Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 29 || Tulisan

Dari panjangnya perjalanan melelahkan, mungkin semesta telah menyiapkan rencana pada waktu yang telah ditetapkan.


Sena memperhatikan sayup angin yang menggerakkan dedaunan. Pohon-pohon mangga, palem, jambu, tampak tumbuh di depan teras gedung-gedung. Sedangkan bila melihat ke arah agak tenggara dari dapur, terlihat gazebo yang biasanya dijadikan tempat belajar para kang santri ketika malam. Namun, tak jarang bagian keamanan tiba-tiba mendatangi mereka, pasalnya ada saja yang melanggar peraturan. Merokok misalnya, atau main kartu.

Pandangannya teralihkan pada kitab Ta'lim Muta'alim milik Dinda, dia baru sadar ternyata selain membawa kitab, Dinda juga membawa buku bersampul hitam putih "Dialog Problematika Umat" yang ditulis oleh KH Sahal Mahfuz. Sena pernah membacanya karena buku ini salah satu buku bacaan wajib dimulai dari Wustha satu. Dilihatnya kertas kosong yang terselip, lalu diambil oleh Sena. Gadis itu paling tidak bisa melihat kertas kosong begitu saja. Dia menulis potongan-potongan nazhom Alfiyah yang masih sangat diingatnya. Hal itu lumayan untuk mengusir kebosanan sembari menunggu Dinda yang tengah mengambil nasi.

"Avicenna?" Seseorang entah sejak kapan berdiri dua meter di depan meja Sena.

Gadis itu mengangkat kepala. "Kang Zaki." Sena langsung berdiri setelah buru-buru menyelipkan kembali kertas dan menaruh pulpen di atas buku yang kemudian ditutup.

"Bukannya masih enam bulan lagi? Nggak betah atau ....?" Kang Zaki tak melanjutkan ucapannya.

Sena buru-buru menggeleng, "Ah nggak, Kang. Saya cuma pulang bentar karena ada urusan keluarga. Besok atau lusa juga kembali ke pondok." Dia tersenyum ramah.

Sena cukup kenal dekat dengan pria itu, pasalnya dia adalah guru muda di pesantrennya. Terkenal dengan stereotip galak dan tak mengenal toleransi, tetapi bagi Sena yang jarang sekali melanggar peraturan atau tidur ketika mengaji, Kang Zaki merupakan pengasuh yang baik hati. Beliau adalah orang yang asik diajak berdiskusi. Kang Zaki bisa dikatakan sebagai kakak yang mengayomi.

"Oh begitu. Lancar, kan, ya?"

"Alhamdulillah, Kang. Ah ya, ngomong-ngomong buku keempat Kang Zaki udah terbit, ya?" tanya Sena.

"Belum, Sen. Masih proses editing. Doakan saja secepatnya."

"Nambah keren aja. Ajari saya, Kang, biar bisa nulis kayak Kang Zaki. Kayaknya seru. Suatu kebanggaan banget ya bisa lihat nama kita di sampul buku yang terjajar di toko buku."

"Itu kebahagiaan nomor sekian. Yang pertama, apakah tulisan kita bermanfaat untuk diri kita dan orang lain?" Kang Zaki tersenyum.

"Ah iya sih. Itu yang sering lupa." Sena tertawa kaku.

"Sen," panggil Dinda dari dalam. Suara derap langkah terdengar, kemudian muncul perempuan 18 tahun di ambang pintu.

"Dinda, kamu nggak ke kantor?" tanya Kang Zaki.

Dinda terlihat terkejut. Dia tersenyum kikuk. "Abis zuhur, Kang. Ada Sena. Masa nggak ditemenin."

"Alibi pasti."

"Iya kan sehari doang." Dinda langsung menarik tangan Sena meninggalkan Kang Zaki yang kemudian masuk ke dapur.

Kedua perempuan itu berjalan ke arah gazebo dan Dinda mulai menaruh piring berisi nasi dan dua ayam goreng di sana. Sena duduk di depan Dinda. Sekarang mereka berhadapan bersiap makan. "Eh, bukuku di mana, Sen?" tanya Dinda.

"Ya Allah ketinggalan di meja." Sena hendak bangkit.

"Eh nggak usah diambil, makan dulu. Santai lah lagian nggak ada yang mau curi." Dinda tertawa kecil. Menit berikutnya mereka mulai menikmati makanannya sembari ditemani suara anak-anak Diniyah yang ramai. Kebetulan di gedung dekat mereka adalah santri Ula, di mana biasanya mereka masih sangat semangat dalam menggaungkan bait-bait Aqidatul Awam.

"Eh Sen, katamu enak di sini atau di Ibnu Rusyd?" tanya Dinda setelah menelan makanannya.

Sena yang sedang mengunyah berpikir sebentar. "Eh enak semua sih. Tapi bagaimanapun di Ibnu Rusyd itu khusus putra. Jadi, aku nggak bisa membandingkan."

"Mantep, Sen." Dinda berdesis. Pandangannya tertuju ke arah dapur. Sena mengernyit sekilas, lalu menoleh ke belakang. Refleks, makanan yang tadi dikunyahnya langsung tertelan saat menyaksikan Gus Nabil dan Gus Dzinun yang baru saja berdiri di dekat meja dengan Kang Zaki.

Sena menatap Dzinun dari kejauhan, laki-laki itu tampak memutuskan duduk di kursi panjang. Dia mengambil buku milik Dinda yang tertinggal, lalu membuka-buka lembarannya. Gus Nabil tampak masuk ke arah dapur, dan di sana hanya tersisa Kang Zaki yang masih berdiri dan Dzinun yang sudah menyelami isi buku itu.

Sesaat Dzinun tampak menepuk kursi kosong di sebelahnya, barangkali meminta Zaki untuk duduk di sebelah. Bagaimanapun Zaki mungkin merasa sungkan dan Sena tahu itu. Tak lama kemudian, Gus Nabil datang membawa dua cangkir kopi dan memberikan satunya pada Dzinun sebelum akhirnya beliau duduk di kursi depan sepupunya.

"Sen, Gus Dzinun itu irit bicara banget, ya," komentar Dinda.

"Em, banget. Dingin."

"Kamu sadar nggak sih, mukanya Gus Dzinun dan Gus Nabil sekilas mirip."

"Iya. Aku juga sependapat."

Sena masih memperhatikan Dzinun dari jauh. Memandangmu saja sebenarnya tak pantas. Kita tidak pernah saling sapa ketika massa mempertemukan di tempat sama. Kita saling terdiam membisu ketika semesta memberi kesempatan untuk mengungkap sesuatu. Aku bukan siapa-siapa yang memberanikan diri mengatakan hal pribadi. Mungkin, biarkan semua ini berlalu hingga aku tahu bahwa yang tersisa hanya hal-hal pilu.

Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka menuntaskan makannya. Dinda memakai sandal. "Aku nggak berani ambil buku. Kita pura-pura lupa aja ya biar bisa langsung ke asrama. Paling nanti bukuku dibawain Kang Zaki." Dinda berbisik.

Sena mengangguk cepat, mengiyakan. Pasalnya dia juga tidak berani bila memang harus mengambil buku berhadapan dengan dua gusnya. Kini terlihat Gus Dzinun dan Gus Nabil yang sedang menyesap kretek sembari sesekali berbincang dengan Kang Zaki. Mungkin saja, karena mereka tampak tersenyum dan sesekali tertawa.

Sena memegang tangan Dinda erat ketika mereka berusaha tenang melangkah pasti hendak menuju asrama. Namun, langkah mereka harus terhenti ketika panggilan Kang Zaki memecah tenang pagi menjelang siang saat ini. "Dinda, bukumu!"

Dinda tertawa kecil. Dia menarik tangan Sena. "Temenin, Sen. Sumpah aku gugup banget."

"Din, kan kamu yang dipanggil, please aku mohon aku tunggu di sini. Rasanya panas dingin kalau aku ke sana." Sena berbisik.

"Sen, lo yang pemberani aja begini. Gimana aku. Ayo Sen, bentar. Ada Kang Zaki kok." Dinda menarik tangan Sena, hingga akhirnya mau tak mau Sena menurut juga mengikuti langkah Dinda dengan sangat hati-hati.

"Buku kok ditinggal." Kang Zaki menyodorkan buku itu pada Dinda. Sekilas Sena melihat ke arah Dzinun yang sibuk dengan kitabnya.

"Maaf, Kang." Dinda terkekeh pelan.

"Abi nggak bilang." Dzinun sedang berbincang dengan sepupunya.

Gus Nabil tertawa kecil. "Iya. Si Ihda protes. Padahal itu bukan kewajiban."

"Besok ke Jogja?"

Gus Nabil mengangguk. "Mau ikut? Pulang dulu sebentar ke rumahmu. Ujianmu kan masih lama."

"Tahu jadwalku?"

"Cuma nebak."

Dzinun mematikan rokoknya yang sudah memendek, lantas membuangnya ke tempat sampah yang tak jauh dari tempat itu. Kemudian tatap tajam yang sejak tadi hanya berfokus pada Gus Nabil, kali ini berpaling ke arah Dinda. "Kertas ini punyamu?" Dzinun mengangkat lipatan kertas yang entah didapat dari mana.

Dinda tampak mencari lembaran yang tersimpan di dalam buku, tetapi ia tidak melihatnya. Mungkin kertas yang dipegang Dzinun saat ini milik Dinda.

"Tulisanmu?" Dzinun membuka lipatan kertas itu dan melihatkannya pada Dinda.

Sena terperanjat, Dinda menoleh ke arah perempuan itu. "Itu kan tulisanmu, Sen," bisik Dinda.

"Ehm, itu ... itu tulisan saya, Gus." Sena berkata gugup.

"Setelah zuhur temui saya di kantor."

"Ba--baik Gus."

"Nama kalian siapa?" tanya Gus Nabil.

"Nama saya Dinda, Gus. Ini teman saya, Sena."

"Sena? Saya nggak lihat namamu di daftar santri yang ngabdi di sini."

"Saya ngabdi di Ibnu Rusyd, Gus." Sena menjawab, kemudian tersenyum berusaha mentralisasi rasa gugupnya.

"Ah, jadi kamu yang mengabdi di Ibnu Rusyd, Avicenna Szandra Sarvenaz."

"Nggeh, Gus."

"Okay."

"Gus, Kang, kita pamit ke asrama dulu." Dinda mengucap sopan.

"Ah ya, jangan pernah tinggalkan buku lagi," pesan Kang Zaki.

"Dan jangan lupa, nanti kumpul," kata Gus Nabil mengingatkan.

"Nggeh, Gus," sahut Dinda.

Gus Nabil tampak tersenyum ke arah mereka, sebelum akhirnya mereka segera pergi meninggalkan dapur. Sepertinya Dinda memang salah waktu, ia lupa bahwa Kang Zaki tak pernah mendapat kelas mengajar pagi. Selalu siang, setelah zuhur.

Namun dalam perjalanan menuju ke asrama, Sena gusar dengan perintah Gus Dzinun yang memintanya untuk menemui di kantor setelah zuhur nanti. Rencananya Sena akan pulang pukul 12.30 selepas salat zuhur, tetapi ia gugurkan niatnya. Setidaknya ia menemui Gus Dzinun dulu. Demi apa pun dia penasaran mengapa tiba-tiba beliau memintanya untuk ke sana.





Update!!

Whoaa, ngapain Gus Dzinun manggil Sena? Wkwk yauda tunggu besok haha~

Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik 🌹 jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komentarnya, kalau nggak mau juga gapapa xixi~

Kalau ada waktu, sila follow IG: @/ hallo_milkyway

Salam!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro