
3. Patah Hati, Bukan Akhir Segalanya
Papa bilang, Calibra Bhagirathi—putri sewata wayangnya—selalu dikelilingi oleh keberuntungan.
Oh, come on! Cuma karena aku berhasil masuk Cévo dalam sekali apply, lalu tak berselang lama tebakkanku dalam taruhan soal Chanel terbukti benar—sehingga sebagai imbalannya sesuai janji, Papa memberiku selembar tiket nonton Champions League di Lyon.
Terus, semudah itu label beruntung begitu aja dilekatkan padaku?
Oh, God! Lagipula, untuk sekelas Chanel apa sih yang mustahil bagi mereka? Kutub Utara pun sukses mereka pindahkan ke Grand Palais apalagi hanya sebatas butiran pasir pantai!
Harta karun mereka, Karl Lagerfeld adalah salah satu Creative Director yang memiliki pemikiran ter-out-of-the-box di dekade ini.
So, setelah membawa roket pada Fall-Winter dua tahun lalu, air terjun raksasa untuk edisi Spring tahun berikutnya, nggak bakal aneh rasanya kalau mereka mampu menghadirkan Mini Waikiki demi melengkapi pertunjukan koleksi musim panas mereka di Paris Fashion Week.
Yah. Kupikir sebagai salah seorang yang selalu 'lebih' memperhatikan Karl di banding lainnya—Papa nggak mau disebut fan, anyway—Papa bakalan mudah buat memenangi taruhnya denganku.
Hanya aja yah, sepertinya sih dia sengaja mengalah. Melihat batang hidungku selalu mondar-mandir antara Boon Lay-Novena-Tampines melulu selama empat tahun belakangan, tentu Papa nggak akan membuang kesempatan untuk menendangku keluar dari Singapura.
Bicara tentang beruntung. Jika memang aku seberuntung itu, seharusnya aku nggak pernah diselingkuhi pacarku kan? Aku pun nggak perlu jadi babunya para kacung kampret di VER. Di atas segalanya, mestinya keberuntungan ini bisa melindungiku dari ancaman rasa sakit hati akibat ditinggal tunangan sama Lamda.
Ugh, sial Lamda!
Seumur hidup aku selalu mencibir orang-orang macam Selova yang terlalu gampang kege-eran atau semisal Utri yang begitu mudahnya terbawa perasaan. Namun, di hari Minggu kamarin gara-gara pemilik nama Lamda Rahagiarja aku justru sukses merasakan kombinasi dari keduanya.
Jalan, Lamda bilang? Terdengar seperti ngedate bagiku. Tetapi, yah aku sungguh naif. Aku lupa kalau Lamda ngomong A maknanya mustahil jadi Z, paling jauh mungkin B lah.
Bukan jalan kaki ke Sentosa. Oke aku lega, tapi jalan kaki buat cari makan di Heavenly Wang? Ck, bagian mananya yang pantas dianggap ngedate?
Walau demikian, hatiku yang kesepian toh, tetap merasa belingsatan. Sial! Padahal Lamda hanya menyumpal mulutku dengan secangkir kopi juga setangkup cheese toast yang harganya nggak lebih dari sepuluh dollar. Iya, Sist, hatiku cuma seharga itu!
Namun yah, jarang-jarang kan aku punya waktu bareng Lamda? Terakhir kulihat wajahnya adalah di tempat yang sama dan udah nyaris lewat tiga bulan lamanya.
Kami jarang atau malah nggak pernah lagi kontak-kontakan. Jangankan bisa dengan mudah menghubungi pria yang tahun depan akan genap berusia tiga puluh tahun itu melalui media elektronik, saat bertatap muka secara langsung pun Lamda itu susah banget diajak ngobrolnya. Jika ditanya baru deh dia mau ngomong, itu pun jawabannya biasanya ringkas serta nggak jelas.
Persis kayak waktu aku menanyainya soal, "Masih mau stay berapa lama lagi di Jakarta?"
"Butuh tiga bulan untuk menyelesaikan syuting filmnya." Oh, jadi ini tuh maksudnya dia mau tinggal sekitar tiga bulanan lagi gitu kan yah? Sebab, dengar-dengar dalam waktu dekat dia memang mau ada project film kolaborasi tiga negara sih bareng pihak Indonesia dan entah dari manalah itu sisanya.
Aku ngangguk aja sambil perlahan-lahan mulai menyeruput kopi. "Seru?"
"Apanya?"
Berbincang sama Lamda kadang emang bisa jadi semenyebalkan ini sih. "Syutingnya seru? Lebih seruan syuting di sini apa di sana?" Dengan sabar kuperjelas pertanyaanku pada Sutradara yang tahun lalu berhasil menyabet satu penghargaan di ajang Singapore International Film Festival.
"Belum syuting," jawabnya pendek yang sekaligus membuat kepalaku kian berdenyut.
Oh, My God!
Menghela napas samar, aku sengaja melarikan pandangan ke arah belakang punggung Lamda. Kursi-kursi yang tadi tampak kosong, pelan-pelan mulai terisi. Dari sini, aku bahkan bisa menyaksikan adanya peningkatan kesibukan dari para Pramusaji yang beberapa saat lalu sempat menyapa kami ramah.
Kalau mereka aja dapat sesemangat itu pagi-pagi begini, apa aku harus kehilangan gairahku buat ngobrol dengan Lamda? Oh, yang benar aja!
Nggak ingin lagi membahas tentang filmnya. Aku coba menawarkan tema lain, "Tante sama Om Lino seneng dong yah ada lo yang nemenin sekarang?"
"Nggak tahu. Saya tinggal sendiri di apartement."
"Ohhh." Siapa kira-kira perempuan berhati besar yang bakalan tahan jadi pacar dari manusia kaku plus miskin kepekaan kayak dia? Dan apa sih yang sebenernya mataku lihat dari seorang Lamda sampai-sampai bisa naksir begini?!
Oh, please! Dia baik dan ganteng, batin sialanku berseru.
Menelan geraman mentah-mentah, aku kemudian berkata, "Lamda?" Meletakkan cangkir kopi susunya ke atas meja, dia memandangku. "Boleh gue nyicip Ah Ma Mian-nya?" Yah, dua caraku sebelumnya terbukti gagal. Gimana dengan yang satu ini?
"Tadi kamu bilang cukup roti saja. Mau saya pesankan lagi?" tanyanya yang membuatku susah payah menahan diri agar nggak segera memutar bola mata kesal.
"Enggak usah. Lagian gue cuma pengen sesuap doang kok."
"Bekas saya nggak apa-apa?"
"Hah?" Aku mengerjap-ngerjap cepat sebelum melirik ke arah tangan Lamda yang bergerak demi mengangsurkan sepasang sumpit padaku. "Ya, nggak apa-apalah! Dan tenang aja, gue bukan tipikal cewek yang menilai bahwa berbagi sendok eh, sumpit dengan cowok itu sama dengan ciuman! Gue nggak bakal minta pertanggungjawaban lo untuk hal-hal nggak penting kek gitu!" ujarku seraya secara kilat menyambar sumpit pemberiannya.
"Saya nggak pernah mikir ke sana," katanya.
"Ya siapa yang tau isi pikiran lo kan?"
"Barusan kan udah saya kasih tahu bahwa saya nggak ada berpikir seperti itu."
"Iyalah. Iyalah. Bodo amat!" dengkusku, ngeladenin dia sampai kiamat juga nggak ada titik temunya kali. "By the way, tumben lo nggak langsung nyamperin Oma ke Sentosa malah nemuin gue pula. Ada apaan memang?" tanyaku pada akhirnya menuntaskan rasa penasaran, sedang tanganku pun mulai mengintai sebulatan button mushrooms yang berada di sudut mangkuk Ah Ma Mian milik Lamda.
Pria itu nggak langsung menjawab. Aku sempat meliriknya yang terlihat sedang mencari sesuatu di dalam ransel. Aku nggak mampu menebak apa gerangan benda tersebut, tapi begitu menemukkannya Lamda langsung secara sigap meminta telapak tanganku supaya menengadah untuk menerima benda itu.
"Saya mau ngasih ini," ucapnya sambil menarik kembali tangannya. Menyisakan sebelah tanganku yang kini tengah bersama selembar kertas undangan di permukaanya.
"Ini apa?" tanyaku dengan button mushrooms yang belum secara sempurna kukunyah di dalam mulut.
"Kan ada bacaannya, invitation."
"Iya. Engagement party invitation milik siapa?" tanyaku masih berusaha sabar.
Menatap netraku lurus-lurus melalui bola matanya yang tampak begitu kelam nan misterius, Lamda berujar tenang, "Invitation saya buat kamu."
Dan detik itu button mushrooms-ku tiba-tiba aja bagai lari ke tenggorokan. Praktis suara batuk-batuk pun tak dapat terelekkan hadir menggema melalui celah bibirku. Untungnya peristiwa nggak mengenakan—pun sedikit memalukan itu—nggak berlangsung lama. Karena Lamda segera datang bersama segelas air mineral—yang entah kapan dan dari mana ia peroleh—juga sebentuk usapan pelan di sekitaran punggung atasku.
But, wait a second!
Buat aku tuh maksudnya Lamda gimana nih? Dia nggak ngajakin aku tunangan kan? Buat aku itu ... dia mau engagement sama orang lain, lalu memintaku buat datang sebagai tamunya. Gitu?
"Gue kira, lo balik ke Jakarta cuma buat syuting?" Aku bertanya ketika berhasil mengendalikan suaraku agar tetap terukur—selepas tersedak mushrooms serta mendapati segala kejutan ini.
"Memang iya. Bulan depan sudah mulai."
"Tapi, barusan lo ngasih gue undangan!" Perkataanku di depan Lamda selama ini memang kerap kali tergolong nggak sopan, tapi sumpah aku belum pernah meneriakinya seperti apa yang sesaat lalu kuperbuat.
Ragu-ragu kuperhatikkan raut wajah Lamda yang kini udah duduk kembali di kursinya—tepat di hadapanku. Dia agaknya nggak merasa terkejut ataupun terganggu akan reaksi menggebuku barusan.
Kemudian, masih dengan muka super lempeng andalannya Lamda malah berkata, "Jangan datang kalau kamu belum siap untuk kembali ke Jakarta." Jeda sejenak. "Jakarta itu sempit. Mantanmu mungkin bisa muncul di mana saja."
Oh, My! Sebodo amat sama mantan! Anggap aja gue udah hilang ingatan.
Dan Lamda, sejauh ini aku belum pernah secara serius menyangkan ketidakpekaan yang selalu dia anut. Namun, satu kali itu entah kenapa aku betul-betul berharap supaya Lamda terlahir sebagai darah daging Om Lino, sehingga sedikit aja dia bisa terciprat level kepekaan super tinggi yang dimiliki ayahnya.
Yah. Seandainya aja.
Suara pengeras suara yang mengumumkan soal keberangkatan pesawat yang hendak kutumpangi menggema di Dubai International Airport. Kehadirannya sekaligus menyadarkanku dari jeratan lamunan super panjang.
Beranjak dari kursi, kusempatkan untuk mengecek ponsel sekali lagi sebelum menon-aktifkannya. Di sana ada chat dari Selova yang belum terbaca.
Isinya gini :
Safe Flight! Semoga lo bisa ketemu dengan the next Lee Young Jae atau Aldebran Risjad.
Aku kontan mendengkus.
Andai benar jika aku ini beruntung. Andai benar bahwa aku bisa seberuntung Han Ji Eun atau yah Tanya Baskoro.
Sayangnya, ketika langkah ini membawaku masuk ke kabin dan tiba di kursiku, aku sadar bila Calibra Bhagirathi punya takdirnya sendiri. Dan takdir itu bisa jadi adalah takdir yang nggak ingin diimpikan oleh perempuan mana pun termasuk mungkin Han Ji Eun atau Tanya Baskoro.
***
Selamat weekend!
Bab ini sekaligus untuk mengenang Karl Lagerfeld yang walau sosoknya sangat kontroversial, tapi ide-idenya emang nggak ada duanya, Bosque.
Terima kasih untuk Full House-nya Won Soo Yeon dan Critical Eleven-nya Kak Ika Natassa tentu aja yang udah melahirkan tokoh-tokoh yang luar biasa.
Untuk teman-teman yang sedang baca, I love you wkwkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro