3. Pembuktian
POV Jamal
Sudah satu tahun aku kuliah di UNS. Alhamdulillah aku sudah bisa menikmati kehidupanku disini apalagi ada cewek inceranku kuliah disini juga, ya walau beda jurusan. Gak papa yang penting aku cinta. Dan aku akan berusaha mendapatkan cintanya.
Aku memanggilnya Mimosa pudica karena karakternya yang pemalu apalagi kalau sedang kudekati. Mimosa pudica itu nama latin untuk tanaman putri malu. Nada itu pembawaannya menunduk terus persis seperti tanaman putri malu. Sedangkan pada sahabat baiknya aku memanggilnya Oryza sativa karena sifatnya yang seperti padi, semakin berisi semakin menunduk. Caca itu memiliki banyak kelebihan tapi dia tak pernah sombong.
"Jamal."
"Iya."
"Kamu ngapain sih. Seneng banget ngintipin anak biologi," ucap sahabat baikku, Tomo.
"Soalnya, gadis inceranku kuliah disini."
"Owalah. Udah berhasil belum deketinnya."
"Belum."
"Hahaha. Ditolak kamu."
"Gak tahu. Soalnya ni cewek gak pernah kasih kepastian ke aku. Dia itu suka atau enggak ke aku."
"Lah kok gitu."
"Ya emang gitu. Pstt ... diam dulu, dia datang."
Bak Jaka Tarub lagi ngintipin Nawang Wulan, aku juga gitu. Ah disana bidadariku lagi jalan bareng duo sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Caca sama Meta.
"Mimosa? Halo apa kabar?" sapaku dengan senyum manis.
Tuh kan dia cuma nunduk lagi. Sedangkan Caca tersenyum ke arahku. Meta langsung memasang wajah galak ceritanya.
"Ya ampun crustaceae Jamal, ngagetin aja kamu." Meta yang justru menjawab sapaanku.
"Sansevieria, bisa gak sih gak ganggu aku dulu."
"Astaga kamu ngasih julukan ke aku kok jelek banget sih."
Sansevieria nama latin lidah mertua sedangkan aku dipanggil Crustaceae karena mereka tahu aku punya tambak dan pecinta udang.
"Ya habisnya kamu sukanya nyinyir kayak mertua sama mantunya."
"Astaga, awas kamu ya Jamal."
"Salam damai Sanse, aku lagi ada perlu sama calon istriku insya Allah."
"Ckckck. Gak ibu restuin wahai kamu calon mantu gagal!" seru Meta dramatis.
"Ya ampun ibunda ratu, plis, aku cinta sekali sama anakmu."
"Gak pokoknya." Meta pun berusaha menampilkan mimik muka ibu mertua jahat sayang gatot alias gagal total. Lah sok-sokan memelototkan matanya, malah jadinya lucu orang matanya sipit juga.
"Hahaha. Gak usah melotot buk, sadar dong matamu sipit," kelakarku.
"Hahaha. Iya yah. Kamu ngapain kesini sih?" tanya Meta.
"Ngajak Nada jalan sekalian sama kalian berdua."
"Jamal, sekalian makan ya. Lapar ini," sambung Caca.
"Oke. Ayok aku traktir," ajakku pada mereka semua.
"Asikkk!" teriak mereka kecuali Nada tentunya yang hanya diam dan tersenyum.
****
Aku membawa teman-temanku ke salah satu warung makan langganan kami. Selain enak makanannya juga harganya murah. Cocok untuk kantong mahasiswa seperti kami. Sambil menunggu makanan, kami mengobrol. Seperti biasa percakapan akan didominasi sama aku, Tomo, Meta dan Caca. Nada hanya diam dan sesekali menimpali kalau ditanya.
Sejak tadi, aku selalu curi-curi pandang ke arah Nada. Saat mata kami bertubrukan dia akan menunduk dengan muka yang merah merona. Ya Allah cantiknya.
"Oh iya, Mal. Kamu kan punya tambak udang ya?" tanya Tomo.
"Iya kenapa?" jawabku bingung.
"Kamu jual kemana?"
"Sekitar Kudus aja. Kenapa?"
"Ini ada pesenan luar kota mau?"
"Ehm ... pengen sih tapi aku bingung model kirimnya."
"Ya kirim model fresh, beku sama olahan dong Mal," celetuk Caca.
"Maksudnya?" tanyaku.
"Jamaludin Akbar. Kamu ini usaha kok cuma seputar itu ya kamu mikirlah ada banyak restoran seafood biasanya butuh stok udang. Kamu kasih harga beda untuk yang fresh sama beku. Terus daripada nganggur di rumah bikin rumah makan aja sekalian gitu. Atau kamu bikin disini nanti aku bantu jadi kokinya sekalian aku sama Hasan bisa ikut kerja."
"Oke, setuju. Nanti kalian bantu aku kan?"
"Pasti, aku jadi waitresnya aja soalnya aku gak bisa masak," celetuk Meta.
"Kalau Nada?" tanyaku.
"Eh, Nada ikut aja. Manut. Terserah disuruh bantu apa aja," sahutnya.
"Oke. Aku usahain dulu modalnya ya?"
Akhirnya kami bercerita ke hal-hal lainnya.
*****
Setelah mencari modal kesana kemari aku bisa menyewa ruko dimana pegawainya adalah para sahabatku dengan koki utama Caca dan Hasan. Rumah makan seafood ini kuberi nama "Crusmimo" hehehe.
Nada yang pemalu aku jadikan kasir. Sedangkan aku, Meta dan Tomo menjadi waitres. Alhamdulillah tempat ini menjadi jalan bagiku dan teman-temanku untuk menambah uang saku terutama untuk Caca dan Hasan.
Usaha tambakku pun semakin pesat karena aku berani memasarkannya keluar kota dan restoran seafood. Meski Abah sama Umi bahkan seluruh saudaraku sering menganggap usahaku dengan sebelah mata aku tak peduli.
Alhamdulillah jatuh bangun membangun usaha tambak dan rumah makan akhirnya di tahun kedua sudah mulai ada peningkatan.
Sayang hubunganku dengan Nada masih saja jalan di tempat. Beberapa kali aku mencoba mendekatinya, ya memang bukan jenis pendekatan ala khalayak umum. Maksudnya aku ingin mengenalnya lebih dekat dan saat kami lulus dan usahaku lebih baik aku ingin melamarnya. Sayang dia susah sekali digapai.
*****
"San."
"Iya."
"Aku itu kurang apa ya? Apa aku kurang ganteng? Iya sih kuakui, aku kurang ganteng kalau dibandingkan sama kakaknya Nada. Kakaknya itu udah tinggi banget kayak tiang tiang listrik, kulitnya putih, wajahnya terkesan sangar tapi ganteng. Padahal gondrong. Nah aku? Tapi kan aku gak jelek-jelek amat ya." Aku lagi curhat sama Hasan ceritanya.
"Udah kamu tanyain sama Caca belum?"
"Udah. Tapi ya gitu. Nada gak pernah mau ngomong apa-apa. Aku cuma ingin tahu aja. Dia mau gak sih sama aku. Kalau dia mau, habis lulus mau aku halalin. Tapi kalau gak mau aku akan terus perjuangin."
"Hahaha. Sama aja dong Mal."
"Hehehe. Iya sih."
Hening.
"Aku tuh merasa dalam keluargaku aku gak di anggap San."
"Kamu anak nomer berapa?"
"Bungsu dari empat bersaudara. Semuanya laki-laki. Bagi Abah sama Umi, kalau aku jadi anak pinter ya sama seperti para abangku, kalau bodoh aku dibanding-bandingkan. Bajuku lungsuran abangku semua," keluhku.
"Jadi kamu pikir jadi sulung lebih enak daripada jadi bungsu?" tanya Hasan balik.
"Iya."
"Aku sulung dari tiga bersaudara, tapi aku selalu dianaktirikan. Kamu tahu kenapa?"
"Kenapa?" tanyaku.
"Karena aku anak dari istri pertama yang udah meninggal."
"San."
"Aku dan Caca itu kayak orang terbuang tahu. Bahkan untuk sekolah kami harus mikir bagaimana caranya. Untung Allah ngasih otak yang lumayan encer buatku sama Caca jadi bisa kuliah. Setidaknya kamu mending, gak perlu pusing mikirin duit buat hidup. Kamu tuh cuma butuh pengakuan tahu. Makanya buktikan, udah itu aja."
Hening. Aku memikirkan semua perkataan Hasan.
"Kamu benar dan untuk Nada sepertinya dia juga butuh pembuktian dariku."
"Jelas. Kita kan gak tahu di rumah kondisi Nada kayak gimana. Bisa aja dia di warning sama keluarganya buat jangan pacaran dan disuruh fokus ke kuliah."
"Iya juga sih."
Kami pun akhirnya bercerita ke hal lainnnya. Hingga malam semakin larut dan kami memutuskan untuk tidur.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro