Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Patah Hati, Bukan Patah Peluang


Jakarta diguyur hujan rintik-rintik saat akhirnya aku berhasil mendarat di Soekarno-Hatta International airport.

Melewati pos imigrasi, bagasi serta bea cukai dalam durasi yang lebih cepat dari yang aku sangka. Dua puluh jam telah berlalu sejak keberangkatanku dari Saint Exupéry kemarin menuju Dubai, untuk kemudian berlanjut hingga tibalah aku di tempat ini, Jakarta.

Em, nggak banyak yang berubah sih.

Senyum orang-orangnya masih terkesan ramah, suara-suara percakapan yang tercipta di sepanjang ruang dan lorong begitu familier terdengar, belum lagi embusan air conditioner—yang bercampur dengan tingginya suhu iklim ibukota—terasa agak terlampau hangat ketika anginnya menyentuh bagian kulit wajahku. Bahkan sewaktu kucoba menarik napas dalam, lamat-lamat juga terhidu bau-bau kelembaban ... semua ini benar-benar menyedotku pada suatu muara, terhadap satu kata bersebut, rumah.

Ah.

Berapa lama kira-kira ... aku nggak pulang?

Kali terakhir kuinjak tanahnya mungkin adalah saat hari ulang tahun Gatjra, beberapa tahun silam. Di mana waktu itu, di tempat yang sama ini, untuk terakhir kalinya aku menolehkan kepala—melihat apakah mungkin Gatjra akan mengejarku hingga sejauh itu? Apakah mataku bakal menemukan sosok Gatjra yang sedang celingak-celinguk, kebingungan memeriksa keberadaanku di antara manusia yang sibuk berlalu-lalang?

Sayangnya, hari itu nggak ada siapa pun yang mampu kulihat kecuali, rupa-rupa yang asing. Maka, begitu kakiku melangkah melewati pintu boarding, seketika kuanggap Gatjra sebagai buang-buang waktu belaka. Gatjra nggak lebih dari sekadar kesia-siaan, dan sangat worth it untuk lekas kuhapus jejak eksistensinya.

Serta yah ....

Hari itu ... aku telah bertekad. Kulepaskan seorang Gatjra Praharsa. Tapi, anehnya kenapa segumpal kenggak-nyamanan tersebut masih terus aja bercokol dalam hatiku? Seolah-olah ada yang belum berdiam pada tempatnya? Bahkan, mungkin sampai saat ini ....

Ugh! Sialan!

Menunduk sembari bergeleng demi mengusir kenggak-warasan yang barusan hampir-hampir menyusup. Aku berniat menelepon Selova. Namun, urung dengan segera karena, tatkala mendongak aku keburu menemukan dia.

Yah, dia. Sesosok pria berjaket kulit hitam—tampak tengah santai berjalan persis melewati bangunan outlet bernama Batik Keris—yang kayaknya juga udah sukses menemukanku sebab, tatapannya secara terang-terangan lurus banget pas kena mataku. Lalu, dia—lengkap bersama muka super-lempeng andalannya, tentu aja—tau-tau kini praktis berhenti tepat dua langkah di depanku.

Berusaha menyembunyikan sepercik kegembiraan yang merambat tumbuh dalam dada, aku memilih memutar bola mata sok bosan. "Nggak perlu pake bales ngejemput juga kali," kataku—berupaya terdengar cuek. So, pastilah, biar aja dia nyadar kalau aku nih sebetulnya masih kesel sama dia, meski rasanya itu cuma sebatas ngimpi siang bolong sih, secara Lamda featuring kepekaan merupakan sebentuk kelangkaan—begitu laki-laki itu udah berdiri tepat di depanku. "Gue mau bareng Selova." Atau yah, naek skytrain kek, bus kek, Grab kek, apa pun lah. Asal jangan sampai nebeng dirinya! Hohoho! Sorry lah yaw setelah apa yang kualami di Spore tempo hari bersamanya, bunuh diri kali jika aku mau-maunya terjebak berduaan doang bareng dia dalam kendaraan.

Hih!

Dan, Lamda ngangguk doang.

Buseeet, yah ini orang satu, nggak ada niat buat bujuk-bujuk sedikit gitu? Hah? Usaha lebih keras kek biar aku luluh dan berakhir dengan masuk ke dalam mobilnya? Ck! Ngeselin!

"Saya malah nggak tau kok kamu mau datang. Saya ke sini untuk menjemput dia," ujar Lamda kemudian super-enteng, macem bibirnya yang dia pake ngomong tuh belum pernah ngelakuin dosa. Hilih!

Tapi, bentar-bentar deh! Tadi, betul kan Lamda ada ngomong kalau dia tuh datang demi ngejemput seseorang? Dan, jika orang yang dia maksud bukan aku, terus ... who?

Mengamati lekat Lamda yang konstan bertahan guna mengarahkan pandangannya secara lurus ke depan—ke balik punggung sana, tepatnya—refleks aku pun ikut-ikutan menoleh dengan teramat kilat agar bisa menjumpai ...?

Em, di sana terlihat adanya penampakan wujud seorang Nenek-Nenek berkebaya merah ngejreng, bersanggul serta ubanan, lengkap sambil menjinjing travel bag bermotif kembang-kembang di sisi tubuhnya. Eng, Lamda beneran mau ngejemput itu Nenek-Nenek? Serius? Dia nemu di mana gitu?

Atau ... aku sontak menyipitkan pengelihatan guna sanggup menjaring secara jelas keberadaan sosok lainnya yang tampak tengah melenggang tenang di belakang Nenek berkebaya ngejreng tersebut. Dan, bukanya itu ....

Netra ini pun kontak melebar begitu sukses mendeteksi siapa gerangan orang itu? Dia ... dia kan Si Mbak-Mbak berkerudung kuning—alias si cewek window seat yang ngeselin abis.

Please, jangan berasumsi terlalu jauh, Calibra!

Dia ... pasti bukan dia kan orangnya? Lagi, gimana bisa coba dia tau Lamda secara pribadi? Oke, dia ngakunya salah satu fans pria itu, tapi kan—

Mulutku baru terbuka untuk merangkai kalimat kurang lebih begini, "Yang kamu mau jemp—"

Sialnya pertanyaanku agaknya nggak akan pernah selesai dan nggak perlu juga diselesaikan. Karena, belum sempat Lamda secara sempurna menaruh atensi padaku, mendadak suara perempuan—yang Oh My God, boleh nggak sih dia dituker aja sama Nenek-Nenek berkebaya ngejreng yang tadi?—itu tegas menyapa, "Mas Lamda? Hai?"

Wait! Wait! Ya, Tuhan! Mas? Lamda dan Mas? Omg! Nggak typo tuh bibir?

Namun di luar bayangan. Lamda—dengan luar biasa bangsatnya—malah tersenyum. Luar biasa tipis sih. Tetapi, tetep aja mau setipis kulit kentang juga, sebutannya tetep senyum! Lamda ... yang mukanya suka kaku kayak kanebo lupa diairin baru aja senyum? Gila! Aku yang kenal dari orok aja lupa-lupa ingat tuh kalau pernah disenyumin dia. "Hai?" Oh, please, please, nggak cukup apa dikasih senyum doang? Pake dibales nyapa lagi!

Hish! Sial!

Ini ... sebenernya situasi macem apa sih? Aku nih lagi terjebak dalam lingkaran sejenis apa?

Si Kerudung Kuning—yang kayaknya udah sadar dari bius senyum Lamda—tiba-tiba menjatuhkan pandangan kepadaku dan lantas melebarkan mata indahnya detik berselang. "Eh, astagaaa, ada Mbak Calibra? Kok? Jangan bilang kalau ... ternyata Mbaknya kenal Mas Lamda juga tho?" Menurut ngana? "Kita belom kenalan secara resmi kan yah, Mbak? Saya, Bitha, kalau-kalau Mbaknya nggak ingat karena, udah lama dari terakhir saya tau Mbak Cal di VER." Dia mengangsurkan telapak tangan mungilnya ke arahku.

Sekali lagi. Aku memindai bolak-balik antara tangan itu, wajah flawless-nya—yang bikin iri, dikit slash banget—serta Lamda yang diam bak patung.

Hah! Udah boleh aku tebak sekarang?

So ....

Bitha yah? Okay! Jadi, panjangnya, Wianara Sabitha, gitu? Dia ... yang namanya tertulis sebelah-menyebelah dengan nama Lamda kan? Cewek ini ... dia ... si calon tunangannya Lamda? Iyakan?

Sial!

Kenapa sih dunia selalu sesempit ini?

Ada sekitar tujuh koma tujuh miliar manusia di muka bumi. Lebih—sedikit—dari setengahnya adalah perempuan. Sebegitu banyaknya kemungkinan yang bisa aja terjadi, aku pikir Lamda bakal berakhir dengan seorang perempuan yah maksimal semacem Kate Middleton lah—yang berjuta-juta lebih segala-galanya dariku.

Oh, come on! Aku nggak ada bilang bahwa Bitha nggak cocok untuk Lamda.

Dia Model lho. Pun, setiap orang tho emang berhak punya kesempatan—dalam hal ini untuk menjadi calon-calon yang memiliki kemungkinan akan bersama dengan Lamda. Termasuk Bitha.

Di posisiku—yang berjarak sekitar tiga langkah dari mereka berdua—aku diam-diam mengamati keduanya yang sedang terlibat pembicaraan singkat—atau yah, di sini jelas Bitha lah yang dominan bertanya ini-itu karena, Lamda mustahil bunyi kalau nggak dipukul. Masih dalam keterdiaman, aku lantas berpikir, apa kiranya yang plus dalam diri Bitha sampai-sampai Tante sama Om Lino ngotot menjadikannya menantu?

Cantik? Pastinya. Tengok aja! Udah berjam-jam di pesawat dan cewek ini tetap sebegitu paripurnanya. Oke, khusus urusan ber-make-up, kuakui dia satu level di atasku. Namun, yah, bukan berarti aku nggak secakep dia kan? Kalau usaha lebih keras, kami mungkin bakal seimbang lah.

Tinggi? Aku bahkan beberapa centi lebih tinggi kok.

Uang? Aku tau orang tua Lamda bukan tipikal yang peduli soal hal-hal begituan, cuma kalau harus sombong, Papa jelas calon mertua super-ideal.

Baik? Kurang baik apa aku emang? Di VER, aku bahkan terkenal royal, hobi ngejajanin. Selain itu, aku juga nurut sama apa kata orang tua. Berusaha ngebantu orang lain kalau aku bisa bantu. Aku juga selalu memperlakukan kedua orang tua Lamda dengan baik.

Mungkin ... satu-satunya alasan kenapa aku tersingkir di awal—bahkan sebelum aku resmi berjuang—dan nggak akan pernah mungkin cocok sama Lamda—sebesar apa pun aku ingin—karena ... dia putra Tante dan Om Lino. Karena, Lamda ... adalah sepupuku.

Yah.

Jahat banget kan takdir ini padaku?

***

Anak siapa sih kacian amat udah diselingkuhi eh jatuh cinta sama yang nganu lagi 😰😰😰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro