Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PRIDE VS WRATH

Satu kesombongan yang kau simpan rapi dihatimu, bisa membuatmu melakukan banyak kesalahan. Bahkan seseorang bisa membenarkan segala cara hanya untuk mempertahankan kesombongan itu. Merasa diatas, merasa terbaik akan menjadikan seseorang menekan semua yang mencoba mengancam kebanggaan tersebut. Dan akhirnya kesalahan demi kesalahanpun dibenarkan, hanya untuk sebuah pengakuan yang sebenarnya berbentuk fiktif.

°☆°

Tatapan angkuh sang Lucifer bertemu dengan tatapan marah sang Behemoth. Tangan kekar sang Behemoth terlihat menggepal, saat mendapati tatapan merendahkannya diantar ekspresi angkuh yang ditunjukkan Hyungwon sang Lucifer.

"Ada banyak Behemoth di dunia ini, kenapa aku harus bertemu denganmu?" Kalimat bernada keluhan itu Hyungwon urai untuk Wonho, si Behemoth.

"Bukankah seharusnya akulah yang mengatakan itu." Sambut Wonho tanpa membuka lebar mulutnya.

"Kenapa kau yang harus mengatakan? Disaat memang sudah seharusnya akulah yang mengeluhkan hal itu?"

"Apa yang membuatmu berpikir kaulah yang harus mengatakannya?" Dengan nada menggeram, Wonho membalas.

"Aku Lucifer." Jawab Hyungwon masih dengan tatapan angkuhnya.

"Lalu kenapa kalau kau lucifer?"

"Kau lupa? Iblis tertinggi itu aku, Lucifer." Wonho dibuat tersenyum sarkas karena ucapan Hyungwon itu.

"Itu tak terdengar lucu ditelingaku, jadi jangan bercanda." Menarik senyum penuh ejekan, Wonho berujar.

"Aku tidak bercanda tuan Behemoth, itu adalah fakta bukan candaan." Hyungwon melipat tangannya didepan dada.

"Fakta?" Masih memasang senyum yang sama, Wonho membalas. "Tapi kenapa ditelingaku itu seperti lelucon." Sambungnya seraya berbalik hendak beranjak.

"Itu karena kau terlalu bodoh untuk membedakan mana candaan dan bukan." Gerakan kaki Wonho yang baru saja berayun, segera tertahan karena kata-kata Hyungwon.

"Mworago?" Wonho sudah nampak berbalik dan menatap tajam Hyungwon.

"Belajarlah dari dunia dan jadi pintar. Kau berhak terlihat sedikit lebih pintar." Kalimat tersebut berhasil membuat Wonho berada dipuncak amarahnya.

Baru saja sang Behemoth akan menghampiri Hyungwon untuk memberi peajaran pada namja jangkung tersebut. Namun gerakan kaki Wonho kembali terhenti karena cahaya yang dihasilkan oleh cincin yang melingkar dijarinya. Menatap benda tersebut, Wonho mengarahkan tatapan pada Hyungwon kemudian. Tangan kekarnyapun kembali menggepal kuat melihat ekspresi santai yang ditunjukkan sang Lucifer.

"Tugasku menyelamatkanmu hari ini kurus, tapi lain kali tidak." Wonho berujar dengan nada geram.

"Wuaaah....aku takut sekali." Hyungwon memasang ekspresi takut yang dibuat-buat, menjadikan Wonho kian kesal.

Tak berniat meladeni namja kurus dihadapannya, Wonho segera menghilang. Meninggalkan Hyungwon yang memasang senyum penuh kemenangan.

"Menyenangkan membuat kesal seorang pemarah." Gumam Hyungwon sebelum kemudian menatap cincinnya yang juga ikut bersinar.

"Pekerjaan menungguku juga ternyata." Ucap Hyungwon dan segera menghilang dari tempat itu kemudian.

°☆°

"Aku tidak menjiplak." Sebuah kalimat membuat seorang yeoja yang semula sibuk dengan buku partiturnya menoleh.

"Lalu kenapa nada lagumu sama dengan nada yang kubuat?" Balasan itu membuat si yeoja bangkit untuk menghampiri dua rekannya yang terlibat perdebatan.

"Musik hanya berputar di nada yang sama, jadi wajar jika terdengar mirip bukan." Pembelaan tersebut membuat yang mendengar mengerutkan keningnya.

"Itu tidak sekedar mirip Yuna-ya, tapi itu memang sama. Semua nadanya tak jauh berbeda, hanya beberapa bagian saja yang terdengar sedikit diubah." Balas sosok yang berdiri didepan yeoja bernama Yuna

"Chaerin-a....kau ini kejam sekali, bagaimana bisa kau menuduhku seperti itu." Memasang wajah memelas, Chaerin segera dibuat kesal karena balasan Yuna.

"Ada apa?" Yuna dan Chaerin segera mengarahkan pandangan pada yeoja yang sudah berada diantara mereka.

"Haera eonnie...bukankah kau tahu lagu yang kuperdengarkan padamu kemarin." Chaerin mencuri start untuk menjelaskan.

"Eoh..whae?" Setelah mengangguk, yeoja bernama Haera balas bertanya.

"Yuna menjiplak nadanya, dan dia tak mau mengaku." Jelas Chaerin.

"Benarkah?" Haera mengarahkan pandangannya pada Yuna.

"Aniyo eonnie...aku tidak menjiplaknya, sungguh. Itu memang terdengar mirip, tapi aku membuat musik-ku sendiri. Mungkin itu sama karena aku membuatnya setelah mendengar lagu yang Chaerin buat." Masih memasang ekspresi yang sama, Yuna membalas.

"Bohong." Sanggah Chaerin.

"Aku tidak berbohong!" Sedikit meninggikan suaranya, Yuna berujar dengan wajah kesal.

"Bukankah lebih baik kau mengaku saja, kenapa terus keras kepala dan menyangkal?" Chaerin berujar seraya berkacak pinggang.

"Kenapa aku harus mengakui kesalahan yang tidak kubuat?" Yuna melakukan hal yang sama, membuat Haera yang masih berada diantara mereka mulai nampak pusing.

"Dalmin-a..." Panggilnya pada yeoja lain yang ada diruangan itu.

Menoleh setelah namanya dipanggil, yeoja bernama Dalmin segera menghampiri Haera.

"Ne eonnie." sahutnya kemudian setelah ada disisi Haera.

"Bawa Chaerin ke ruang lain, aku mau bicara dengan Yuna." Perintah itu disambut anggukan Dalmin.

Meraih lengan Chaerin, Dalmin cepat membawa yeoja itu beranjak. Sempat berusaha bertahan disana, Chaerin kemudian harus beranjak saat melihat tatapan Haera yang nampak memohon padanya.

"Eonnie...aku benar-benar tidak menjiplak, itu murni karyaku." Tepat sesaat setelah Dalmin dan Chaerin meninggalkan ruangan tersebut, Yuna berujar dengan wajah memelas.

"Bisa eonnie mendengar lagu buatanmu." Menarik seulas senyum tipis, Haera berujar.

"Eonnie...kau tak percaya padaku?" Yuna sudah merubah ekspresi wajahnya.

"Eonnie percaya padamu." Haera meraih bahu Yuna dan mengusapnya pelan.

"Lalu kenapa eonnie harus mendengar laguku?"

"Itu karena eonnie harus memastikannya."

"Memastikan?" Yuna menarik senyum sinis. "Itu terdengar seperti kata lain kalau kau tidak mempercayaiku." Lanjutnya yang disambut gelengan pelan Haera.

"Tidak Yuna, eonnie hanya..."

"Eonnie...aku Yuna, Park Yuna...apa kau lupa?" Mengubah sepenuhnya ekspresi diwajahnya, Yuna berujar.

"Aku....adalah orang yang selalu membantumu membuat lirik lagu. Orang yang menyumbang nada untuk menyempurnakan lagumu. Orang yang memberimu ide baru, apa kau lupa." Lanjut Yuna membuat Haera yang akan berujar segera terdiam.

"Akulah orang yang berjasa membuatmu kembali menulis lagu eonnie. Aku yang membuatmu kembali percaya diri menciptakan lagu. Lalu...bagaimana bisa kau meragukanku sekarang?"

"Yuna-ya...itu karena menulis lirik dan menyempurnakan nada berbeda dengan menciptakan sebuah lagu penuh. Karena itu eonnie berpikir, mungkin saja..."

"Tunggu.." Mengacungkan tangannya diudara, Yuna membuat Haera menahan kata-katanya. "Eonnie...apa kau menyepelekan kemampuanku?" Tuduh Yuna yang dibalas gelengan pelan.

"Jangan berbohong!!!"  Bentak Yuna membuat Haera tersentak.

"Eonnie...jangan karena musik buatamu sudah dibeli sebuah perusahaan, kau berhak menyepelekan kemampuanku. Kau tidak berhak melakukan itu, karena satu keberuntungan yang tak sengaja kau miliki." Ucapan Yuna tak mendapat balasan dari Haeri.

"Kau lupa...karya itu bisa dibeli karena kau menjadi penjilat, jadi kau tak harus merasa hebat dan merendahkan kemampuanku karena itu." Tangan Haera menggepal karena ucapan tersebut.

"Yuna-ya...eonnie hanya memintamu memperdengarkan lagu yang kau ciptakan. Lalu kenapa kau mengatakan semua itu pada eonnie?" Haera berusaha menahan emosinya.

"Whae? Kau tersinggung karena fakta yang kukatakan?" Yuna memasang senyum mengejek.

"Yuna-ya..."

"Jika kau tidak benar-benar memiliki kemampuan, jangan merendahkan orang lain eonnie. Karena itu membuatmu jauh terlihat lebih rendah. Keberuntunganmu hanya sesuatu yang kau dapatkan dari hasil menjadi seorang penjilat. Jadi...jangan coba terlihat seperti seorang profesional didepanku. Kau...dan semua orang disini tak berhak menilaiku. Karena aku memiliki kemampuan yang bahkan tak pernah kalian tahu. Berhenti bersikap kalau kalian lebih paham segalanya. Karena itu memuakkan."

"Yuna-ya..." Haera berujar lemah karena kalimat panjang dari Yuna.

"Eonnie...aku tahu selama ini aku hanya membantumu membuat musik. Tapi bukan berarti aku tak memiliki kemampuan. Bukankah kau sudah mendengar bagaimana musik yang kubuat? Bukankah kau juga memuji musikku? Lalu...kenapa sekarang kau merendahkan kemampuanku?" Yuna memasang wajah kecewa.

"Yun..."

"Aku tahu aku tak pernah benar-benar menyelesaikan laguku eonnie. Tapi aku bisa membuat musik, aku bisa membuatnya. Kau...tak berhak merendahkan kemampuanku hanya karena apa yang kau raih eonnie. Sedikitpun kau tak berhak melakukannya, sama sekali tidak berhak. Karena kemampuanmu...tidaklah lebih baik dari kemampuanku. Dan sesuatu yang kau banggakan selama ini, hanya sebuah keberuntungan. Bukan sesuatu yang kau capai dengan kemampuan terbaikmu." Menyambar tas miliknya, Yuna beranjak dengan langkah kesal. Meninggalkan Haera yang masih terus menahan kesalnya.

"Kenapa dia menahan emosinya? Tidakkah dia tahu dia bisa menderita hypertensi karena itu?" Dari seberang bangunan sang Behemoth bergumam pelan seraya mengusap cincinnya yang bersinar.

°☆°

Manusia berada pada titik terlemahnya ketika melawan dalam keadaan marah. Tidak hanya akan membuatnya melakukan kesalahan kecil, amarah bisa menciptakan dosa lain yang akan membuat manusia menyesal. Terluka dan kecewa, dua hal yang bisa memicu amarah. Dan siap memuntahkan peluru kesalahan pada diri manusia jika mereka tidak mampu mengendalikannya.

°☆°

"Kau sudah pernah melakukannya, lalu kenapa sekarang kau terlihat ragu?" Yuna segera menoleh pada sosok Hyungwon yang mengejutkannya.

"Kau siapa?" Yuna balas bertanya, pada sosok yang dengan santainya meraih sebuah map yang dipegang Yuna.

"Ambil dan copy, lalu lakukan perubahan kecil pada musik baru milikmu. Seperti yang kau lakukan sebelumnya." Memilih mengabaikan pertanyaan Yuna, Hyungwon berujar.

"Bagaimana kau..." Yuna terlihat kaget dengan kata-kata Hyungwon.

"Bukankah saat kau memperdengarkan musik itu diluar sana kau menerima banyak pujian? Maka lakukan lagi, dan raih lebih banyak pujian dengan musik baru buatanmu. Abaikan ucapan orang-orang disini yang menuduhmu menjiplak. Dan perdengarkan musikmu pada orang-orang yang lebih menghargai hasil ciptaanmu." Kalimat panjang Hyungwon memutus kata-kata Yuna.

Tak ada balasan dari Yuna. Yeoja itu nampak menunduk memandang map ditangannya. Hyungwon yang masih disana terlihat memperhatikan Yuna sesaat. Sebelum kemudian menyandarkan tubuhnya pada rak yang ada didekatnya.

"Kalau kau ragu-ragu seperti ini, kau tak akan meraih apa yang kau mau." Ucapan Hyungwon membuat Yuna kembali mengarahkan pandangan padanya.

"Tunjukan pada Lee Haera kalau kau lebih baik darinya. Tunjukkan pada yeoja itu, musikmu bisa didengar banyak orang tanpa harus menjadi penjilat sepertinya. Bersinarlah dengan karyamu, dan tinggalkan mereka. Cukup dengan ini...kau...bisa membuat musik sendiri yang nantinya akan menyaingi musik buatan yeoja itu." Menunjuk map yang ada ditangan Yuna, Hyungwon coba menyeret keraguan dihati yeoja itu.

"Apa aku bisa?" Tanya Yuna yang disambut senyum tipis Hyungwon.

"Kau sudah melakukannya, jadi kenapa harus bertanya lagi." Menyilangkan tangan didada, Hyungwon menjawab.

"Tapi nanti..."

"Maka keluar dari sini. Karena disini kau hanya akan terus berada dibawah bayang-bayang Lee Haera. Kau bisa berdiri dibawah kakimu sendiri. Jadi pergi saja dan tinggalkan orang-orang yang tidak menghargai kemampuanmu." Belum Yuna menuntaskan kata-katanya, Hyungwon sudah berujar.

"Diluar sana ada banyak orang yang tulus dan menghargai musik yang kau buat. Berbeda dengan orang-orang yang ada disini. Semua orang disini hanyalah pembohong yang coba menghiburmu dengan mengatakan kalimat manis, tapi dibelakangmu mereka justru meragukan kemampuan yang kau miliki. Jadi pergilah, dan buat musikmu sendiri. Bebaskan dirimu dari orang-orang disini. Yang bahkan tak bisa melihat kehebatanmu." Hyungwon terus menghasut Yuna.

"Kau...mau memiliki kebanggaan yang dimiliki oleh Lee Haera bukan?" Yuna menganggukkan kepalanya karena kalimat tanya yang Hyungwon ucapkan padanya.

"Satu-satunya cara agar kau memiliki kebanggaan itu adalah dengan pergi darinya. Jika kau terus berada disini, orang-orang hanya mengenalmu sebagai partnernya. Tapi jika kau diluar sana, kau akan dikenal sebagai dirimu." Uraian kata manis Hyungwon masih terus diarahkan untuk menghasut Yuna.

"Tapi...banyak yang sudah tahu kalau aku adalah partner musiknya." Balaa Yuna dengan nada rendah.

Hyungwon menegakkan tubuhnya, bersama senyum yang dikembangkan diwajah tampannya.

"Maka buatlah perubahan kecil, seperti musikmu." Balas Hyungwon. "Tambahkan drama seperti lirik lagu yang pernah kau buat, maka...kau yang baru...akan mendapatkan perhatian dan pengakuan yang sama dari banyak orang." Seperti sebuah home run, kalimat terakhir Hyungwon mengubah sepenuhnya pemikiran Yuna.

Keraguan segera menghilang dari hati yeoja itu, berganti sebuah rasa percaya diri yang justru menjadi awal kesalahan besar dihidupnya.

°☆°

Kebanggaan yang dipertahankan seseorang, terkadang menghadirkan rasa kecewa dihati orang lain tanpa disadari. Dan kecewa itu bisa mendatangkan amarah yang dapat meluap kapanpun. Jika amarah itu mulai diperlihatkan, maka sang pemilik kebanggan melihatnya sebagai wujud lain dari rasa iri. Karena kebanggan yang berdiam dihatinya menutup nalar sang pemilik, sehingga tak menangkap kecewa yang tertutup oleh kemarahan.

°☆°

Meletakkan kembali CD yang semula dipegangnya, Haera nampak beranjak kemudian. Berniat meninggalkan toko tersebut, gerakan kaki Haera terhenti saat sosok Yuna menghalangi langkahnya. Mengembangkan senyum remeh pada Haera, yeoja itu nampak menyilangkan tangannya didada. Menjadikan Haera yang mendapati sikap angkuhnya, menggepalkan tangan kuat.

"Hi....Haera-ssi...long time no see." Tak ada balasan dari Haera pada sapaan basa-basi Yuna padanya.

"Kau datang untuk membeli CD?" Masih dengan nada yang sama Yuna berujar.

"Tidak...aku hanya melihat-lihat." Mencoba tenang, Haera membalas.

"Hanya melihat-lihat." Ulang Yuna seraya mengangguk. "Jadi...setelah melihat-lihat apa yang kau temukan Haera-ssi?"

Tahu maksud kalimat tanya yang Yuna urai, Haera nampak menatap lekat yeoja itu setelah sebelumnya menarik nafas berat.

"Kebohongan dan kepalsuan." Tawa ringan Yuna membalas itu.

"Apa itu kata lain dari, aku iri padamu karena seluruh toko ini diisi oleh musik karya seorang Park Yuna?" Balas Yuna diantara derai tawanya.

"Kenapa aku harus iri pada keberhasilan yang didapat dari sebuah kebohongan? Kenapa aku harus iri pada orang yang menjual drama palsu hidupnya hanya agar karyanya didengar oleh orang-orang? Kenapa aku harus merasa iri dengan kenyataan menyedihkan seperti itu?" Masih coba terlihat tenang Haera membalas.

Yuna merasa kesal mendengar balasan Haera, akan tetapi yeoja itu coba menutupinya dengan senyum sinis.

"Majayo." Yuna mengangguk. "Kenapa seorang Lee Haera yang meraih keberhasilan dengan menjadi penjilat harus iri dengan seseorang yang meraih keberhasilan dengan kebohongan?" Lanjut yeoja itu kemudian.

"Pada dasarnya kita sama-sama meraih keberhasilan dengan cara yang salah. Jadi...kenapa kita harus saling merasa iri, bukan begitu?" Haera dibuat menahan nafas beberapa saat karena kata-kata Yuna.

"Aku tak tahu, kalau label-ku sebagai penjilat benar-benar melekat kuat dalam pikiranmu." Haera menarik senyum paksa.

"Whae? Kau tersinggung?" Pertanyaan itu tak mendapat balasan dari Haera, yeoja itu membisu sesaat sebelum kemudian menghela nafas berat.

"Tersinggung tak akan mengubah apapun bukan? Semua sudah berubah, jadi kalaupun aku merasa tersinggung dengan label pemberianmu semuanya akan tetap sama. Jadi terserah padamu mau memandangku seperti apa. Aku tak begitu perduli dengan seribu julukan yang kau arahkan padaku. Saat aku diam mendengarmu bercanda dengan takdir dan membuat drama palsu dengan semua itu, saat itulah aku sudah sangat siap membiarkanmu sepenuhnya pergi. Kau yang sepenuhnya menjadi orang asing, bukanlah sosok yang harus kuperhatikan lagi. Jadi aku tak harus mendengar apapun penilaian darimu, karena kita bukan siapa-siapa lagi sekarang." Kalimat panjang Haera uraikan dengan nada tenang, dan kemudian diapun beranjak setelah menyelesaikan kata-katanya tersebut.

"Lihat...kau berhasil." Tak diketahui kapan ada didekatnya, sosok Hyungwon berujar membuat Yuna menoleh.

"Kau mengalahkannya. Dia...dan keberuntungannya sudah berhasil kau kalahkan." Menarik senyum simpul, Hyungwon kembali berujar.

"Benarkah?" Hyungwon mengangguk, membuat senyum Yuna terkembang cerah.

"Pada akhirnya kau berhasil mempertahankan kebangganmu yang seharusnya kau dapati sejak dulu." Ucapan Hyungwon dibalas anggukan pelan Yuna.

Memandang sosok Haera yang menjauh, Yuna melangkah memasuki toko tersebut dengan langkah ringan. Berbanding terbalik dengan Haera, yang justru dipaksa menghentikan langkahnya tak jauh dari keberadaan sosok yang menghadirkan kecewa dihatinya.

"Kau menyerah begitu saja?" Wonho, sosok yang menghentikan langkah Haera berujar.

Segera yeoja itu menatap datar Wonho yang sudah membawa langkah mendekatinya.

"Kau membiarkan dia dan kebohongannya menang begitu saja?" Haera membawa tubuhnya menghadap penuh pada Wonho karena ucapan sang Behemoth.

"Kau terlihat tahu sesuatu." Ujar Haera yang disambut senyum lebar Wonho.

"Aku tahu segalanya." Ucap namja itu membuat Haera menarik senyum tipis.

"Kalau begitu kenapa tidak kau saja yang melakukan sesuatu untuk kebohongan yang kau ketahui?" Senyum Wonho menghilang sesaat karena ucapan Haera, sebelum kemudian berganti dengan tawa ringan.

"Bukan aku yang sedang bertarung dengannya nona, tapi kau. Jadi kenapa aku yang harus melakukan sesuatu di area pertarunganmu." Haera tak memberi balasan, dia hanya menatap lurus Wonho.

"Temui dia dan bertarunglah. Kau harus mengalahkannya dan kesombongan yang dia miliki. Berlari disaat kau memiliki kemampuan melawan bukanlah tindakan yang benar. Jadi temui dia, dan lawan yeoja itu dan keangkuhan yang dia punya." Wonho coba menyulut amarah Haera.

Haera terlihat menoleh pada sosok Yuna yang nampak merekahkan senyum bangga. Memegang kepingan CD yang beberapa saat lalu dipegangnya, Yuna terlihat bangga melihat namanya tercetak sebagai composer dalam sebuah lagu di album tersebut.

"Melihat kebanggan yang diraih sebagai kebohongan, tidakkah itu membuatmu marah? Menerima sebutan penjilat dari orang yang mengaku sehabatmu saat kau menciptakan sebuah karya dengan sungguh-sungguh tidakkah membuatmu kecewa? Bukankah kau harus menjelaskan semua kesalahannya? Kau....harus menunjukkan kebenaran pada yeoja itu, dan runtuhkan semua kebanggaan yang disombongkannya dengan kenyataan yang kau miliki." Dengan kemampuan terbaiknya, Wonho terus berusaha membangkitkan emosi yang terpendam dihati Haera.

"Membiarkan dia menang dengan kebohongannya, bukan sesuatu yang benar bukan. Kau...harus melawan, jadi temui dia dan katakan kebenaran dengan keras. Jangan biarkan senyum kebanggaan terus terkembang diwajahnya, karena dia tak pantas mendapatkan itu." Wonho tersenyum tipis, saat mendapati tangan Haera menggepal keras.

"Sadarkan dia yang merasa menang dengan kebohongan yang dibuatnya. Tampar dia dengan kenyataan dan jelaskan padanya kalau kau dan dia berbeda. Buka mata yeoja itu selebar-lebarnya. Jelaskan padanya siapa dirimu agar dia tidak terus memandang rendah padamu." Kalimat hasutan itu membuat Haera kembali melangkah menuju toko dimana Yuna berada. Senyum Wonho-pun merekah melihat reaksi targetnya, namun segera menghilang saat Haera menghentikan langkah tepat didepan pintu toko.

"Haruskah?" Gumam Haera dalam hati yang mampu tertangkap telinga sang Behemoth.

"Tentu saja harus, apa kau mau selamanya terlihat sebagai pecundang?" Memainkan kondisi hati Haera yang bimbang, Wonho membisikkan kalimat tersebut dalam benak yeoja itu.

Haera membisu beberapa detik, sebelum kemudian berbalik untuk kembali menghampiri Wonho.

"Kenapa kau kembali, bukankah seharusnya kau memberi pelajaran pada yeoja itu untuk melenyapkan keangkuhannya?" Geram Wonho mendapati Haera yang sudah ada didepannya.

"Apakah aku benar-benar harus melakukan itu, memberinya pelajaran?"

"Tentu." Jawab Wonho cepat.

"Whae?"

"Karena kau menerima ketidak adilan dari kebohongannya. Dan karena dia menerima keberhasilan yang seharusnya kau dapati. Karena itu bukankah sudah sepantasnya kau marah? Kau terluka, dia dan kebohongannya melukaimu." Jelas Wonho dengan nada emosi.

"Kalau seperti itu...bukankah apa yang dia katakan benar, kalau aku...iri dengan apa yang didapatnya." Sambut  Haera lirih.

"Kenapa kau harus iri, kau memiliki kemampuan diatasnya."

"Karena itu...kenapa aku harus menjelaskan padanya? Kenapa aku harus meluruskan pemikirannya? Kenapa aku harus memberinya pelajaran? Kalau pada akhirnya, ujung dari semua yang kukatakan hanya akan membuatnya semakin berpikir buruk tentangku." Balasan Haera membungkam Wonho.

"Dia membenciku, jadi apapun yang kukatakan tidak akan terlihat benar dimatanya. Berdebat dengannya dan mencoba menang dalam perdebatan itu, tak akan membuatku mendapatkan apa-apa. Pada akhirnya  aku hanya akan terlihat buruk dimatanya karena apa yang coba aku jelaskan. Dan karena itu aku akan semakin terluka dengan segala tuduhannya padaku." Lanjut Haera menyambut kebisuan Wonho.

"Jadi kau akan diam begitu? Dan membiarkan yeoja itu meraih kebanggaan dengan kebohongannya?" Walau ragu, Haera mengangguk membalas tanya yang diurai Wonho.

"Kau mengetahui kebenaran tapi kau memilih membisu, bukankah itu tindakan pengecut?" Haera menghela nafas menyambut ucapan Wonho untuknya.

Mata Wonho terpejam sesaat. Emosinya membuat nafas Wonho mulai terdengar memburu.

"Nona....kau berhak marah, kau berhak emosi. Kau berhak menegaskan posisimu, kau berhak untuk meneriakkan kebohongan yang dibuatnya." Setelah coba menekan emosinya sendiri, Wonho kembali berujar.

"Tapi aku berhak untuk diam juga kan, walaupun itu tidak benar." Balas Haera membuat Wonho menatap tajam yeoja itu.

"Nona...."

"Jika dia bahagia dengan kebohongannya, maka aku akan membiarkan dia hidup dengan kebohongan itu. Aku....tak mau mengusik kebahagiaannya itu dan membuat masalah baru." Haera coba menarik senyum tipis diwajahnya.

"Dan membiarkan sosokmu jadi pecundang dimatanya?"

"Bukan hanya dia, ada banyak orang yang bisa melihatku sebagai pecundang. Dan kurasa, aku tak harus memikirkan itu." Kerutan samar terbentuk dikening Wonho karena kalimat Haera.

"Penilaian manusia tak akan menjadi tujuanku. Karena 7 penilaian buruk terselip dalam total 10 penilaian manusia. Karena itu...aku tak mau menjadikan itu sebagai tujuanku." Haera menarik senyum tipis.

Menarik nafas sedalam mungkin, Haera beranjak kemudian setelah sebelumnya membungkuk sopan pada Wonho. Menjadikan sang Behemoth menatap kepergiannya kesal, dengan tangan yang menggepal.

"Sepertinya ini hari keberuntunganku, karena aku melihat sang Behemoth gagal dalam misinya." Wonho tak harus menoleh untuk tahu siapa yang berujar, karena dia bisa memastikan suara itu milik Hyungwon sang Lucifer.

"Aku tidak gagal, aku hanya belum berhasil menarik emosinya." Mengarahkan pandangan pada Hyungwon, Wonho berujar.

"Kau gagal tuan Behemoth, kenapa masih mengelak." Hyungwon tertawa pelan.

"Tidak...aku tidak gagal, karena dihatinya masih ada emosi yang suatu saat bisa ku ledakkan."

"Suatu saat?" Ulang Hyungwon seraya mengangguk ringan. "Lalu...siapa yang bisa memastikan kalau dia akan menjadi targetmu lagi suatu saat nanti?" Memasang senyum mengejek, sekali lagi Hyungwon berhasil membuat Wonho kesal.

"Itu kenapa aku menyuruhmu belajar, agar kau berhasil sepertiku." Menunjuk sang target yang masih memakai jubah kebanggaannya, Hyungwon berujar angkuh.

"Kau..."

"Sudah dulu ya, Lucifer yang hebat memiliki tugas baru." Menunjukkan cincinnya yang bersinar, Hyungwon menghilang kemudian.

"Brengsek!!!" Wonho mengurai emosinya sesaat setelah sang Lucifer lenyap.

°☆°

Terkadang melawan dalam diam bisa jadi solusi untukmu menyembunyikan rasa kecewa. Bukan karena kau lemah, tapi karena kekuatanmu akan hilang ditelan amarah jika kau buka suara. Keangkuhan dan kebanggaan akan menenggelamkan kenyataan. Jadi membuka kenyataan dengan emosi dan amarah hanya akan menumpuk luka dihatimu. Untuk mempertahankan kebanggaannya, orang-orang bisa dengan mudah menambah kekecewaan baru. Karena itu...walau bukan solusi terbaik, diammu bisa jadi senjata terbaik melawan kebanggaan yang berselimut keangkuhan. Sebab kebenaran pada akhirnya akan tetap bersuara, walau kebohongan coba membungkamnya.

°☆°

Sorry for typo
Thanks for Reading & Votement

🌻Haebaragi🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro