Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 31 || Cukup Sampai di Sini

Dan kamu tahu apa yang lebih berat dari menunggu? Adalah menyaksikan kepergian seseorang yang diinginkan.

Bangunan cokelat muda, kembali menyapa indera pengelihatan Sena. Perempuan itu tersenyum usai menginjakkan kakinya yang kedua kali di latar pesantren Ibnu Rusyd. Suasananya masih terlihat sama. Ia hanya beberapa hari di rumah, dan tentu saja tak ada perubahan spesifik di sini selain sekarang terlihat sepi.

Semua santri sedang melakukan jama'ah magrib di masjid. Pasalnya sekarang pukul 18.30, dan Sena juga harus buru-buru untuk ke kamar melaksanakan salat dan kemudian ke rumah ndalem untuk menemui Ning Mariyah, bahwa dia sudah kembali ke pesantren.

Dia berjalan menikmati angin petang. Suasana di sini lebih terasa sejuk, pasalnya pesantren memang berada di dataran cukup tinggi hanya saja Sena masih tak mengerti kenapa asrama Ibnu Rusyd mengusung gaya Afrika. Seakan-akan dia tengah berlibur di Sudan setiap hari. Sembari berjalan, dilihatnya mading yang sudah berganti tema, Sena tersenyum. Kali ini para santri cukup aktif. Setelah itu dia juga melihat koperasi yang tutup. Ia akan buka lagi setelah isya.

Sekitar beberapa menit kemudian, Sena sampai di depan bangunan khusus asatizah. Sepatu-sepatu mereka tertata rapi di rak, satu-satunya pohon mangga yang berada di depan rumah itu sedang mengalami proses berbuah. Sena berdoa agar buahnya lebat dan mereka bisa membuat rujak setiap hari.

"Sena!" panggil seseorang.

Sena menoleh ke belakang, dia tersenyum mendapati Nada yang sepertinya baru saja kembali dari dapur.

"Mbak Nada."

Mereka lantas berpelukan melepas rindu. Bagaimanapun, Nada adalah ustazah yang paling dekat dengan Sena.

"Mbak Nada abis dari mana?" tanya Sena setelah melepas pelukannya.

"Abis dari dapur mau ambil nasi, tapi habis. Nunggu dari rice cooker juga kayaknya masih lama, lagian lauknya tinggal dikit. Ustazah Farih belum ke pasar juga padahal kemarin jadwalnya."

"Beli keluar aja yuk, Mbak. Nanti aku yang traktir."

"Iya percaya yang habis pulang." Nada tertawa. Sena juga. Andai keadaan rumah baik-baik saja, dia pasti dibawakan makanan oleh mamanya. Bahkan Sena belum pamit pada orang tuanya ketika dia memutuskan untuk kembali lagi ke ma'had.

"Ya udah salat dulu sana, nanti kita keluar," kata Nada. Sena mengangguk. Kedua perempuan itu masuk ke kamar mereka, sebelum akhirnya Sena mulai membersihkan diri setelah lamanya perjalanan dan dilanjut salat magrib hampir di akhir waktu.

🐝🐝

"Gus, sampeyan mau jaga depan?" tanya Malik pada laki-laki berkaus hitam terlapis jas biru tua yang baru saja meletakan Al-Quran di atas lemari kayu.

"Masih tanya po? Jadwalnya kan kamu juga," sahut Ihda.

"Santuy eh, Gus." Malik tertawa kecil.

Kedua anak itu lantas keluar, sedangkan para santri lain memilih untuk menetap di masjid menunggu Isya berkumandang. Setiap selesai jama'ah magrib, mereka ngaji Quran pada masing-masing asatiz, karena Ihda sudah selesai tadarus, maka dia lebih memilih untuk langsung shift bergantian dengan santri yang belum salat. Bagaimanapun pos tidak boleh kosong, dalam beberapa waktu akan selalu ada santri yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.

"Eh Mal, Masku lagi di Jakarta," kata Ihda ketika mereka sudah mulai berjalan menuju asrama depan.

"Gus Dzinun ada apa di Jakarta, Gus?"

"Mas Nabil pulang."

"Bukannya beliau lagi S2, Gus?"

"Iyo, tapi aku ra reti mergo opo Mas Nabil muleh. Koyoke ra ono kepentingan eh. Tapi yo aku pengen pulang jadinya. Mas Hamdan kasih izin nggak ya?"

"Rasah muleh toh, Gus. Ra ono kepentingan. Enak ngaji."

Ihda tertawa kecil.

Sekitar beberapa menit kemudian, mereka sampai di depan pos asrama. Dua santri yang menjaga langsung keluar, lalu diganti Ihda dan Malik yang menjaga pos sampai ada yang selesai jama'ah Isya. Malik langsung masuk ke dalam pos, sedangkan Ihda masih berdiri di ambang pintu ruang kecil berukuran sekitar 2X3 meter itu.

"Mal, aku jajan dulu ya keluar. Kamu pengen apa?"

"Aku wae sing tumbas. Panjenengan mau jajan apa?"

"Kwetiau, ya," kata Ihda.

"Sama apa?

"Apa aja. Pokoknya apa yang kamu beli, aku juga belikan."

"Okay, bos."

Malik keluar pos, sedangkan Ihda memutuskan untuk menarik kursi dan duduk di ambang pintu. Angin malam tidak terlalu masuk ke dalam ruang kecil ini, sehingga laki-laki itu memutuskan untuk duduk di sana sembari menghafal ulang bait-bait Alfiyah. Majmu' nadhom kamil yang dipegangnya tak pernah tertinggal. Baginya adalah kewajiban membawa kitab kecil itu.

Suara gesekan sandal terdengar sayup-sayup. Sembari melirihkan hafalannya, tatap tajam itu memperhatikan dua perempuan yang tampak berjalan di bawah lampu kuning yang terpasang di beberapa titik jalanan ma'had. Ihda mengernyitkan dahi. Dia memfokuskan pandangannya lagi, sebelum akhirnya dia sadar bahwa salah satu gadis itu Sena. Mereka tampak berbincang hingga tak menyadari bahwa seseorang memperhatikan dalam diam.

"Eh, Sen. Tunggu sebentar di sini. Aku mau ke kantor dulu ambil dompet Ustazah Ifa yang ketinggalan. Dia nitipin sama aku soalnya," kata salah satu dari mereka.

Ihda melihat salah satu perempuan itu pergi ke arah kantor, sedangkan Sena tampak berdiri di sana sendirian. Ihda bangkit. Tapi, dia mau apa? Laki-laki itu tersenyum kecil, setidaknya ia tahu dan benar-benar percaya bahwa perempuan itu baik-baik saja. Mencintai bukan hanya tentang akhir bersama. Kalaupun pada akhirnya Sena bukan miliknya, maka kebahagiaan bukan hanya pada dirinya saja. Di dunia ada banyak opsi yang disediakan semesta, dia tinggal memilih untuk menjadi seperti apa dalam menyikapi sesuatu yang diterimanya.

"Sena!" Akhirnya Ihda memanggil juga. Ia tak mengerti kenapa harus melakukan itu.

Gadis yang berdiri tak jauh dari pos, tampak memfokuskan pandangannya. Detik berikutnya dia tampak terkejut mengetahui sosok yang memanggilnya. "Gus Ihda." Sena melirihkan nama itu.

"Kamu baik-baik saja?" Ihda berjalan sedikit ke depan, lalu berdiri tepat di depan pos. Mungkin sekitar dua meter di depan Sena.

"Ehm, Alhamdulillah Gus. Gus Ihda sendiri bagaimana?" Sena berusaha mencairkan suasana yang beku. Dia tak ingin terlihat gugup walau keringat dingin sudah mengucur di tubuhnya.

Ihda tersenyum. "Seperti yang kamu lihat. Bagaimana kabar keluargamu?"

"Kayaknya terlalu rumit untuk diceritakan. Pada intinya banyak kesalahpahaman yang buat aku belajar bahwa mungkin kehidupan ini hanyalah permainan belaka. Aku nggak ngerti kenapa kadang Tuhan mudah banget bikin rencana yang nggak sesuai."

"Nggak sesuai kehendakmu? Kalau semua rencana yang Tuhan buat selalu sesuai kehendak hamba-Nya bagaimana cara kita berlatih bersabar atas yang tak kita miliki? Dan Sena, mungkin aku harus bilang ini sekarang." Ihda menghentikan ucapannya.

"Aku akan melupakan semuanya. Aku akan akhiri semua yang ada, sekarang." Ihda tersenyum.

Sena tak menjawab. Dia masih terdiam di tempat berusaha mencoba memahami perkataan Ihda. Apa yang laki-laki itu katakan terlalu tak masuk akal, setelah Sena mengizinkan Ihda masuk ke ruangnya, laki-laki itu kemudian dengan mudahnya keluar begitu saja.

"Kata Abi, kadang kita harus merelakan atas sesuatu yang tak akan pernah kita dapatkan. Terima kasih sudah bersedia mau mengenalku, Avicenna. Pergilah dan kamu berhak untuk menemukan kebahagiaanmu lagi. Bahagiamu sebelum kenal aku."

"Gus Ihda lagi bercanda, kan?" Sena tertawa kecil.

Ihda menggeleng.

"Sena!" Seseorang berhenti di sebelah perempuan itu beberapa detik sebelum menyadari kehadiran Ihda. Menit berikutnya, Nada buru-buru menundukkan kepalanya dan meminta maaf berkali-kali karena telah menggaggu pembicaraan mereka.

Ihda tak berkata apa-apa. Dia melangkah masuk ke pos, menatap Sena yang masih berdiri di sana memandangnya dari kejauhan, dan akhirnya Nada menarik tangan gadis itu dan membawanya keluar asrama.

"Sen, mukamu kenapa sih?" tegur Nada sembari memperhatikan wajah Sena yang murung.

"Nggak papa kok, Mbak." Dia tersenyum berusaha menutupi semuanya. Ada rasa kecewa, perih, dan kesal yang ingin Sena lampiaskan entah pada apa. Sesak itu kemudian menyapa dadanya, dia benar-benar tak menyangka bahwa kedatangannya ke sini adalah menyambut perpisahan yang sesungguhnya. Bahkan, sejujurnya Sena ingin mengucapkan banyak kata yang sempat terjeda, tetapi masa tak memberi pilihan walau sekejap saja.

Sejujurnya ia ingin menceritakan segala yang dilalui ketika di rumah pada Ihda, tetapi semesta seakan melarangnya. Namun, bukannya dia harus sadar bahwa dia memang bukan siapa-siapa dan di luar sana ada jutaan perempuan yang lebih pantas dengan Ihda. Nasabnya, akhlaknya, kecerdasannya, dan menyadari dia berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, membuatnya harus mengerti bahwa mungkin ini adalah permainan hati.

Allah lebih tahu siapa yang seharusnya mengisi kekosongan kala ia benar-benar tak memahami segala hal yang terjadi. Dengan menyebut nama-Nya yang tak pernah ingkar janji, yakinlah bahwa kebahagiaan akan selalu menyertai pada waktu yang tepat nanti.


Apdet!

Yampun ini besok jadi ending nggak, ya? Kek masih banyak yang perlu dibahas wkwk~ ikuti terus ya teman-teman, semoga jangan bosan. Kalau bosan, tinggal cari bacaan lain xixi~

Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik dan jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komentarnya :"))

Kalau nggak keberatan bisa follow akun IG nih
@/ hallo_milkyway ❤️🌼

Salam

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro