Bab 32 || Syahadah Dan Pisah (Ending)
Suatu hari, pada waktu yang tepat, Tuhan akan mengabulkan. Tuhan akan memberi jalan.
Barangkali masa berjalan begitu cepat. Kurang lebih 8 bulan Sena menghabiskan waktunya di sini. Dan sekarang, di rumah ndalem, ia dan Farhan duduk di depan Gus Hamdan dan Ning Mariyah yang sejak sepuluh menit tadi memberi beberapa kata pengantar sebelum melepaskan mereka kembali pergi.
"Sekali lagi saya berterima kasih pada kalian karena telah mengabdi di sini, tahun ajaran baru nanti, ada tiga santri putra dari Umar yang datang ke sini karena mendapatkan Pesantren Ibnu Rusyd tempat mengabdinya, menggantikan kalian. Syahadah ini akan saya berikan pada kalian, semoga kalian bisa meraih apa yang dicita-citakan. Dan selamat kepada Farhan yang akan melanjutkan belajarnya di Darul Mustafa." Gus Hamdan tersenyum. Beliau kemudian menyerahkan dua ijazah mua'dalah pada mereka.
"Nggeh, Gus. Matur suwun," jawab Farhan.
"Matur suwun, Gus," kata Sena.
"Ya sama-sama. Saya nggak bisa berlama-lama di sini, karena saya mau ke pesantren Dzinun untuk mengantarnya pergi. Hari ini dia akan meninggalkan Indonesia untuk beberapa saat," lanjut Gus Hamdan.
"Dan ini ada hak milik kalian yang harus kalian bawa. Jadi, kami mohon jangan ditolak." Ning Mariyah memberi dua amplop putih yang lumayan tebal. Sena terkejut, bahkan setahu dia ngabdi itu tak perlu mendapat bayaran. Tidak membayar bulanan makan dan listrik pun itu sudah bonus luar biasa, tapi Ning Mariyah seakan menghitung pendapatan mereka dari awal bulan.
"Ning tapi, seharusnya ini enggak perlu. Sudah kewajiban kami mengabdi di sini." Farhan angkat bicara. Sena mengangguk menyetujui.
Ning Mariyah tersenyum. "Ambil saja. Saya bilang jangan ditolak. Kami berterima kasih karena kalian sudah bertahan di sini."
"Matur suwun, Ning," kata Farhan.
"Gus Hamdan, maaf kalau saya lancang. Tapi Gus Dzinun mau ke mana?" Sena bertanya ragu. Demi apa pun sesungguhnya dia tak memiliki hak untuk bertanya, tapi nyatanya sampai sekarang dia belum benar-benar mampu menghadapi kenyataan bahwa dia bukan seseorang yang pantas untuk laki-laki itu.
"Kampusnya libur 3 bulan dan dia diminta ayahnya untuk menemui salah satu guru di Yaman."
"Tapi, Gus Dzinun akan kembali lagi kan, Gus?"
"Seharusnya begitu, tapi saya nggak bisa memastikan."
Sena terdiam. Pikirannya langsung kacau. Untuk terakhir kali bila memang menjadi waktu yang terakhir, Sena ingin mengucapkan selamat tinggal pada Dzinun dan meminta penjelasan atas ucapan laki-laki itu beberapa bulan lalu. Namun, mungkin Sena terlalu percaya diri, mungkin dia terlalu ge-er berharap bahwa Dzinun menyukainya.
Setelah berpamitan dengan Gus Hamdan dan Ning Mariyah, Sena dan Farhan langsung keluar dengan serta membawa syahadah. Sena memakai sandal, lalu segera pergi menuju asrama ustazah.
Asrama sudah sangat sepi. Hampir semua santri sudah pulang dan mereka akan kembali saat ajaran baru nanti. Ada pun mereka yang berasal dari Kalimantan, NTB, NTT, atau Papua, tetap tinggal di asrama. Tiket pesawat seringkali tak bersahabat dan jarak benar-benar menjadi alasan. Kadang-kadang Gus Hamdan dan Ning Mariyah mengajak mereka berpariwisata keliling Malang hingga Bali menggunakan Bus, setidaknya ketika teman-teman mereka kembali dan menceritakan liburan dengan keluarga yang asik, mereka juga memiliki cerita liburan yang tak kalah asik.
Hal-hal seperti itu juga berlaku di pesantren Sena. Umar bin Khattab. Sena membuktikan sendiri saat suatu ketika dia memilih menetap di asrama. Dan akhirnya dia diajak oleh Gus Ismail dan Ibu Nyai untuk keliling Bandung dan Jakarta. Sangat asyik memang.
Namun kembali pada pikirannya yang kusut, Sena benar-benar ingin menyusul Dzinun dan menemuinya di stasiun. Dia bisa memesan tiket dari sini dan langsung turun di stasiun yang mengantarkan Dzinun ke Jogja, tapi apakah tindakan itu benar? Pasalnya ia juga pasti akan bertemu Gus Hamdan dan itu akan menjadi masalah besar.
Di depan koperasi yang tutup, dia memutuskan berdiri di sana sembari memegang erat syahadahnya. Sesungguhnya hari ini dia pulang dan menghabiskan waktunya di rumah sebelum pembelajaran di kampus mulai aktif. Jujur saja, Sena lolos tes mandiri di salah satu Universitas impiannya di kota Jogja. Mungkin dia akan tinggal di asrama lagi karena sampai sekarang, Sena belum berani keluar dari zona nyaman bernama mondok. Entahlah, bagi Sena, pesantren sudah seperti rumah. Asrama memberinya kenyamanan saat rumah tak lagi seperti dulu.
"Avicenna!" panggil seseorang.
Sena menoleh. Dia mendapati laki-laki bersarung hitam serta berkoko putih yang baru saja muncul dari balik tembok perbatasan koperasi. Ah ya, Sena sudah menceritakan segala hal mengenai kedua orangtuanya dan orang tua angkat Farhan, dan saat diceritakan hal tersebut Farhan hanya terkejut sebentar dan meminta maaf atas kejahatan yang dilakukan mereka.
"Ada apa?" tanya Sena.
"Mukamu kenapa? Nggak ada ekspresi banget, Sen. Sama patung Liberti aja lebih bersemangat dia eksperesinya," komentar Farhan.
"Apaan sih? Ada apa?" Sena pura-pura cemberut.
"Mau pulang kapan?" tanyanya.
"Aku enggak tahu. Belum pesan tiket juga."
"Aku pesan dua tiket travel. Kalau kamu mau pulang lusa, kita bisa bareng."
"Lusa, ya." Sena menimbang-nimbang. Rasanya dia belum terlalu ikhlas meninggalkan pesantren ini. Ada banyak kenangan di sini dan pulang pun, siapa yang akan menyambutnya? Elang sudah di Alabama dan Sena tak memiliki siapa-siapa di rumah kecuali Bi Ida atau suaminya yang menjaga kebun. Dia benar-benar akan merasakan kesepian.
"Nanti aku kasih tahu kamu, ya, kalau aku mau pulang bareng. Soalnya aku baru mau pulang kalau Mbak Nada juga pulang."
"Okay. Nanti bilang aja."
Farhan baru saja melangkahkan satu kakinya untuk pergi, tetapi Sena berkata yang akhirnya menghentikan langkah Farhan. "Farhan, selamat ya. Sebentar lagi kamu menginjakkan kaki di tempat impianmu."
"Makasih, ya. Aku akan sampaikan kabar baik ini sama Gus Ismail. Tanpa guru-guru, aku belum tentu mampu berproses."
"Setuju." Sena tersenyum. "Oh ya, Farhan, Gus Ihda udah pulang?"
"Belum. Kayaknya besok. Sen, jangan menyerah sama hal yang kamu pengenin. Jangan sampai nyesel kalau udah terlambat."
"Maksud kamu?"
"Coba cek lagi perasaan kamu lebih condong ke siapa. Mungkin seseorang bisa menyukai dua orang sekaligus tapi yang benar-benar paling dicintai hanya satu. Waktumu nggak banyak. Keduanya bisa mendapatkan yang lebih baik dari kamu, tetapi mata mereka menilai kamu yang terbaik. Jangan sia-siakan kesempatan yang ada. Kita semua akan pergi pada waktunya, kita semua akan berpisah tidak lama lagi." Setelah mengatakan hal tersebut, Farhan langsung pergi.
Sena menatap langkah Farhan sembari memproses kata demi kata yang dikeluarkan dari bibir itu. Mungkin benar bahwa Sena terlalu menahan segalanya. Mungkin benar bahwa Sena menyukai keduanya. Tapi kenapa? Bahkan Sena merasa bahwa dirinya memang tidak becus dalam permasalahan rumit ini. Perasaannya benar-benar tak dapat diandalkan.
Ya Allah aku ini siapa yang berani-beraninya bersikap sedemikian buruk. Bahkan aku melukai perasaan salah satu dari mereka.
Perempuan itu kembali ke kamar. Dia menaruh syahadah di atas lemari, lantas kembali keluar. Sepertinya untuk saat ini Sena harus keluar dari asrama. Gadis itu berlari kecil. Sesungguhnya dia tengah menghindar ajakan Nada yang memintanya ambil lauk di dapur. Saat ini Sena benar-benar malas makan. Dalam bayangnya, perkataan Farhan selalu memenuhi ingatan Sena, dia benar-benar tergganggu karena memang ucapannya mengandung kebenaran dan Sena mengamini itu.
Dia berlari keluar asrama, keduanya matanya terbelalak saat mendapati motor vespa yang melaju ke arahnya. Tak ada waktu untuk menghindar karena jarak yang sudah sangat dekat, klakson berbunyi dan pengendara roda dua itu langsung mengarahkan ke sisi lain dan karena dia juga rupanya mengerem dengan mendadak, sehingga dia terjatuh. "Astagfirullah Gus Ihda!" Sena berteriak histeris. Dia berlari ke arah laki-laki itu yang terjatuh di aspal, tepat samping motornya.
"Nggak usah teriak kenceng-kenceng, aku nggak papa." Ihda berusaha bangkit saat Sena mendekat. Dia merasakan nyeri di sikunya yang lecet dan dahinya yang terkena goresan. Namun, selain itu tak ada yang benar-benar sakit. Untung saja Ihda tak begitu kencang saat mengendarai motor tadi, hanya saja Sena terlalu mengaggetkan dirinya. Dia berlari keluar asrama tanpa tanda-tanda terlebih dahulu.
"Gus, tunggu di sini, ya. Saya ambil kotak obat dulu." Sena lantas berlari ke dalam.
Ihda memperhatikan langkah perempuan itu, lalu berusaha menegakkan motornya. Dia memperhatikan spion-nya yang retak dan ada beberapa bagian yang tergores. Lebih nyeri melihat motornya yang tergores daripada dirinya sendiri. Padahal dia sudah berniat bahwa hari ini akan pulang dengan Viola, nama motornya. Tapi mungkin akan diundur besok. Siang nanti dia akan membawanya pada tukang servis. Untung saja asrama sepi, sehingga tak ada yang tahu insiden seperti ini.
"Gus, ini kotak obatnya." Sena terlihat sangat cemas, kedua matanya berkaca-kaca. Ihda ingin tertawa melihat ekspresi itu, tapi dia menahannya.
"Ah, makasih. Tapi sebenernya saya nggak papa kok." Ihda mendekat ke arah Sena, mengambil kotak obat, lalu duduk di kursi kayu depan koperasi.
Sena duduk di sekitar satu meter di sebelah Ihda, dia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Laki-laki itu membuka kotak P3K, mengambil alkohol dan kapas, lalu mulai membersihkan lecetnya. Ihda meringis, benar-benar terasa perih. Lebih perih daripada ketika di suatu malam dia mengungkapkan kalimat perpisahan. Tanda dia berhenti berharap pada perempuan itu.
"Gus Ihda, mau bilang Gus Hamdan?"
"Nggak perlu. Nggak usah lebay, dulu waktu kecil aku pernah lebih parah dari ini. Waktu Mas Dzinun pertama kali bisa naik motor dia sangat percaya dirinya ngebonceng aku, terus pas di jembatan kita papasan sama motor lain. Karena hilang keseimbangan di jalan sempit, akhirnya kita berdua tercebur di sungai."
"Terus bagaimana motor Gus Ihda? Aku bayar biaya perbaikan, ya. Bagaimana pun juga ini salahku."
"Enggak usah. Santai aja." Ihda membuka hansaplas, lalu mulai menempelkannya di beberapa bagian yang terluka.
"Gus Ihda," panggil Sena.
"Hem?" Ihda menggumam. Dia masih sibuk dengan luka-lukanya. Lebih dari itu Ihda hanya mencoba menetralkan detak jantungnya saat duduk berdekatan dengan Sena. Setelah pertemuan di pos dan dia berjanji untuk melepas Sena, dia tak pernah lagi menyapa atau mengganggu Sena. Namun hari ini semesta mempertemukan dan Ihda tak bisa menghindar.
"Gus Ihda, saya boleh bertanya satu hal?"
"Tanya aja."
Sena terdiam beberapa saat. "Gus Ihda, benci sama saya?"
Ihda mengernyitkan dahi. "Benci sama kamu? Aku dididik Abi untuk mencintai semua orang. Bahkan sama yang membenciku, aku nggak bisa membencinya."
"Bagaimana bisa? Ada hati manusia yang seperti itu?"
Ihda mengangkat kedua bahunya. "Enggak tahu. Tapi aku emang enggak pernah bisa benci sama orang. Mungkin hanya sesaat, kesal. Dia menyebalkan. Tapi setelah beberapa menit serasa biasa aja. Ketika perhatian Majnun selalu diperuntukkan untuk Laila, apakah dia punya kesempatan untuk memperhatikan orang lain?
"Dan point utamanya, Majnun memang enggak pernah bisa benci Laila. Laila istimewa." Ihda tersenyum.
"Tapi rasanya itu sulit. Bahkan sampai sekarang aku masih menyimpan kebencian." Sena berkata lirih.
"Aku nggak pernah berada di posisimu, jadi aku nggak bisa berkomentar. Tapi Sena, kamu hebat. Bisa melalui ini. Waktu Mas Hamdan cerita padaku tentangmu ketika pulang ke Jakarta, aku nyaris nggak percaya bahwa kehidupan bisa seperti drama di televisi.
"Ah ya, kamu pulang kapan?" Ihda menutup kotak P3K tersebut. Memandang motornya sekali lagi.
"Belum tahu, Gus. Di rumah enggak ada siapa-siapa. Kalau bisa saya masih pengen di sini sampai perkuliahan masuk. Tapi itu juga kayaknya enggak mungkin."
"Kuliah di mana?"
"Jogja. Saya ketrima di Universitas yang saya mau. Prodinya memang tidak sesuai yang saya inginkan, tapi saya coba survive saja nanti."
"Jogja...." Ihda bergumam.
"Kenapa Gus?"
Ihda menggeleng. "Aku juga memimpikan untuk bisa tembus Kedokteran di salah satu Universitas di Jogja. Abi udah mengizinkan."
"Gus Ihda enggak ada cita-cita ke Timur Tengah?"
"Adanya cita-cita untuk menikahi kamu."
"Eh?" Wajah Sena memerah menahan tersipu.
"Sena, tunggu aku lima tahun lagi." Ihda berkata benar-benar.
"Sekarang aku udah kelas dua belas. Tapi aku juga nggak ingin nikah muda. Lagian usia minimal perkawinan itu 19 tahun dan aku masih 17 tahun menuju 18 tahun. Pernikahan itu bukan hal mudah kata Abi. Apa lagi dalam hal perekonomian, tentu saja kita harus berpikir matang-matang. Jadi Sena, ayo kita saling menunggu."
"Gus Ihda--" Sena tak bisa berkata-kata. Kedua matanya kembali berkaca-kaca. "Gus, saya bukan berasal dari keluarga terpandang."
Ihda tersenyum. "Zaman udah maju, Orang-orang luar udah ada yang berencana mau pindah ke Mars, dan kamu masih menggunakan alasan klasik itu, Sena? Kalau kamu mau tolak, sebenernya enggak papa. Tapi coba yang alasannya lebih modern. Misalnya, kamu enggak suka aku karena aku tim bubur tidak diaduk, sedangkan kamu tim makan bubur pakai sedotan."
Sejujurnya Sena ingin tertawa, tapi dia tidak mampu. Dia benar-benar memikirkan banyak kemungkinan yang akan terjadi. "Gus Ihda, aku serius."
"Ya atau tidak?" Kali ini Ihda memandang wajah Sena sebentar, lalu mengalihkan kembali ke arah sembarang.
"Gus--"
"Ya atau tidak?"
"Lima tahun itu terlalu lama." Tiba-tiba Sena berkata.
"Maksudmu?"
"Aku takut Gus Ihda berubah."
"Perubahan memang selalu ada. Tapi hati manusia bukan awan yang rentan sekali dengan perubahan setiap detiknya. Dan untukmu, enggak akan pernah ada yang berubah."
"Janji?" Sena meyakinkan.
Ihda mengangguk. "Jangan pernah kontak aku dan aku enggak akan pernah kontak kamu. Tapi setiap tanggal 1 Juli setelah zuhur kita akan bertemu di tempat yang akan kita sepakati nanti. KM nol misalnya."
"Satu juli itu ulang tahun saya, Gus," kata Sena.
"Saya juga," balas Ihda.
"Tapi Sena, kalau kau menemukan seseorang yang kau sukai, aku nggak melarangmu untuk meninggalkanku."
"Dan itu akan menjadi suatu ketidakmungkinan." Sena berkata tegas.
Ihda tersenyum. Sena juga.
Di bawah langit biru, mereka berjanji. Pada Dia yang mempertemukan, pada Dia yang telah memberi jalan, pada Dia yang tak pernah meninggalkan, tercipta sebuah sketsa perjalanan yang akhirnya mengenalkan kedua manusia pada takdir yang telah ditetapkan.
Demi Dzat yang telah menciptakan angkasa tanpa sangga, mereka menitipkan hati serta ketetapan diri pada-Nya yang tak pernah pergi.
Tamat!
Huaa, akhirnya ditamatkan hari ini. Ya, jadi insha Allah besok epilog. 🌹☺️
Jangan tanya, Dzinun gimana? Karena ini bukan cerita tentang Dzinun. Dzinun nanti ada sendiri insha Allah dan setelah ini kayaknya ada cerita baru tentang Mbak Silky huhu~ terus nasib Sebelum Akad gimana? Haha ntar dulu ya itumah 😌
Ya, bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik. Terus jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya. Bagi kalian yang udah baca sampe akhir dan belum follow, apa tidak ada cita-cita untuk follow dulu, Rek? Xixi~
Oh ya kalau mau ada yang disampaikan tentang KM 14 ini, bisa sampaikan pesan dan kesan kalian saat membaca ini di kolom komentar.
Okay, Salam 🌹
Di Bumi, 05 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro