4. Patah Hati, Bukan Patah Nyali
First, alis. Itu ... tipe dua ribu tujuh belas nggak sih? Yang flat macem alisnya seleb-seleb Korea.
Ng, terus coba geser ke bawah dikit yah.
Oh, oh, please! Jangan bilang, kalo itu tuh yang dinamakan sebagai bulu mata anti pancaroba?
Ugh, gimana yah? Aku sih yakin dia pakai eyelash extension, tapi kesannya tuh kayak 'ya udah dia lahir bersama semua berkah itu'—bulu mata panjang, lentik pun bervolume—yang bikin cewek berbulu mata palsu sepertiku sontak diterjang jiper eh minder.
Tapi, jujur. Sebagai seorang lipstick junkie, aku harus akui kalo dari seluruh hasil pulasan make-up-nya, polesan lipstiknya adalah yang paling berbahaya sih.
Just, wow!
Serius. Watermelon hue di sepanjang garis bibirnya tuh semacam blooming di tempat yang tepat. Nggak ngerti deh entah itu berkat faktor skin tone-nya yang sedikit lebih gelap dariku, atau emang kebetulan dia pakai high-end make-up brand yang 'mungkin' belum pernah kusentuh.
Jelasnya, dia—cewek si pemilik window seat—tuh ampun-ampunanlah kadar flawless-nya. Serasa abis kena sentuh tangan dewanya Ryan Ogilvy atau Hisa from Cocoon lah.
Amazed iya, tapi jujur, kesannya agak-agak nyebelin juga sih.
Huh, come on!
Biar bagaimana pun nyatanya bakal lebih terasa selow saat kita berhasil menemukan eksistensi cewek lain yang jauh lebih cerdas daripada yang lebih cantik.
Yaps! Sebagaian cewek masih menganut pemikiran seperti itu, by the way dan sayangnya aku termasuk salah satu di antaranya.
Mendengkus samar, aku masih sempat bergeleng-geleng kepala ketika mencoba untuk kembali ke posisi duduk tegakku sekaligus menyudahi aksi perkepoan ini tentunya, sewaktu tanpa sengaja ujung netraku justru sukses menangkap sekelebat gambar—potret diri seseorang—yang tampaknya cukup familier.
Dan, benar aja. Bola mataku praktis melotot tajam di detik saat ingatanku berhasil mengonfirmasi bahwa, sesosok cowok berkemeja putih yang wujudnya sedang termuat dalam selembar halaman majalah, yang sejak tadi berada di pangkuan cewek bertampang super flawless itu memang sungguh-sungguh dia, Lamda.
Mauku sih nggak percaya secara Lamda tuh tipe manusia mati gaya. Abis. Disuruh foto aja mungkin dia berasa lagi mau dijorokin ke lubang sumur. Namun, aku bisa mengelak dengan pembenaran-pembenaran seperti apa ketika tepat di atas foto Lamda jelas-jelas udah tertulis headline, 'Hiraeth: Kobaran Rindu Yang Terpendam. Benarkah Ini Ajang 'Curhat' Dari Sutradara Beken Lamda Rahagi?'
Ugh, God!
Untuk ukuran seorang Lamda yang lempengnya aja udah kayak jalan tol, enggakkah judulnya terdengar sungguh dangdut? Jangan muluk-muluk minta dia buat curhat deh, minta dia jawab pertanyaan selain pakai 'hm, oke, oh' aja susahnya kadang sampai bikin pengen gantung diri di pohon toge.
Ng, tapi ... ngomongin soal Hiraeth, Lamda beneran jadi gabung di project film itu tho? Bukannya menurut desas-desus yang sempat viral, muatan tema dalam film Hiraeth tuh agak kontroversial dan setahuku, di Indonesia dia cuman sebatas mau syuting film kolaborasi kan? Kok bisa sih Lamda nggak ada ngomong apa-apa dulu ke aku tentang ini?
Emang biasanya dia ngomong? Iblis dalam hatiku berbisik sinis.
Ck. Sial!
Perlu yah diingetin sekarang? Paham kok, bahwa sebenarnya aku di hidup Lamda nggak pernah sepenting dia dalam hidupku.
Ya, iyalah. Karena kalo aku penting, dia pasti bilang, jika waktu tiga bulan di Indonesia yang dia maksud kemaren, itu baru buat ngurus project kolaborasinya doang belum ditambah dengan film-film lainnya. Kalo aku penting, dia harusnya ngaku jika nggak akan pulang ke Singapore. Dan mestinya, kalo aku emang penting, dia juga tentu bakal bicara dulu mengenai pertunangannya—bersama cewek antah-berantah yang entah siapa. Bukannya malah tiba-tiba datang sambil bawa selembar undangan. Seolah, aku betul-betul 'orang luar'.
Mendesis. "Palingan filmnya nggak laku!" Aku pikir, barusan sumpah-serapahku nggak kencang-kencang amat, tapi faktanya penumpang di sisi dudukku toh masih sanggup mendengar.
Parahnya, dia kayaknya ngerti Bahasa deh sehingga dengan berani dia justru menyahuti santai—atau lebih tepatnya sok santailah. "'Air mata yang sesekali datang dalam cinta, itu warna. Tapi, air mata yang tak lekang dalam cinta, jelas itu bencana.'. Menit seratus dua, detik lima, film A Mother."
"Ha?"
Si cewek flawless di sebelahku menoleh, segaris senyum tampak ikut terbit di bibirnya. Anehnya, aku malah merasa ada yang nggak beres dengan ekspresi kelewat ramahnya itu.
Dan ... terbukti.
"A Mother, A Walk in Chinatown, Way Back Home. Karya-karya Lamda Rahagi, selalu meninggalkan kesan yang dalam. Nontonnya nggak cukup sekali. Dan nyaris semua film Lamda Rahagi selalu pro perempuan. Jujur, saya fan-nya. Mbak hater-nya?" Suaranya emang lembut, tapi nusuk!
Ugh! Jangan bilang, inilah yang namanya skakmat. Karena ....
Oh, shit!
Haters? Who? Ketimbang modal hapal dialog film Lamda aja dia bisa sesongong itu? Ohoi! Seandainya boleh pamer, aku bakal berdeklarasi bahwa kami—aku dan idolanya itu—friendzone-an. Biar dia kejet-kejet sekalian.
Tapi, yah, apa pentingnya coba menjelaskan sesuatu kepada orang yang nggak kita kenal? Capek iya, wasting time iya, buntungnya toh, dianya pun belum tentu ngerti kan?
Ya, udahlah.
Aku baru hendak melengoskan perhatian, ketika Si Cewek flawless—yang juga oh-so-songong—mendadak menarik kembali atensiku dengan berkata, "Saya kayaknya pernah lihat Mbaknya deh. Mbak ini ... yang dari VER Fashion Singapore kan?"
Wait!
Dia mulai bawa-bawa mantan tempat kerjaku nih. Jika dia tahu VER mungkin bukan hal aneh sih yah soalnya belakangan di Asia Tenggara, VER emang lagi jadi brand yang naik daun. Lha, tapi kalo aku?
"Ramadhan kemarin. Ingat? VER Hijab, saya sempat pemotretan buat jadi salah satu modelnya di sana. Mbak tuh ... Calibra kan?"
Haish! Buset! Dia bahkan tahu namaku lho.
Bentar-bentar! Biar aku satukan dulu keping-keping memori itu.
Mengamati lebih saksama muka super flawless-nya, tunggu! Dia ... kenapa dari awal aku bisa nggak sadar yah?
Di sana, tepat di atas kepalanya ada selembar hijab kuning yang dikreasikan dengan sedemikian rupa. Cukup simple sih tampilannya.
Dan ... menyinggung tentang hijab kuningnya, dia ini yang kemaren terbengong-bengong, menunggu di depan restoran Perancis yang lagi tutup itu kan? Yang sempat papasan sama aku di Centre Interculturel de Décines?
Semprulnya lagi ....
Dia ... adalah orang yang sama dengan Si Cewek berhijab kuning terang yang tiga bulan lalu bikin aku pontang-panting untuk nyari menu bukaan? Dia yang katanya, mau makan simple. Giliran udah dikasih hidangan simple eh, malah bikin pengaduan ke atasanku. Dia ... Si Songong yang membuatku harus bolak-balik Raffles Place-Bukit Timah cuman demi seporsi menu tahu dan tempe goreng!
Huh! Kejutannya: dia, ternyata masih sengeselin dulu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro