02 🌻 Amanat
Dan diakui atau tidak, segala harapan dan keinginan kita telah tertawan oleh takdir yang sesungguhnya tak pernah dapat dilawan.
.
.
⭐ Selamat membaca ⭐
.
.
Kedua mataku tertuju pada gapura pesantren. "Selamat Datang di Nadwatul Ummah, Yogyakarta."
Setelah setahun berlalu menjadi alumnus, kedua kakiku akhirnya kembali melangkah menuju rumah yang pernah mengenalkanku lebih dekat dengan manusia paling berpengaruh nomor satu menurutku, menurut umat muslim, dan menurut astrofisikawan, Michael H. Hart. Rasulullah, Ra. Kamu sudah tahu pastinya.
Dan lebih dari itu, di sini juga aku mulai berkenalan dengan Abu Al-Qasim An-Naisaburi. Kau tentu masih ingat, Ra, bahwa selain menjadi ketua Organisasi An-Nadwah Hijau, aku pun menjadi bagian dari Organisasi "Santri Kembali" di sana, kami mengaji kitab-kitab yang tidak tertera pada kurikulum. Pada Ustaz Ilham, kami pernah khusyuk mendengar kelakar beliau tentang tulisan Abu Al-Qasim An-Naisaburi pada Kitab Uqula Al-Majanin. Saat itu sampai larut malam kami dikenalkan dengan Layla Majnun, Sabiq, Abu Alqamah al-Ma'tuh hingga Rihanah.
Dan sekarang langkahku kembali ke sini untuk menemuinya. Menemui seseorang yang selalu berhasil membuatku tak pernah benar-benar pulang.
"Cak Lana!" Seseorang memekik. Aku melihat ke arah pos. Santri putra 16 tahunan baru saja keluar, disusul temannya. Mereka lantas tersenyum, melangkah ke arahku.
"Cak, njenengan ngekost?" Salah satu dari mereka bertanya.
"Iya, tapi kemarin aku dapat amanat dari Abah Kiai Usman," jawabku.
"Masha Allah. Terus sekarang mau ke ndalem? Tapi, Cak, Kiai dari kemarin pergi karena ada panggilan ceramah di Magelang."
"Iya. Saya nggak disuruh buat temui beliau tapi saya ke sini mau menemui Hara. Jannahara Aisy." Sejujurnya aku agak sungkan saat harus memanggil santri putri, tapi setidaknya aku harus berpamitan walau sebentar.
"Oalah, Mbak Ais. Sek yo aku panggilkan."
Ketika langkah santri itu mulai pergi, aku memutuskan untuk duduk di teras kantor menunggu Aisy. Teman-teman lain memanggilnya Aisy, tapi aku selalu menyebutnya dengan kata Hara, Ra.
Selang beberapa menit, perempuan bersarung merah bunga-bunga melangkah, mendekat. Senyumnya masih sama seperti dulu. Hanya saja aku melihat bahwa Hara semakin cantik. Dan selalu seperti itu.
"Aku akan meninggalkan Jogja untuk beberapa hari ke depan," ucapku tanpa basa-basi.
"Em, Cak Lana dapat amanat?" Hara bertanya setelah duduk dengan jarak yang cukup berjauhan. Kami memang tak boleh berdekatan. Ada sebab musabab mengapa sekat tercipta.
"Iya."
Hara tersenyum. "Kuliah Cak Lana lagi libur?"
"Iya. Tiga bulan. Setelah itu aku akan kembali pulang."
"Aku nggak tahu ke mana Cak Lana bakal pergi. Tapi aku yakin Allah selalu melindungi Cak Lana. Aku nggak ingin tahu ke mana langkah membawa Cak Lana menjauh, aku cuma ingin menyampaikan jaga diri Cak Lana baik-baik." Hara berkata lembut.
"Aku mendengarnya," jawabku.
"Cak, doakan aku di sini, ya."
Aku mengangguk, lalu berdiri. "Aku pergi. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Perihal percakapan pamit tiga hari lalu, masih teringat jelas. Dan hari ini, aku benar-benar akan meninggalkanmu. Aku akan menjalankan amanat dari Kiai Usman, Ra.
Sekarang aku tengah bersama paman di lapangan belakang. Kami berdua telah menggunakan pakaian training dan bola basket telah berada di antara kami. Pukul 07.30 memang waktu yang nyaman untuk berolah raga.
Mentari tak benar-benar ingin terbit, pasalnya dia masih bersembunyi malu-malu di balik awan. Namun demikian, hal itu tak menyurutkan tekad kami untuk bermain di bawah langit dan di atas tanah ciptaan-Nya. Benar, manusia seakan hanya menyewa. Perihal memiliki dan dimiliki, manusia bukanlah siapa-siapa.
"Kalau kamu berhasil mengungguli saya, kamu akan mendapat biskuit jahe lebih banyak." Ammi berkata penuh optimisme, seakan-akan ia adalah raja lapangan.
"Ya, lihat aja." Aku mengambil bola orange bergaris hitam, lalu langsung melakukan dribbling untuk beberapa kali, sedang kedua mataku awas memperhatikan Ammi yang mulai bergerak hendak merebut bola yang kukuasai.
Sembari terus melakukan dribbling, aku melangkah sedikit demi sedikit mendekat di bawah gawang, lalu dalam sekali lompatan dimasukkan bola tersebut dan benar, aku berhasil melakukannya dengan baik.
Bola kembali pada tanganku, tetapi hanya untuk beberapa detik sebelum akhirnya Ammi berhasil mengambil alih dengan cekatan dan aku berusaha untuk merebut dari kedua tangannya yang kekar.
Tinggi badan kami memang tak terlampau jauh. 171 sentimeter ketika terakhir diukur di salah satu apotik minggu lalu. Sedangkan Ammi mungkin sekitar 3-4 senti di atasku. Perihal kekalahan atau kemenangan yang akan aku dapatkan, pasti kemenangan. Aku memaksa itu. Aku yang kelewat optimisme memang tak pernah terbersit rasa pesimis ketika menjalani hidup. Pasalnya hidup ini keras, dan hanya orang yang lebih keras daripada hidup itu sendiri yang bisa bertahan. Begitu dikatakan oleh Nawal El-Saadawi, penulis buku-buku feminisme dari Mesir, aktivis kemanusiaan.
Ammu berhasil memasukkan bola pada ring. Dengan cekatan, kuambil bola yang baru saja akan mendarat ke tanah dan langsung kugiring bola tersebut mendekat gawang. Permainan semakin panas, pasalnya Ammi mengerahkan seluruh tenaganya, begitu juga denganku.
Hingga satu setengah jam berlalu, Ammah muncul dari pintu belakang. Dia berjalan sembari membawa nampan, lalu duduk dan tersenyum memandang kami yang mulai kelelahan.
"Sudah dulu, ayo sarapan." Suara lembut Ammah mulai mengingatkan.
Aku tersenyum puas pada Ammi, pasalnya skorku tiga lebih tinggi dari miliknya. Ami menepuk pundakku. "Kamu udah nggak bisa dikalahin."
"Oh ya tentu. Aku kapten basket di pesantrenku." Aku tak tahu kenapa begitu bangga hingga jatuhnya seakan berkata sombong.
"Siapa yang mengajari kamu basket?" tanya Ammi.
"Bulenya Nadwah."
Ami tertawa kecil. Tapi, aku tak bercanda. Aku benar-benar diajari basket oleh santri yang bukan Indonesia tulen. Dia memiliki campuran darah Iran-Australia. Aku tak pernah tahu bagaimana ceritanya, sehingga dia bisa tinggal di sini. Kenapa memilih negara ini? Padahal dia bisa tinggal di Albania yang lebih toleran. Aku tidak mengatakan bahwa warga kami intoleran, karena sekarang mulai bermunculan banyak campaign tentang kesadaran penuh bagaimana kita seharusnya bertoleransi pada sesama. Tetapi aku pun tak ingin menutup mata, bahwa masih banyak sekali bibit-bibit intoleran yang tumbuh di sela-sela manusia bertoleransi.
Pada keran di tepi lapangan, kami mencuci tangan lalu segera beranjak ke arah Ammah. Di atas nampan ada lima potong sandwich, tiga gelas susu dan setoples kue jahe. Aku tak tahu kenapa Ammah harus repot-repot membuat sandwich, padahal menurutku sarapan nasi kuning lebih enak.
Ammi duduk di samping Ammah, sedangkan aku duduk di kursi kayu depan mereka. Mengambil sandwich, mulai berdoa dan memakannya sedikit demi sedikit kemudian.
"Berapa lama kamu di Kudus, Lana?" Ammah akhirnya bertanya.
"Kurang tahu. Terserah Kiai." Aku mengambil gelas susu, lalu meneguknya sedikit.
"Nanti pulang lagi ke sini, ya."
"Ammah kangen, ya," candaku.
"Ya pasti, siapa yang nggak kangen keponakannya." Ammah tertawa. Ami hanya memperhatikan kami sembari mengunyah dengan lahap sandwich keduanya.
"Tadi di tiketmu kereta berangkat jam berapa, Lana?" Kali ini Ami bertanya.
"Kurang lebih jam dua siang. Pokoknya pukul setengah dua aku harus udah di stasiun."
"Ya udah nanti minta Ammah buatkan bekal buat makanmu di jalan. Dan Lana, jangan terlalu percaya sama orang yang nggak dikenal, ya. Kadang-kadang kita harus waspada. Nggak semua orang yang kamu temui di jalan itu baik." Ammi menasihatiku. Aku hanya mengangguk seraya tersenyum. Jujur saja, aku memang tak pandai membedakan gelagat orang. Aku tak pernah bisa curiga pada orang lain, dan itu yang selalu ammi khawatirkan.
Dulu sekali, aku pernah bertanya arah pada pedagang, lalu dia menunjukkan padaku jalan menuju alas roban. Di sana ada beberapa lelaki berpakaian hitam. Saat itu aku memang mulai merasa takut, untung saja temanku segera datang. Dan setelah kejadian itu, Ammi selalu mengkhawatirkanku. Lebih tepatnya, mengkhawatirkan kecerobohanku.
"Baba dan Mama?" Kali ini Ammi bertanya lagi.
"Aku udah memberitahukan Baba dan Mama perihal amanat ini. Mereka nggak bisa ke sini, karena kedua adikku harus sekolah dan Baba nggak dapat libur dari Universitas."
Baba bekerja sebagai Dosen agama di salah satu universitas negeri di kota Bandung. Kedua orang tuaku memang tinggal di sana. Perihal Baba yang berkebangsaan Arab, dulu Mama dan Baba bertemu di Sudan ketika S2. Aku pernah mendengar cerita bahwa Baba meminta Mama tinggal di sana pada awalnya. Namun, Mama menolak. Mama mencintai Indonesia dan Bandung kota kelahirannya tentu saja. Hingga akhirnya Baba mengalah untuk pindah ke sini demi menikah dengan Mama.
Kata keluargaku, wajahku memang mirip dengan Baba. Kami sama-sama memiliki garis wajah yang tegas, hidung mancung, alis tebal dan kulit seputih susu. Namun, ketegasan Baba tak diturunkan padaku sepertinya. Karena kata Mama, aku berbeda dengan Baba dalam hal sifat.
"Baik kalau begitu. Ammi akan bertanggungjawab padamu," putus Ammi.
"Ah, Ammi nggak mengantarku sampai Kudus, kan?"
"Enggak dong. Ami dan Amah sibuk bekerja. Karena hari ini libur, jadi kami bisa menemanimu di sini untuk dua hari."
Aku tersenyum. Paman dan bibiku memang orang baik. Selama 3 tahun di Nadwah, mereka sering sekali ke asrama sekadar menjenguk meski sebentar.
Selama kuliah pun, aku memang dipinta untuk tinggal di sini. Kedua anak mereka mengenyam pendidikan di luar kota, sehingga keduanya jarang pulang. Dan ketika mereka tahu bahwa aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jogja, mereka langsung meminta izin pada Baba dan Mama agar aku tinggal di rumahnya. Kebetulan jarak dari rumah mereka dengan kampus tak begitu jauh, sehingga hanya butuh 10 menit naik motor.
Dan untuk tiga bulan ke depan, aku meninggalkan kota ini. Meninggalkan kamu tentu saja, Ra. Tapi satu hal yang menguatkan, bahwa sejak kemarin aku telah menitipkan hatimu pada Allah. Biarkan Dia yang menjaga perasaanmu. Ra, mari kita mulai membaca Al-Fatihah untuk hati kita masing-masing. Semoga kita kembali menjadi sepasang "Kita" yang kemudian menyatu dalam fana dunia.
⭐⭐
Update!
Teman-teman yang baik, jangan lupa untuk tinggalkan vote-nya! Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik.
Dan bila tidak keberatan, bole follow akun IG @/ hallo_milkyway 🌻
Semangat menunaikan ibadah puasa.
15.04.21
Salam | Kaf
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro