana yang suka di luar galaksi. Selebgram hits ibukota itu menghela napas panjang.
"Daripada lo ngang ngong di sana. Mending bantu gue beres-beres, sebentar lagi Papi pulang. Kita bisa diamuk kalau masih berantakan gini," perintah Bella setelah meredakan emosi yang sempat meletup. "Sapu dan pel rumah sana."
"Bener-bener aja lo, Bel. Gue udah cakep mau olahraga malah disuruh jadi babu."
"Terus siapa lagi yang mau kerjakan? Gue masih masak, Carabelli Oceanaaaa!"
"Ya enggak siapa-siapalah, Bellek! Lo lanjut aja belajar menjadi calon istri yang baik," jawab Oceana enteng.
Semenjak memiliki tunangan, Bella jadi semakin rajin berkutat di dapur. Padahal sebelumnya wanita maniak warna ungu anti bergulat dengan minyak dan panasnya api gas. Sehari-hari, Bella hanya tau dandan dan belanja saja.
Sungguh definisi yang menggambarkan cinta itu buta.
Berulang kali Bella mengelus dada, menahan amarah yang sudah di ujung tanduk. "Oce—"
"Gak mau, ah, Bel. Kan masih ada Bik Nah dan Bik Yem!"
"Ya Tuhan, kepalaku," rintih Bella pusing memijat pelipis.
Wanita itu menghirup napas dalam sembari terpejam. Hingga di detik berikutnya, sutil bekas mengaduk ikan sambal tadi pun melayang menghantam bokong sang adik berkali-kali.
"Bellaaa, sakit!"
"Rasain! Bik Nah sama Bik Yem masih pulang kampung, Oce! Lo jemput sana ke Banjarmasin!"
"Masa, si— AKH! SAKIT BELLA!" jerit Oceana terus berlari menghindari kejaran kakak galaknya. "BELLEK AMPUN!"
"Gak ada pengampunan! Nyapu, gak lo?!"
"Ogah!"
"OCE, JANGAN KABUR!"
"Apa ini?! Astaga! Bella! Oce!" bentakan dari arah pintu sambungan ke garasi, praktis membuat saudari kembar itu membatu di tempat.
Hampir bersamaan keduanya menoleh. Melotot kaget begitu mendapati Bayu tengah berdiri di dekat sana dengan wajah garang seperti biasa.
Duda beranak dua itu menghela napas panjang saat iris legamnya menelisik keadaan rumah yang tak ada beda dengan kapal pecah. Bekas sampah snack makanan masih berserakan di depan karpet tv, bantal sofa berjatuhan dan lantai yang terasa lengket.
"P—Pi?"
"Papi tinggal kalian cuma lima hari, Bella... Oce...."
Kedua putri itu menelan ludah mereka susah payah.
"Maaf, Pi," cicit Bella. "Tadi begitu bangun, Bella langsung pergi belanja lalu lanjut masak di dapur. Makanya belum sempat benahi yang lain."
Perhatian Bayu bergulir ke arah Oceana yang masih berpose setengah membungkuk di tengah anak tangga karena tadi hendak berlari menuju kamarnya.
"Carabelli Oceana! Turun kamu,'' panggil Bayu tegas hingga si empunya nama terkesiap.
Diam-diam Bella mengulum senyum puas melihat saudarinya di ambang waktu pembalasan.
Kolonel Laut (K) dr. Praga Bayu Aditama, Sp. PD itu tak akan mudah meloloskan oknum pemalas sejenis Oceana.
Dengan jantung berdisko ria, Oceana mengayun langkah mendekati Papinya. Sorot tajam Bayu menghunus tanpa celah ke arah anak bungsunya yang tertunduk dalam.
"Jawab, Papi. Bangun jam berapa kamu?" tanya Bayu dengan nada biasa saja, tapi sukses membuat Oceana ketar-ketir. "Carabelli Oceana?!"
"Jam— Jam tujuh, Pi."
"Bohong, Pi! Bella ke bangun jam delapan tapi Oce masih molor di kasur!"
"Benar itu Oce?!"
"Jam kamar Oce rusak, Pi!" balas Oceana membuat alasan. "Alarm Oce juga sengaja gak diaktifin kalau hari sabtu dan minggu. Maka itu bangun telat."
"Tiap hari juga lo kesiangan, ce," cibir Bella mengompori.
Adik kecilnya itu mendelik gahar pada kompor meleduk di belakang Bayu.
Lelaki yang masih memakai seragam TNI Angkatan Laut itu menghela napas berat.
"Contoh Bella, Ce. Lihat kakakmu, dia mulai belajar sekarang. Masak, beberes rumah, cuci baju, itu semua hal basic yang harusnya kamu bisa kuasai sebagai manusia!"
"Iya, Pi, maaf. Belakangan Oce capek kalau pulang kuliah harus ngebabu lagi," melas Oceana menatap Bayu dengan pandangan sendu.
Sedikit banyak, ini semua karena Airlangga. Oceana harap, lelaki makin gosong terkena sinar di Korea sana.
"Papi gak terima alasan apapun. Bella juga kuliah seperti kamu," sanggah Bayu. "Sekarang bantu kakakmu beresin rumah."
"Tap—" Oceana sudah berniat menolak kalau saja plototan tegas Bayu tak didapatinya. "Ya udah, iya! Oce bantu!"
"Bagus."
"Tapi gak mau sapu rumah! Capek, Pi! Tempat ini terlalu lebar buat dihuni bertiga!" suara rengekkan si bungsu mengudara bebas.
Koas gigi bertubuh mungil itu bergelayut manja pada lengan kekar Bayu. "Pi, kapan Bik Nah sama Bik Yem balik ke sini?"
"Belum tau. Tapi kemungkinan besar gak akan kembali."
''Hah?! Kok gitu?"
''Papi rumahkan mereka. Lagipula anak Bik Yem gak mau ditinggal lagi dan suami Bik Nah juga melarang istrinya merantau. Cari pembantu itu susah. Jadi kalian wajib belajar mandiri sekarang," tutur Bayu menakut-nakuti.
Bella yang mengetahui papinya berbohong, hanya ikuti alur sandiwara dengan memasang wajah kaget. Paling lama lusa, kedua asisten rumah tangga mereka sudah balik bekerja.
"Kalian dengar itu, Bella?! Oce?!"
"Dengar, Pi," sahut Bella legowo. Berbanding terbalik dengan Oceana yang celingukkan tak terima.
"Ih, Bella! Pasrah amat, sih, lo!" sentak Oceana. "Pi, jangan gitu, dong. Papi ini kayak gak pernah jadi koas, deh. Kita berdua 'kan capek kalau harus—"
"Kamu boleh cari ART baru kalau dirasa keberatan," potong Bayu.
Mulut ceriwis putri bungsunya ini mengingatkannya pada sosok mantan istri.
Sepasang bola mata Oceana berbinar. "Serius, Pi?"
"Hm. Tapi bayar gajinya pakai uang jajan kamu."
"Iiiiiih, Papiiiiiiii!'' Oceana makin me-reog tak jelas. Meraung-raung sembari menarik tangan besar Bayu.
Lelaki yang habis pulang dinas itu makin dibuat pusing tujuh keliling.
"Sudah-sudah. Papi gak terima protes. Sekarang kamu pilih, mau menyapu dan pel rumah atau bersihin gudang belakang. Banyak barang yang perlu dibongkar di sana."
Bibir merah alami Oceana mencebik. Ia paling tak suka menyapu, apalagi mengepel lantai.
Oceana punya pengalaman buruk dengan dua pekerjaan rumah tersebut.
Pantat Oceana pernah tersengat lebah ketika sedang menyapu dulu dan ia jatuh terpleset di lantai yang baru saja dipel. Alhasil wanita berambut sepunggung itu jadi trauma beberes rumah.
"Kalau Oce masak, gimana?"
"Enak aja! Kerjaan gue udah mau selesai, malah lo tikung!" sewot Bella, kembali mengacungkan sutilnya.
Bayu menggeleng singkat. "Big no! Papi gak mau masuk rumah sakit karena keracunan makanan lagi, Ce. Cukup sekali."
Ledakkan tawa Bella menggelegar puas. Wajah cemberut Oceana adalah kebahagiaan yang hakiki baginya.
"Terus kalau Oce ngurus gudang. Siapa yang nyapu dan ngepel? Bella 'kan alergi debu, Pi." Agaknya Oceana pun mana tega membiarkan hidung saudarinya ingusan karena terpaksa mengerjakan hal tersebut.
"Biar Papi saja. Sana kamu kerjakan bagianmu," usir Bayu. "Satu jam lagi wajib sudah selesai. Kita makan siang bersama."
Tak lagi bisa mengelak, Oceana harus mengubur rencana hepi-hepi yang semula ingin nongkrong di rumah Joya. Di sana sudah ada Lita dan mereka berniat maraton film bersama.
Begitu mendorong pintu gudang, serbuan debu dan bau lembab menyambut kehadiran Oceana.
Jemari lentik wanita berkulit kuning langsat itu meraba dinding guna mencari saklar lampu.
Oceana gegas memakai masker dan mengikat rambut menjadi gelungan asal.
Netra hitam si anak bontot itu menyorot satu per satu kotak-kotak besar yang bertumpuk tak beraturan di dalam ruang sepetak tersebut.
Sudah dari minggu lalu Bayu ingin menyusun barang-barang di sana, agar bisa memuat benda lain.
"Uhuk! Uhuk! Buset!" erang Oceana mengibas kibaskan tangan di depan wajah. "Kalau Bella di sini, bisa langsung masuk UGD dia!"
"Gue harus mulai dari man— EH!"
GUBRAKKK
"Aduh! AKH— AW!" Oceana reflek memegangi kepala yang barusan tertimpa sesuatu yang keras dari dalam kerdus yang sempat oleng ke arahnya.
Memang dasarnya Oceana ceroboh. Baru beberapa langkah memasuki tempat penyimpanan sementara itu, kakinya tersandung sebuah tali yang tercecer di lantai hingga tubuh kecilnya tak sengaja mendorong kotak di hadapannya dan jatuhlah kotak kayu dari tumpukkan paling atas sana.
Masih terus menggosok kepala yang terasa benjol. Pandangan penuh dendam Oceana tertuju pada benda keras tersebut.
Kotak berukuran sedang itu tampak masih bagus, meski agak tertutupi debu. Seluruh permukaannya terdapat ukiran-ukiran unik yang divarnish hingga menjadi kilat.
"Yah, dikunci!" kecewa Oceana. "Memang apa, sih isinya? Sok rahasia banget."
Kepala cantik Oceana menoleh ke kiri dan kanan mencari benda apapun yang bisa ia gunakan untuk membobol isi kotak. Pasalnya wanita kepo itu sudah sangat penasaran.
Di balik masker, senyum Oceana tertarik lebar kala menemukan martil di pojok ruangan. Dalam sekali pukul, gembok tua itu terbuka.
"Eh, tunggu! Ini gak kayak di film-film horor itu 'kan? Tiba dibuka, jeng... jeng... jeng... gue ketiban malapetaka?"
Sejenak Oceana tampak ragu. Menimbang penuh perhitungan sebelum bertindak. Namun rasa ingin tau wanita muda itu kian menggunung.
"Ah, ini zaman kapan, masih percaya begituan! Sial hanya terjadi pada orang-orang yang mempercayainya," monolog Oceana membulatkan tekat, sebulat tahu bulat. "We'll see. Kali aja isinya batangan emas. Lumayan dijual, buat bayar perawatan pasien."
Namun, harapan indah Oceana harus pupus saat hanya menemukan sebuah perkamen. Media untuk menulis yang terbuat dari kulit binatang itu tergeletak di atas helai kain sutra lembut berwarna merah marun.
"Ini apa, lho?" bingung Oceana membuka gulungan tersebut.
Walaupun memiliki darah Jawa tulen, nyatanya Oceana dan Bella sama sekali tak paham dengan bahasa tradisional tersebut.
Sebuah ketukan pintu membuat Oceana terjingkat. Bayu yang sudah berganti pakaian itu memandangi dari ambang pintu.
"Mana yang telah kamu bereskan, Ce? Ayo, kita makan siang dulu."
"Pi, sini, deh. Oce nemuin ini." Kotak kayu itu terangkat. "Ada sesuatu di dalamnya. Tapi Oce gak bisa baca karena ditulis pakai bahasa Jawa."
Dengan dahi mengernyit dalam, Bayu pun mendekat.
Ekspresi serius kental menyelimuti wajah tampan dari lelaki yang sudah berumur itu. Mata elang Bayu bergulir teratur membaca setiap rentet kalimat yang tertera di sana.
Di sampingnya, Oceana pun tak kalah fokus memperhatikan sang papi.
"Apa, Pi isinya? Bacain, dong."
Bayu menutup kotak kayu dan memandangi Oceana lekat. "Kita ke rumah Eyang, sekarang!"
"Hah? Ke— Kenapa, Pi? Tiba-tiba amat."
"Jangan banyak protes, Oceana. Ini menyangkut masa depan kamu. Ayo, segera!" desak Bayu. "Oiya. Ganti baju dan mandilah. Bella bisa bersin sepanjang jalan karena kamu berdebu begini."
"Masa depan, apa, sih, Pi?"
"Ck! Oce!" gemas Bayu yang mendelik.
Anak terakhir Bayu itu mencebik sebal.
Namun, lantas tersenyum saat teringat uang saku yang biasa diberikan eyang kakung dan eyang putri tiap kali mereka berkunjung.
"Terserahlah. Eyang, i'm coming!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro