Bab 30 || Dengarkan dan Tulislah!
Dan ketika Tuhanmu telah berkehendak, maka Dia akan mendekatkan yang jauh dan mempertemukan yang pernah saling kehilangan.
Di kursi depan kantor, Sena duduk di sana sembari menunggu Dzinun. Ia membawa tas miliknya. Rencananya setelah urusan dengan Dzinun selesai, ia akan langsung pulang. Elang pasti menunggunya. Andai dia membawa ponsel pasti panggilan dari Elang sudah masuk memenuhi layar, tetapi Sena sengaja tak membawa benda pipih itu mengantisipasi 'sibuk dengan gadget' ketika sedang berbincang dengan teman.
"Ini." Tiba-tiba seseorang menyodorkan kitab Riyadhussolihin ke arahnya.
Sena terkejut ketika melihat Dzinun yang sudah berdiri di depan. Pelan-pelan Sena mengambil kitab bersampul cokelat itu tanpa mengerti apa yang harus ia lakukan.
"Buka halaman yang kamu mau," pinta Dzinun.
Sena semakin tak paham, tetapi ia tetap membuka dengan asal tanpa bertanya. Baginya selama perintah itu tidak melanggar larangan, maka wajib bagi Sena untuk mematuhi. Tak lama dari itu Dzinun yang tak membawa apa-apa duduk di depannya.
"Halaman berapa?" tanya Dzinun
"Seratus tujuh belas, Gus. Wa 'an abi ali ..." Sena menunjukkan satu hadis dengan asal.
"Avicenna, dengar dan tulislah."
Sena mengangguk cepat.
"Idza da'a rajul (nalikane ngajak sopo rajul) zaujatihi (ing istrine rajul) lihajatihi (karena hajate rajul) ...." Dzinun mendikte salah satu hadist yang dipilih Sena sembari memperhatikan pena yang menari di atas kitab menuliskan makna.
Sembari terus menulis lughot, Sena terus memuji Dzinun dalam hati, apakah laki-laki itu hafal kitab Riyadhussolihin? Pasalnya Sena tahu bahwa sejak awal Dzinun hanya membawa satu kitab dan itu diberikan pada Sena.
"Sudah?" Dzinun mengulurkan tangannya meminta kitab yang Sena pakai tadi untuk dikembalikan.
Sena tersenyum dalam ragu, pelan-pelan ia mengembalikan kitab itu beserta penanya. Setelah kitab itu beralih tangan, Dzinun memandang tulisan Sena. Perempuan di depannya masih tak mengerti dengan kehendak Dzinun hari ini.
"Ibnu Abi Jamroh." Dzinun berkata lirih dengan pandangan yang masih terfokus pada kitab. Kali ini detak jantung Sena mulai berdebar tak karuan, demi apa pun ia baru sadar bahwa ternyata sejak tadi Dzinun sedang memastikan.
Pipi Sena memerah menahan malu luar biasa, bagaimana mungkin hari ini Dzinun mengetahui fakta dibalik siapa yang menulis kata tentangnya. Tentang doa yang dipanjatkan untuknya. Ya Allah, hamba mohon, tenangkan. Tenangkan aku.
"Punyamu?" tanya Dzinun.
Sena tak langsung menjawab. Dia menelan saliva susah payah, tak berani menatap Dzinun sedikit pun. Jantungnya sudah berdebar tak karuan, dia benar-benar tak tahu harus melakukan apa dan memberikan jawaban seperti apa.
"Terima kasih." Dzinun berkata lagi.
Sena mengangkat kepalanya perlahan. "Gus Dzinun--"
Laki-laki itu tersenyum. Untuk pertama kalinya Sena melihat Dzinun tersenyum padanya, senyum yang tak pernah Sena bayangkan sebelumnya. Kini debaran jantungnya benar-benar tak bisa diajak kerjasama. Dzinun benar-benar berhasil menghancurkan fokusnya.
"Aku mencarimu," lanjut Dzinun.
Sena semakin tak mengerti.
"Dan aku menemukannya." Perkatan-perkataan Dzinun benar-benar membuat Sena seakan diterbangkan harapan. Tidak. Sena masih tak mengerti maksud ucapan Dzinun semuanya. Laki-laki itu tak berkata dengan utuh dan Sena yakin bahwa di balik ucapannya ada tafsir yang tak Sena pahami.
"Gus Dzinun, saya minta maaf. Mungkin tidak seharusnya saya menuliskan tentang panjenengan di kertas saya, bahkan saya tak pantas melakukannya. Saya benar-benar minta maaf atas tindakan saya yang lancang, tindakan saya yang tidak beradab dan atas kesalahan-kesalahan yang saya lakukan, saya benar-benar meminta maaf sebesar-besarnya." Sena menunduk. Dia menahan air matanya untuk tak jatuh. Mungkin dia benar-benar melakukan kesalahan dengan jatuh cinta pada orang yang terlalu sempurna untuk dimiliki.
"Salah?"
Sena mengangguk cepat. Dia meremas ujung jilbabnya kuat-kuat. "Saya minta maaf, Gus. Saya nggak seharusnya menuliskan hal lancang itu."
"Saya senang kamu menuliskannya untuk saya."
Sena terkejut. Dia mengusap air matanya, lalu memberanikan diri mengangkat kepala dan menatap Dzinun yang jujur saja, sejak awal tak pernah menatapnya. Dzinun memang menghadap ke arah Sena, tetapi pandangan tajamnya tak pernah benar-benar ditunjukkan pada Sena. Seperti ayahnya, Dzinun selalu menjaga pandangan dari perempuan yang bukan mahramnya.
"Ma--maksud Gus Dzinun?"
"Senang."
"Saya minta maaf."
"Avicenna, bagaimana caranya mencintai seseorang karena Allah?"
"Eh--" Sena terkejut.
"Saya belum pernah menyukai perempuan selain seseorang yang pernah saya balas curhatan pada kertasnya."
Kedua mata Sena terbelalak, debar jantungnya semakin tak karuan. Ah Allah, rasanya aku ingin menghilang saja dari hadapan hamba-Mu yang luar biasa.
"Maksud Gus Dzinun?" Sena bertanya lirih.
"Belum waktunya." Dzinun menjawab cepat. "Dan saya nggak paham. Ini ... terlalu rumit. Saya nggak bisa mengerti."
Dari awal hingga sekarang, perkataan-perkataan Dzinun mengandung ambiguitas dan berkali-kali Sena harus benar-benar memahami. Apa maksud Dzinun? Terkadang Allah menciptakan rencana-rencana luar biasa, tetapi Sena tak dapat memahami yang ada. Ketika dia berjuang, Dzinun seakan merapatkan hijab darinya, tetapi ketika Sena berserah dan menghapus harap, hijab itu dibukanya. Hari ini ia dikejutkan dengan skenario yang sebelumnya tak pernah dipikirkan.
"Pulang?" Dzinun bertanya.
"Nggeh, Gus. Kulo izin pamit bade wangsul." Sena berkata cepat.
"Ya."
Sena berdiri. Dia tersenyum ke arah Dzinun, kemudian dengan tetap berusaha sopan berbalik untuk segara memakai sandal yang berada di bawah teras kantor.
"Avicenna!" panggil Dzinun.
Sena yang baru saja memakai sandal menoleh. "Nggeh, Gus?"
"Hati-hati," katanya.
Hati-hati? Sena mematung di tempat berusaha mencerna ucapan Dzinun atau bisa dikatakan dia berusaha memastikan kembali indera pendengarannya bahwa dia tak salah mendengar ucapan yang Dzinun katakan tadi. Seorang Dzinun mengapa bisa mengatakan hal se-perhatian itu pada Sena. Bahkan Sena benar-benar dibuat tak mengerti dengan semesta.
Dzinun berdeham.
Sena buru-buru membenarkan sandalnya. Dia kembali tersenyum sebelum akhirnya keluar asrama dan mulai berjalan di bahu jalan.
🐝🐝
"Lo abis dari mana?" Seorang laki-laki yang tengah duduk di sofa ruang tamu, melempar bekas minuman kaleng ke arah pintu masuk setelah adiknya duduk di sofa depannya. Elang tak mengenakan atasan sama sekali, dia hanya memakai boxer hitam dan terlihat berantakan.
"Besok aku berangkat," kata Sena.
"Enggak mau jenguk papa dan mama dulu?"
"Bagaimana cara membebaskan mereka?"
Elang terdiam. Dia menatap Sena tajam, lalu bangkit dan berjalan masuk meninggalkan Sena di ruang tamu. Setiap Sena bertanya bagaimana membebaskan orang tuanya, Elang selalu menghindar. Dia kehilangan tapi enggan dipertemukan, dia hilang arah tapi tak ingin diberi opsi untuk berubah, dia benar-benar hancur. Jika Alabama bisa menjadi penyembuhnya, atau mungkin Alabama akan menjadi tempat barunya yang akan mengubah kehidupannya, maka Sena akan melepasnya. Ia tak peduli lagi dengan dirinya yang nanti tak memiliki siapa-siapa, yang tak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya ingin Elang berubah menjadi seperti sebelumnya.
Gadis itu mengembuskan napas lelah, melepas tas kecilnya lalu, lalu menunduk memikirkan banyak hal. Ya Allah ini terlalu rumit, ini terlalu berat. Aku tahu bahwa ini adalah jalan-Mu maka aku harus menerima ini, aku tahu bahwa ini adalah kehendak-Mu, maka aku harus bersiap untuknya. Namun ya Allah di antara banyaknya opsi mengapa aku harus mendapat pilihan yang seperti ini. Bagaimana cara melaluinya? Bagaimana pula untuk bersabar atasnya?
"Non Sena," lirih seseorang.
Sena mendongak, dia melihat wanita tua yang kemudian duduk di sebelahnya. Dia bi Ida. "Sebaiknya Non Sena jangan pernah tanya itu lagi sama tuan muda."
"Emangnya kenapa, Bi?"
"Bibi tahu karakter Mas Elang. Bagaimana pun sejak kecil bibi sering mengasuh dia. Bibi tahu kalau di hati kecilnya dia juga ingin membebaskan ibu dan bapak, tapi di sisi lain dia nggak bisa melakukannya. Bagaimanapun itu adalah hukuman yang harus mereka terima. Mungkin beda ceritanya kalau dari awal Mas Elang nggak pernah ikut campur mencari bukti."
"Tapi bukannya papa sendiri yang mengakui kesalahannya?"
"Betul, Non. Waktu itu Mas Elang sering bertemu temannya dari anggota kepolisian untuk membantu menemukan bukti dan fakta. Dia jarang tidur dan sibuk di depan komputer mencari apa yang bisa diusahakan. Tapi kamu tahu bahwa kejadian itu sudah sangat lama berlalu, selain potret dan surat pernyataan yang kamu dapat, nggak ada lagi jalan keluar.
"Bapak dan Ibu sering menyuruh Mas Elang untuk istirahat, tapi dia sering menolak. Dan ketika penyelidikan itu sudah cukup lama berjalan, tiba-tiba ibu dan bapak menyerahkan dirinya pada pihak kepolisian dan mengakui kesalahannya. Begitupun pelakunya yang dibayar oleh bapak dan ibu."
"Ustaz Musa dan Bu Titik?"
Ibu Ida mengangguk. Bahkan Sena tidak tahu bagaimana suasana di pesantren sekarang. Tentang topik apa yang sedang mereka perbincangkan, apakah Gus Hamdan tahu kejadian ini, Sena masih tak paham.
"Dari awal Bibi nggak percaya tentang ini semua. Bibi sudah bekerja dengan Tuan dan Nyonya sejak mereka baru menikah dan bibi tahu bagaimana kebaikan mereka. Bibi yakin bahwa mereka hanya terjebak. Kejadian itu adalah jebakan, Non."
"Jebakan bagaimana, Bi?" Sena terlihat semakin serius. Mungkin benar, pasalnya Sena sendiri tak percaya bagaimana mungkin orang tuanya tega melakukan perbuatan keji itu.
"Ayo keluar." Tiba-tiba Elang muncul dari balik pintu pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. Dia sudah rapi mengenakan kaos putih terlapis kemeja cokelat kotak-kotak yang sengaja tak dikancing, juga dilengkapi jeans hitam.
"Mau ke mana? Aku mau dengerin cerita bibi," kata Sena.
"Bibi cerita apa?" Elang bertanya pada wanita itu, lembut.
"Eh bibi--"
"Kenapa Bang Elang menyembunyikan semuanya? Kenapa Abang nggak pernah jujur sama aku? Kenapa abang nggak menceritakan dengan detail kejadian ini, seolah-olah aku benar-benar hanya mengikuti arus saja dan buta di kegelapan. Abang kenapa sih?"
"Apa yang mau gue ceritain? Mama dan papa lebih berhak mengungkap kebenarannya di depan lo secara langsung. Sejak awal gue nggak pernah percaya bahwa mama dan papa melakukan pembunuhan atas orang tua lo, dari awal semua ini masih terasa ganjil, ini cuma drama yang dibuat oleh pelaku sebenarnya. Gue benar-benar muak bahas permasalahan ini yang nggak pernah sampai pada ujungnya, tahu? Gue udah putus asa, Sen.
"Cepat keluar dan jangan pernah denger apa-apa lagi. Fokus sama kehidupan lo sekarang, kalau udah waktunya tiba lo bakal tahu semuanya."
Sena tak merespons. Di satu sisi perkataan Elang memang benar bahwa mungkin Sena harus tahan untuk mengetahui semua ini, semua yang didengarnya masih menjadi "katanya" dan benar-benar abstrak. Sena hanya ingin mengetahui cerita utuh ini dari orang tuanya. Tapi di sisi lain, ia juga ingin tahu sekarang juga. Bukannya bila orang tuanya terbukti tak bersalah, mereka tak perlu melakukan pengorbanan yang akhirnya menjebloskan mereka pada lubang kegelapan?
Semua ini, masih tak bisa dinalar. Kejadian ini benar-benar rumit.
Apdet!
Wkwk dah malem ya. Tapi nggak papa, lebih baik telat kemaleman daripada tidak apdet sama sekali haha~
Bila ada kesalahan, tolong sampaikan saja ya. Tapi baik-baik, ya. Kalau nggak keberatan, sila tinggalkan vote dan komennya. Bentar lagi tamat loh!!
Salam
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro