2. Patah Hati, Bukan Demo
Hari saat aku putus dulu, aku emang sama sekali nggak meneteskan air mata di depan Gatjra. Bahkan, begitu berhasil duduk dalam kabin pesawat yang membawaku kembali ke Singapore aku pun cuman diam—tidur.
Bukan karena aku nggak secinta itu sama dia. Oh, come on! Lima tahun menjalin hubungan, jika cinta ini diibaratkan uang tentu perasaanku pada Gatjra udah bisa dipake buat ngelunasin cicilan satu unit mobil.
Hanya aja yah, ngapain aku capek-capek nangisin manusia kunyuk macam Si Gatjra? Dia aja pasti happy-happy kok waktu milih main api. Terus adil gitu kalau aku yang justru merana? No. Papa nggak membesarkanku untuk jadi perempuan semeyedihkan itu.
Benar.
Meski begitu, tepat ketika Lamda muncul buat ngejemput di Changi lalu ngomong dengan muka super lempengnya bahwa lipstikku cemong, akhirnya tanggul air mata itu toh jebol juga. Aku praktis meraung.
Oh, My God!
Di pesawat tuh maksimal aku bisa tidur pake gaya apaan sih nyampe bibirku sukses coreng-moreng? Ya kali kayang? Back roll? Salto? Ck, udah gitu laki-laki bernama Lamda itu emang nggak ada peka-pekanya babar blas. Dia tau make-up-ku nggak on point, tapi bukannya nolongin dia malah sibuk mempermalukanku dengan merepetisi pengumuman soal cemang-cemong nyaris di sepanjang jalan. Sialan! Dari mana pula seorang Lamda belajar jadi bawel?
Dan please, PP Soetta-Changi aku bahkan nggak sempat touch up kayak biasanya. Padahal, ini lipstik lho hal yang selama ini selalu kujamin supaya tetap paripurna performanya. Tetapi, gara-gara Gatjra yang hari itu berulang tahun, perhatianku jadi tersedot habis untuknya.
Ya, aku yang sibuk mau bikin surprise buat Gatjra lah, ingin tiba-tiba muncul di Jakarta lah, mau ini-itu sampai-sampai aku lupa untuk memperhatikan diriku sendiri.
Lalu, gara-gara Gatjra juga aku jadi ribut bertanya-tanya apa sih kurangnya aku?
Meski ldr-an toh, aku pun tetap berusaha biar bisa sesering mungkin ketemu. Dua minggu sekali lah kalau emang nggak sibuk-sibuk banget. Lagi, itu udah lumayan lho, daripada ada yang ldr-an cuman bisa ketemu via suara. Kami cukup beruntung. Walau yah, kadang harus puas dengan hanya ngedate di airport.
Akan tetapi, apa pun bentuk jerih payah kami dulu, nyatanya semua perjuangan tersebut nggak mampu untuk menahan perasaan Gatjra agar tetap sama. Pada akhirnya, kealpaanku di sisinya mungkin membuat dia ngerasa bosan dan kosong. Maka, dia pilihlah untuk mendua.
Entahlah.
Jujur, putus dari Gatjra emang bikin hati sakit pun sepi, tapi seenggaknya berkat hilangnya Gatjra dalam hidupku alhasil aku jadi punya banyak kolega buat bersenang-senang; ngegosip slash ngebacot slash ngejulid.
Iyalah. Secara dulu kan waktuku habis dipake ngurusin Gatjra melulu, mana ada kesempatan ikut kongkow-kongkow, ngobrol haha-hihi, sosialisasi menikmati masa muda. No. Empat tahun lalu, duniaku ya seputaran Gatjra aja.
Terus, apa kabar hidupku hari ini?
Tanpa Gatjra, oh, please masih perlu gitu buat ditanya?
Masa kelam telah resmi berakhir, Sist.
No doubt. Makanku kenyang, tidurku nyenyak, bisa sering-sering jajan di Sephora dan paling penting aku toh masih tetep hidup walau kehilangan cowok yang sempat kuanggap sebagai cinta matiku. Intinya, meski aku nggak tau info ter-update tentang Gatjra, tapi bisa dipastikan jika kondisiku kini jauh lebih bahagia slash sejahtera slash sentosa dibanding Si Maha Kunyuk Gatjra Praharsa!
Euh, wait! Kecuali saat aku mulai dengar teriakkan ini sih, "Lo diterima di Cévo? Demi apa ini bukan berita hoax?!" Super nge-gas. No greetings. No basa-basi-busuk. No kabar-kabari. Ugh, biar kukenalin deh seruan ala geledek ini datang dari salah satu mitra ngegosipku yang paling berisik nan julid sealam semesta, Selova.
By the way, kalau buat urusan ngumpulin gosip-gosip macem begini dia tuh emang nggak ada duanya lho. Heran aja sebenernya, seberapa banyak coba kuping-kuping nggak kasat mata yang dia pasang di seantero Jakarta sampai-sampai nih cewek satu mampu sebegitu gercep-nya. Padahal, aku aja baru dikabarin pihak Cévo kemaren siang lho.
Ck, ck, ck!
Bergegas membenahi letak headset bluetooth yang menggantung di sisi telinga, aku lantas keluar dari Le 505 Boulangerie du Stade dengan membawa sebungkus éclair setelah sebelumnya mengucap merci beaucoup.
"Oh, please deh, Marfuah! Mairsee bowkoo mairsee bowkoo! Nggak usah deh lo sok-sokan ngebule depan gue!" sambar Selova gemas yang membuatku otomatis memutar bola mata dengan nggak kalah gemasnya.
Sumpah nih yah! Level kege-er-an Sesembak satu ini kadang emang suka bikin malu. Pantes aja dia sering kena jebakan batmen. Hih! "Lha, yang ngajakin situ ngobrol tuh siapa?" ujarku. "Dan iya. Gosip yang lo dapet emang bukan hoax kok. Senin kemaren gue udah sah resign."
"Eh, Markonah, bercanda lo?! Maksudnya resign? Lo ... Oh, My! Gimana bisa malah jadi menclok di Cévo, hah?!"
Nggak langsung menyahuti, aku sengaja melemparkan pandangan ke arah sebuah bangunan restoran makanan Perancis yang berjarak sekitar tiga puluh meter dari bakery Le 505. Biarpun waktu kecil aku pernah menjadi penghuni kota Lyon cukup lama, jujur aku belum pernah sekali pun masuk ke Le Couëron. Tetapi, seenggaknya aku tau bahwa di hari Rabu restoran tersebut hanya akan buka sampai pukul dua siang.
So, perempuan berkerudung kuning terang—yang tampak super mencolok di tengah hiruk-pikuknya dominasi warna biru-merah-putih milik supporters klub Lyon yang mulai tumpah di jalan—yang sekitar setengah jam lalu sepertinya sempat berpapasan denganku di depan Centre Interculturel de Décines, tentu nggak akan dibukain pintu walau dia nunggu nyampe pegel di pelatarannya.
"Ya, masa bodolah." Salahnya sendiri nggak googling.
"Heh! Masa bodo, masa bodo kepala lo! Ini Cévo! Mana bisa gue masa bodo?!" Oh, God! Aku lupa bahwa selain doyan kege-eran Selova tuh tipe yang gampang banget triggered.
Memilih menghela napas samar, sebetulnya sih aku paham kenapa Lova bisa secemas ini dalam merespons soal bergabungnya diriku bersama Cévo. Tapi, ya mau bagaimana lagi? Aku butuh tempat kerja baru secepatnya dan Cévo lah yang kontan datang kasih kesempatan tersebut.
Lanjut untuk membelokkan gerak langkahku ke sisi kiri, menuju Avenue Jean Jaurés yang terlihat semakin padat oleh pendukung Olympique Lyonnais. Aku kemudian berusaha membalas enteng, "Can lah. Ya kali mentang-mentang lo gagal dapet promosi terus, gue mesti ikut-ikutan gagal juga gitu?"
"Ya nggak begitu juga maksud gue, Marimar! Lagian kejadian itu udah masa lalu kali. Ngapain coba lo ungkit-ungkit melulu?!" dumelnya nggak terima.
"Yaelah. Baru lewat dua hari aja udah lo bilang masa lalu," sindirku.
Lagipula, serius nih. Peristiwa dia ditikung sama anak baru di kantornya yang tiba-tiba nyelonong jadi Bos di divisinya tuh masih anget banget. Sok-sokan bilang lupain, orang tadi pagi group chat pun masih rame kok dipake buat nampung bacotan laknatnya soal Si Bos Berondong Kampret anyarnya itu.
"Halah, ya udah sih. Kan kita lagi bahas lo bukan gue. So ... gimana ceritanya lo ujug-ujug nyampe di Cévo, hm?" koreknya kepo.
Jujur aku agak bingung ngejelasinnya. Soalnya, ini mah kayak emang kebetulan lagi beruntung aja. Ada job vacancies, ku-apply, di-interview terus lolos dan ditempatkanlah aku di kantor pusat Cévo di Jakarta. Hm, tapi jawaban sejenis 'Rezeki anak soleha' jelas nggak bakal mungkin mampu menumpas dahaga rasa penasaran seorang Selova.
Oleh karena itu, aku pun terus memutar otak—merumuskan bahan jawaban terjitu—seraya bergumam, "Ng, tau deh." Sambil kusempatkan untuk menggigit bagian ujung éclair sekali. Ugh, kulitnya renyah, ditambah topping lelehan cokelatnya yang rasa manisnya bikin mood sontak melejit naik. Er, aku menimbang-nimbang ulang di pangkal lidah sebelum akhirnya menuturkan kalimat, "Maybe, karena di CV gue tertulis bahwa gue pernah internship selama enam bulan di VER?
"Dikiranya, gue akan bawa segembol informasi yang berguna mengenai perusahaan saingannya kali? Padahal, di VER gue cuman ngerti sebatas fotocopy sama jadi buntutnya para kacung kampret. Satu-satunya info yang bisa gue kasih, palingan ya soal Big Boss-nya yang luar biasa sombong, tapi super baik." Tak lupa, aku menambahkan sebaris tawa sebagai penutup penjelasan.
"Hahaha." Selova nggak membuang kesempatan demi menirukan cara tertawaku yang sumbang—dengan tujuan buat sarkas pastinya. "Cuma lo doang kayaknya yang muji Bos VER baik." lanjutnya menggerutu.
"Lho, emang Big Boss-nya baik kok sama gue."
"Iya, sama lo doang."
"Masa sih? Mungkin karena gue kesayangannya kali yah?"
"Dasar! Peres lo! Tapi, harus banget Cévo nih? Lo kan bisa kerja di tempat lain. Ametsubi kek, Wai Yang kek atau apa tuh yang tenar di Spore Ong Sun ... Ong Seungwoo?"
"Ong Seungwoo mah member boyband Korea kali." Seru suara lain di ujung sambungan sana mengoreksi kesok tauan Selova.
"Oh. Kirain lo taunya cuman Nicholas Saputra doang," balas Selova terdengar cukup sengit. Oh, jangan bilang nih anak dua sedang terlibat cek-cok alay bin nggak penting lagi? Hobi amat dah!
"Eh, eh, ada Utri tuh? Di Jakarta bukannya udah tengah malem? Tumben dia di tempat lo? Diijinin gitu sama Ndoro Ratunya ngelayap di jam kalong?" tanyaku berupaya mencegah kalau-kalau baik Selova maupun Utri justru tertarik buat memperpanjang sesi adu debat mereka.
Eh, iya. Sekilas info aja, Utri itu salah satu partner in crime-ku di luar Selova. Kami—termasuk Selova—ketemu di suatu acara Festival Kopi yang ketika itu digelar di F1 Pit Building. Dia anaknya seru abis. Namun, ya gitu tunduk banget sama Ndoro Ratu alias Mamanya yang posesifnya sebelas-dua belas kayak Papaku. Mau menginap di tempat teman akrab pun, wajib melalui sesi interogasi dulu yang kadang memakan waktu nyaris seabad kali saking lamanya. Parahlah!
"Kabur dia. Lagi patah hati. Udahlah biarin. Back on topic. Kenapa Cévo? Atau jika gue boleh mention ini, kenapa harus Jakarta lagi?"
Kembali aku mendesiskan napas samar. "Karena ini kesempatan bagus buat perkembangan karir gue?" responsku yang justru seolah sedang bertanya.
"Halah pret!" Dan Selova kadang emang jauh lebih mengenalku dibanding diriku sendiri. "Seorang Calibra sejak kapan lo butuh hal-hal semacam itu? Meskipun lo sebatas ungkang-ungkang kaki toh, lo nggak bakalan jatuh misqueen, Darling!"
"Ya ... sebulan-dua bulan gue mungkin masih selamat. Lewat dari itu, nama gue pasti bakalan hilang secara misterius dari daftar kartu keluarga."
"Halah, mustahil! Kayak berani aja Bokap-Nyokap lo ngambil resiko sebesar itu."
"Mending kagak punya anak sekalian kali daripada punya tapi kayak nggak punya," sahutku enteng.
Dan sekarang, giliran Selova yang sontak terdengar membuang napasnya keras di seberang panggilan. Taruhan, emosinya tentu udah nanjak nyampe ke ubun-ubun. Iyalah. Siapa sih yang betah menghadapi mode kepala batuku? Er, ada satu sih sepertinya yang kuat, Lamda. Itu pun bisa jadi karena pada dasarnya dianya aja yang emang kurang peka.
"Cal, please! Are you serious? Mau stay di Jakarta? Will you be alright?"
"Actually, no lah. Gue kan paling sebel kalau mesti macet-macetan, kena polusi, kejebak banjir. Terus apalagi yah yang suka terjadi di Jakarta?"
Selova mendengus. Agaknya sih udah paham bahwa keputusanku untuk meninggalkan Singapura serta pindah ke Jakarta telah bulat. Terbukti, selang sedetik dia praktis mempetikemaskan polemik soal nasib karirku dengan beralih inti bahasan, "By the way, lo udah tau tentang Lamda? Lo dapet juga kan dari dia?" tanyanya terdengar begitu hati-hati.
Aku pun otomatis menghentikan laju kaki. Sedang mataku lantas dengan awas memindai kawasan Parc Olympique Lyonnais. Nggak banyak yang berubah dari kota Lyon khususnya para pecinta bolanya. Petang ini, semua orang terlihat luar biasa bersukacita. Iyalah. Setelah, di laga sebelumnya tim kebanggaan kota ini berhasil memetik kemenangan di The City of Manchester. Tentu, semua orang ingin menjadi saksi di mana Lyon diharapkan dapat kembali mengulang kesuksesannya di kandang sendiri, demi menjaga asa agar mampu lolos hingga ke putaran berikutnya dalam perhelatan Liga Champions.
Dulu, momen semacam ini merupakan salah satu momen yang selalu aku dan Papa tunggu-tunggu datangnya—di samping pagelaran Paris Fashion Week. Sebab, di tengah hingar-bingar riuhnya para supporter yang berseru padu—menyanyikan yel-yel ataupun chant—seberapa pun kelamnya perasaanku, senyum lega itu pasti akan timbul juga.
Namun, hari ini rasanya berbeda. Biarpun terhimpit oleh keramaian, anehnya aku tetap merasa kehilangan.
Terlebih saat suaraku pelan-pelan lolos untuk berujar, "Huum. Hari Minggu kemaren pagi-pagi buta dia bahkan udah nyampe Changi lho hanya demi bisa ngasihin secara langsung ke atas telapak tangan gue."
"Lo ... berasa mau mati nggak?"
"Menurut lo?" semburku.
"Oh, please! Gue nggak siap yah kalau harus ngasuh dua bucin yang sekarat karena patah hati."
"Asem!"
Selova mendecih ringan. "Eh, ngomong-ngomong sekitar lo kok berisik amat sih? Lagi di mana lo?"
"Mau nonton Lyon," jawabku pendek.
"Di depan tivi?"
"Level gue emang sebatas 'di depan tivi'?" ucapku tak sepenuhnya serius menyombong. Ah, syukurlah aku masih sanggup bercanda walau ya sumpah garing abis.
"Hilih! Pantesan aja yak lo disayang sama Si Bos VER, sok-nya selevel sih kalian," tuding Selova. "Ya udahlah. Kalau besok lo udah nyampe Soekarno-Hatta kabarin aja. Ntar gue jemput daripada lo minta jemput Lamda kan? Ck. Tutup gih, gue mau lanjut ngasih kultum nih sama seonggok bucin yang dari tadi nangis mulu. Eh! Buah tangannya jangan lupa lho! Gue tunggu!"
Aku mengekeh lirih setelah memastikan menitip salam buat Utri. Sesaat sebelum memutus sambungan, aku masih dapat mendengar Selova yang bertanya apa nggak sebaiknya aku tetap di Spore aja?
Eum, nggak. Kali ini, aku memang perlu ke Jakarta. Apalagi setelah apa yang telah terjadi di antara aku dan Lamda pada hari Minggu kemaren.
Tanpa melihat, tanganku secara cekatan lantas mengeluarkan selembar kertas dari tas selempang.
Serta, entah untuk ke berapa ratus kalinya, aku kembali mengeja isinya. Di sana sungguh tertulis;
The Honor of Your Presence is Requested
At a Dinner Party
Celebrating The Engagement of
LAMDA P. RAHAGIARJA
AND
WIANARA SABHITA
____________
Oh, bagus! Haruskah ada patah hati jilid dua dalam hidupku?
Dan, dari mana kiranya Si Wianara-Wianara ini datang? Sial! Setelah susah payah kubangun ulang puing hatiku, gila aja jika lagi-lagi dia berhasil dibuat runtuh oleh seseorang yang bersebut perempuan lain?
No! Aku Calibra mustahil kalah secepat ini.
***
Curcol dulu lah.
Yang lain udah pada mau tamat, eh eyke masih dua part aja 😂😂😂
Yang kangen BPN, Selova, 24 Hours tuh udah pada tak mentionin lho kabeh di cerita ini 😂😂😂 kangennya udah terasa lunas kan?
Dan sejenak mari kita #PrayForIndonesia atas apa yang belakangan terjadi. Semoga kita bisa tetap kuat dan lekas bangkit ❤❤❤
Dan selamat liburan juga buat yang liburan. Yang libure tanggal merah tok yok yowes benlah kamu tak sendiri kok 😳😳😳
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro