Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Patah Hati, Bukan Patah Harga Diri


Unit apartment yang telah Papa siapkan untuk kutinggali nggak begitu luas. Ukurannya mungkin kurang lebih dua puluh sembilan meter persegi-an—nyaris setengah lebih sempit dari unitku yang sebelumnya. Tapi, it's okay, soalnya aku suka banget sama desain interior-nya yang mengusung gaya ala-ala Scandinavian Chic gitu.

Huh!

Lumayan nggak nyangka sih sebenernya bahwa Papa-ku yang kesibukannya hampir-hampir ngalahin Presiden itu masih mau berepot-repot ria buat ngurusin tempat tinggalku. Bahkan sampai ke elemen-elemen perintilan macem tergelarnya secara artsy selembar taplak bermotif anyaman horizontal di atas meja berkaki rendah, pada sudut ruangan yang tampak sangat serasi untuk disaksikan padupadannya dengan set sofa minimalis berwarna periwinkle.

Atau, betapa fungsionalnya wilayah dapur yang bisa sekalian kupakai untuk laundry room. Juga, jangan lupakan bagian favoritku yaitu area bedroom di mana sebuah ranjang queen size terlihat disekat menggunakan rangka kayu—yang dapat kumanfaatkan untuk menaruh mungkin koleksi sepatu, tas atau barang lainnya, nanti—demi memisahkannya dengan ruang santai yang lantai kayunya pun udah terlapisi bentangan karpet wol tebal.

Em, siapa pun gerangan yang Papa utus untuk mempersiapkan semua ini ... actually Papa nggak salah pilih!

Berjalan pelan ke sisi jendela, aku kemudian menyibak tirai sewarna saljunya demi menemukan lanskap malam kota Jakarta yang masih berhias rintik-rintik hujan.

Ugh! Makan makanan anget plus minum secangkir ginger tea kayaknya sih bakalan mantap.

Maka, aku pun buru-buru berbalik menuju dapur. Membuka pintu kulkas dengan penuh semangat sambil diam-diam mulai membayangkan beberapa jenis camilan yang enak-enak. Namun, toh, pada akhirnya imaji tersebut begitu gampangnya pecah berhamburan ketika, aku hanya mampu melongo dan membatu persis di depan kulkas kala gagal menemukan wujud roti, ah, jangan muluk-muluk roti deh, penampakan hawa-hawa eksistensi bahan makanan aja nihil! Jelasnya, kulkas dua pintu tersebut beneran kosong-melompong!

Alamak!  I really catch no ball.

Gimana bisa coba? Bukannya aku baru aja ngasih compliment kepada dia yang udah mengeksekusi ke-semuanya ini dengan sungguh luar biasa kece?

Tetapi, look, dengan semprulnya dia malah enteng aja ngelupain sesuatu yang fundamental abis? Hish!

Aku sedang mencoba beralih untuk mengecek laci-laci dalam dapur yang siapa tau menyembunyikan teh atau kopi sehingga bisa kuracik meski, jujur, agak sangsi sih bakal ada air panasnya atau ... jangan bilang kalau gasnya juga belum sempat dipasang?!

Oh, My God ....

Aku betul-betul lagi sebal saat suara sexy Robin Thicke tiba-tiba terdengar melantunkan 'I come back to you, come back'.

Dan, nama Papa muncul begitu aja di atas layar ponsel pintarku.

Lalu, tepat sewaktu suara berat Papa di ujung sambungan sana terjaring menyapa, "Halo? Kakak?" Rasanya aku beneran pengen come back ke dalam rangkulan hangat Papa dan Mama—menggugurkan seluruh lelah. Ah ... kangennya padahal belum juga seminggu!

"Iyaaa, Kakak udah nyampe Papa," jawabku riang sambil mendaratkan bokong di atas sofa.

"Syukurlah. Terus, gimana? Suka nggak sama apartement-nya? Om Miko kapan hari ada nyuruh Kaisar buat nge-dekor ulang kayaknya. Ada yang kurang nggak? Biar nanti Papa omelin tuh Om Miko kalau ternyata nggak sesuai ekspektasi Kakak."

Aku refleks tertawa. Alasan pake bawa-bawa aku segala, ngomong aja sendirinya yang emang ngebet mau nyambelin Om Miko. Trik klasik. Dasar, Papa!

"Ok lah, overall Kakak suka sih. Nanti kalau ketemu Kaisar, Kakak bakal traktir dia pecel lele hehe."

"Ck! Kaisar mah dikasih 'thank you' aja pasti puas kok dia," balas Papa.

Iya sih, apalagi kulkasku udah dibiarkannya kering-kerontang. Tapi kan ... kasihan. Gitu-gitu Kaisar adalah salah satu ladang informasiku. Dia nggak pernah pelit berbagi kabar tentang Lamda.

Ah, Lamda lagi yah?

"Em, Mama ada, Pa?" tanyaku kemudian.

"Ada dong. Nih, lagi nemplok kayak koala."

"Hilih! Ngaku-ngaku. Papa kali yang ngedusel-dusel?"

"Jangan hoax yah, kapan Papa pernah main ngedusel-dusel ke Mama-mu?"

"Iyalah, iyalah, gimana Baginda Sultan Yang Agung aja deh."

Papa kontan terbahak seolah itu lucu banget sampai-sampai harus ditegur Mama—karena, di rumah tentu udah masuk lewat tengah malam.

"Kakak Sayang, jangan capek-capek yah?" lanjut suara super-menenangkan milik Mama di sisi lain sambungan.

"Kalau nggak capek, nggak dapet duit, Meta," Papa merespons santai.

"Ya, pokoknya mesti jaga kesehatan. Begadangnya jangan kayak waktu di rumah."

"Siap, Mama, siap."

Kemudian hening sepersekian detik. Hingga Papa lagi-lagi berujar tenang, "Kakak ...?"

"Hm?"

"Kakak tau kan? Kakak nggak sendiri. Apa pun yang terjadi, apa pun yang Kakak hadapi, Papa sama Mama akan selalu ada di belakang sini, men-support Kakak."

Sontak gelenyar-gelenyar kehangatan bergumul memenuhi setiap rongga hatiku. "Iyaaa. Makasih, Papa."

"Ya, udah. Jangan lupa makan, oke? Cari makan yang enak. Kalau belum gajian, uangnya nggak cukup, perlu bantuan atau butuh sesuatu, ingat selalu bahwa Papa adalah kantong Doraemon pribadi yang setiap saat bisa Kakak andalkan."

Senyumku mengembang lebar—sekalipun Mama dan Papa mungkin nggak kuasa melihatnya. "Percaya. Kakak sayang Papa, Mama juga." Kuambil jeda singkat, "Kakak tutup sekarang yah?"

"Hhm. Jaga diri baik-baik, oke? Good night, Sayang," pesan Papa.

"We love you," imbuh Mama pelan tepat sebelum kusentuh tombol 'akhiri' pada layar.

Menyimpan ponsel ke saku jaket, aku lantas bangkit, menyongsong daun pintu, berikutnya unit apartement-ku pun sukses kukunci dari luar.

Come on! Aku udah teramat keroncongan, butuh makan. Segera.

So, ayo lihat apa yang sekiranya akan Jakarta persembahkan!

***

Okay.

Entah aku yang salah sebab, terlalu tinggi menggantungkan harapan atau gimana.

Intinya, yang berhasil aku peroleh pasca-nyaris dua puluh menit berputar-putar di sekeliling gedung apartement-ku tak lebih dari sekadar ....

Seporsi soto betawi—itu pun cuma tinggal sisa-sisanya dan mungkin nggak akan sehangat apa yang kuangankan.

Serta, seplastik kopi seduh sachet-an seharga goceng—yang kubeli dari gerobak jajanan pinggir jalan.

Ugh! Siao ah.

Malam pertamaku di Jakarta bisa jadi nggak akan kelewat ngenes andai bisa kututup dengan mengunyah sekotak es krim berasa strawberry—favoritku.

Yaps.

Maka, di sinilah aku singgah. Minimarket 24 jam. Dan, sumpah! Niatku cuma pengen ngambil satu es krim terus pulang. Sama sekali nggak punya rencana atau bahkan bermimpi untuk kembali berkesempatan mendengar suara tegas ini.

"Calibra ...?"

Lamat-lamat mendongak dari posisi merundukku di sisi freezer box, setuju nggak sih bahwa dunia tuh kadang kayak cuma sebuah bulatan kecil? Rasanya, perjalanan yang kamu lakukan tuh dapat berakhir dalam sekejapan mata. Baru juga mulai start tiba-tiba udah nyampe aja di garis finish.

Yah.

Empat tahun mungkin memang telah berlalu. Tapi, rasanya baru kemaren aku lihat sendiri Gatjra berkhianat tepat di depan mataku.

Seolah itu ... baru kemaren saat aku menyaksikan sosok Gatjra yang berambut kemerahan lengkap bersama pakaiannya yang tampak acak-acakkan. Namun, kini Gatjra yang itu agaknya udah nggak ada lagi.

Sebagai gantinya, pria itu menjelma dengan rambut hitam legam yang dipangkasnya rapi—mirip Gatjra yang dulu pertama kali kukenal. Penampilannya pun jauh dari kesan semerawut. Meski, dia tetap kelihatan lelah dan kebapakan?

Ah, kebapakan?

Oh, mungkin karena, sekarang dia memang udah jadi bapak-bapak. Sesosok bocah perempuan yang sekarang sedang menyender lelap dalam dekapan dada Gatjra itu jelas merupakan sebuah penjelasan yang bagiku lumayan masuk akal.

Aku meringis sumbing dalam hati.

Apa bualnya dulu?

'Sekali nggak akan bikin hamil. Ya, nggak mungkin.'

Dasar!

Yang pasti, saat ini aku yakin betul jika itu adalah keputusan yang tepat—untuk menghapus Gajtra dari riwayat kehidupanku.

Sayangnya, Gatjra ini mungkin sejenis spidol bertinta permanen. Karena, bagaimana bisa dia masih berani mencekal lenganku? Menahanku agar nggak lekas berlalu sambil berujar, "Calibra, kita perlu bicara!"

Em, dia nih udah hilang akal yah? Bicara? Apa emang yang harus ribet-ribet kubicarakan dengan suami orang, hah? Oh, My God! 'Kami' udah game over.

Kalau-kalau Gatjra lupa, bagiku, tempatnya udah noh dalam lubang tong sampah!

***

Jurus menangkis mantan kampret.
Apakah bener itu buntut Gatjra?
Masih tetap Lamda?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro