Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Obat Kangen

POV Jamal

"Huft. Dua bulan lima belas hari. Masih lima belas hari lagi ya, Ca."
"Hem ... iya."
"Kangen, Ca."
"Hem ... iya."
"Pengen ketemu Mimmosa."
"Iya."
"Dia lagi ngapain ya?"
"Iya."
"Ca!" bentakku.
"Eh apa!" Caca nampak kaget kemudian tersenyum manis ke arahku.
"Aku lagi ngajakin ngomong ya Ca, malah kamu fokus ke laptop."
"Mumpung laptop kamu nganggur, dari pada gak kepakai ya aku pakai. Eman-eman."
"Ck. Ngebet amat lulus gasik, Ca. Buat apa lulus gasik kalau wisudanya mau bareng kita."
"Biar irit Mal, tahu sendirilah kondisi aku sama Hasan gimana?"
"Iya juga sih."
Aku akhirnya memilih bermain dengan ponselku. Masa PPL kami sudah mendekati hari akhir jadi lumayan sibuk bikin laporan tapi ngajarnya sudah santai. Soalnya para siswa sedang melaksanakan ujian semester gasal.
"Eh Ca, Hasan telepon."
"Angkat aja. Mungkin penting," sahut Caca masih mengutak atik laptop.
Akhirnya aku mengangkat telepon dari Hasan.
"Ya San, gimana?"
"Caca sama kamu?" Suara di seberang sana.
"Iya. Kenapa?"
"Bilangin cepet pulang. Eyang ngedrop dan pingsan." Suara disana terdengar sangat khawatir.
"Oke aku bilangin ke Caca ya."
"Oke. Kalau bisa anterin ya Mal. Aku minta tolong. Ini aku belum bisa pulang. Aku malah lagi ikut guru pendampingku ke Bandung."
"Oke. Kamu tenang aja."
Klik. Aku memutuskan sambungan setelah mengucapkan salam.
"Kenapa Mal? Kayaknya serius banget?" tanya Caca.
"Eyang kamu ngedrop, kamu disuruh pulang. Hasan lagi di Badung gak bisa pulang."
"Astaghfirullah. Oke aku ijin, kamu anterin ya."
"Oke. Siap-siap sana!"
"Iya."
Aku dan Caca bergegas minta ijin ke pihak Sekolah untuk pulang ke Jepara. Sepanjang perjalanan Caca nampak gelisah. Aku berulangkali meminta dia sabar dan beristighfar. Sayang, sepertinya tidak berhasil.
Dor. Ya Allah. Motorku sedikit oleng namun aku bisa mengendalikannya dan berhenti di pinggir jalan. Aku segera mencari tahu apa yang terjadi pada motor bebekku ini.
"Aduh Ca, ban motorku bocor ini."
"Ya Allah, Mal. Ini gimana? Udah tanggung banget ini. Udah setengah jalan. Mana sepi lagi udah sore. Gak mungkin ada angkot. Eyangku gimana ini?" Caca semakin gelisah bahkan matanya sudah berkaca-kaca.
Kami pun mendorong motor mencari tempat tambal ban terdekat. Sayang hampir setengah jam kami berjalan tak satupun yang terlihat. Saat aku dan Caca tengah mendorong motorku. Sebuah motor Honda CBR merah berhenti.
"Kenapa?" tanyanya tanpa membuka helm.
"Bocor Mas," jawabku.
"Tunggu."
Dia nampak tengah menghubungi seseorang dengan ponselnya. Aku mengamati gerak gerik si cowok. Ada perasaan curiga dan takut kalau dia adalah salah satu sindikat perampok. Eh tapi kok ... dilihat dari posturnya kok kayak kenal tapi siapa ya?
"Bentar lagi temenku datang. Dia punya bengkel. Kalian tunggu disini saja. Saya harus segera pergi ke Jepara ada urusan di sana."
"Iya Mas makasih," jawabku.
"Eh Mas tunggu, masnya mau ke Jepara mana?" Caca nekat bertanya.
"Mayong."
"Saya ikut, tolong saya Mas. Nenek saya sakit dan butuh saya. Tolong Mas." Caca sudah menangis sampai sesenggukan.
Masnya tampak ragu-ragu namun keadaan Caca yang menyedihkan sepertinya membuatnya iba.
"Naiklah." Akhirnya, dia mengijinkan Caca membonceng.
"Makasih Mas. Mal, aku nunggu kamu di sana ya. Aku duluan. Makasih."
Caca langsung duduk membonceng di belakang. Mereka pun segera berlalu meninggalkan diriku seorang diri. Astaga Ca, tega bener kamu ya. Apa kamu gak takut diculik sama masnya. Gimana kalau kita ditipu?
Aku mendesah, bingung antara harus nunggu atau jalan. Selang lima belas menit, ternyata sebuah mobil menghampiriku dan turunlah dua orang mas-mas. Aku sedikit takut apa aku mau dirampok ya?
"Temennya Azzam ya?"
"Hah Azzam? Azzam siapa? Oh ... iya hehehe." Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal.
"Oke, Nan ini beneran temennya. Ayok kita langsung perbaiki."
"Oke."
Kedua mas-mas itu membantuku mengganti ban motor yang meletus dengan ban baru. Alhamdulillah berarti mas-masnya beneran baik. Berarti Caca aman.
Kurang lebih setelah setengah jam akhirnya ban motorku sudah diganti. Mana gratis lagi. Duh, Mas gondrong ternyata baik. Temennya juga baik. Aku mengucapkan terima kasih pada keduanya dan setelah mentraktir mereka makan, aku segera meluncur ke rumah Caca.
****
"Ca."
"Eh ... Mal."
"Gimana Eyang kamu?"
"Udah mendingan."
"Kenapa katanya?"
"Penyakit tua Mal, katanya sih sudah kategori komplikasi."
"Sabar ya."
"Iya. Kamu kok tahu aku ke sini?"
"Emangnya mau di rumah sakit mana lagi?"
"Hem ... iya benar."
Hening.
"Teman-teman besok kesini. Ada Meta sama Nada juga," ucapku sambil tersenyum.
Kulihat Caca juga ikut tersenyum.
"Akhirnya kamu bisa ketemu juga ya." Celetuk Caca berusaha menggodaku. Tapi aku tahu itu wujud mengalihkan rasa sedihnya.
"Iya. Kangen berat aku."
Hening.
"Ca. Mas-mas yang ngantar kamu kemana?"
"Ya Allah, aku usir Mal."
"Astagfirullah Ca. Jahat sekali kamu. Udah nolongin kamu juga."
"Habis aku takut keluarga Lik Mirna mikir macem-macem sama aku dan si cowok. Ya Allah, Mal. Aku jahat banget ya."
Kulihat Caca menundukkan kepalanya dan mulai menangis lagi.
"Ya udah mau gimana lagi, orang udah kejadian," hiburku.
Caca masih menangis, aku hanya bisa menghiburnya dengan kata-kata gak mungkin kan aku meluk dia, bukan muhrim. Dan Caca walau bukan santri juga tak pernah mau bersentuhan dengan lawan jenis.
Tadi aja pas mbonceng aku, ada tas di tengah-tengah kami. Cuma sayang saking paniknya, Caca malah main mbonceng Mas CBR merah tanpa ada sekat sama masnya. Duh rejeki si masnya tuh. Aku bisa membayangkan adegan pas si Mas ngerem mendadak. Peluk manjah dah. Hihihihi.
"Mbak." Seorang perawat datang menghampiri kami sekaligus membuyarkan lamunan anehku tentang Caca dan si Mas CBR.
"Iya," jawab Caca.
"Ini ada titipan dari mas-mas rambut gondrong buat Mbak. Katanya Mbak harus makan biar bisa jagain Eyangnya."
"Oh makasih Mbak."
"Mbaknya tahu masnya kayak apa?" tanyaku penasaran.
"Tinggi menjulang, kulit putih, rambut gondrong diikat rapi, sedikit berjambang, kesan mukanya galak nan seram tapi tampan. Hihihihi."
"Sama saya tampanan siapa Mbak?" godaku.
"Mas gondrong kemana-manalah," lalu dia pun pergi meninggalkanku yang tengah mendongkol.
"Buka Ca!" perintahku.
Caca membuka kresek berwarna ungu, wah ayam penyet dua porsi dan juga kresek putih berlogo Indonesiamaret kubuka dan tampaklah air mineral tiga botol, roti, biskuit, cokelat wuih komplet.
"Hem ... Ca. Besok-besok pas kamu ketemu sama dia kamu harus minta maaf. Kalau perlu balas kebaikannya."
"Iya. Nanti aku balas dengan menjadi makmumnya seumur hidup."
"Hahaha Ca ... Ca. Amin. Aku aminin dah siapa tahu diijabah sama Allah," ucapku.
"Eh, kamu memangnya tahu muka masnya kayak apa?" tanyaku.
"Enggak."
"Ckkckck. Ca, kalau jelek gimana?"
"Ganteng kok. Tadi Mbak suster bilang gitu. Makanya gak papa aku jadi makmumnya."
"Kalau dia galak macam singa gimana?"
"Ya gak papa. Galak di luar tapi sama aku sayang."
"Wuih. Ngarep."
"Biarin."
"Eh. Beneran gak sih dia ganteng?"
"Ganteng. Kan udah dijelasin sama Mbak susternya."
"Ganteng relatif Ca. Kalau tampan itu subjektif."
"Ck. Terserah. Makan yuk."
"Ayuk."
Akhirnya kami makan dan sambil mengobrol hal lainnya. Alhamdulillah Caca udah mendingan gak nangis-nangis lagi.
******
"Nada," teriakku.
"Jamal."
"Kapan kamu sampai?"
"Baru aja, sama Meta. Tapi Metanya lagi sama Caca nebus obat."
"Oh. Gimana kabar kamu?"
"Baik. Kamu gimana?" tanyanya sambil menunduk.
"Aku baik. PPL kamu gimana?"
"Alhamdulilah lancar, kamu?"
"Gak lancar?"
"Kenapa?" tanyanya kemudian menatapku penuh tanya dan kekhawatiran.
"Aku sakit."
"Kamu sakit apa?" Kulihat Nada semakin khawatir.
"Sakit rindu sama kamu."
Blush. Kulihat pipi Nada memerah semerah tomat.
"Tapi sekarang sakitnya udah hilang."
"Be-benarkah?"
"Iya. Soalnya udah sembuh karena bertemu dikau sayang."
Blush. Pipi Nada berubah menjadi merah lagi.
"Ternyata obat kangen itu gampang ya Nad."
"Hah? A-apa obatnya?"
"Ketemu sama orangnya. Langsung lagi kayak aku yang ketemu kamu," ucapku sambil menaik turunkan alisku.
Sedangkan Nada hanya tersipu malu.
"Nad."
"Iya."
"Aku kangen sama kamu, kangeeeen banget. Kamu kangen gak sama aku?"
Diam. Nada hanya menjawabku dengan sebuah senyum menawan. Duh, pengin terbang rasanya. Alhamdulillah masih diberi kesehatan buat lihat calon bidadariku. Insya Allah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro