Bab 27 || Abu Dalam Gelap
Namun kenyataannya kita pernah terlalu fokus pada harapan dan lupa pada pencipta keberhasilan.
Namun, keadaan kerapkali tak selalu sesuai dengan yang diinginkan. Realita bisa jadi tak sesuai yang diharapkan. Segala yang terjadi adalah kehendak-Nya yang pasti. Namun, rasanya segala pernyataan apa pun, segala kalimat menenangkan yang didengarnya saat ini, segala motivasi yang diingat memorinya gagal membangkitkan jiwa. Segala-galanya terdengar seperti sampah yang hanya memuakkan.
Bekas tisu berserakan di depannya yang sedang duduk menenggelamkan wajah di lutut sembari bersandar di sebelah ranjang tidur. Hingga malam telah larut, air matanya belum juga surut. Ia benar-benar kecewa pada yang terjadi padanya dan keluarga tentu saja.
"Aaargh!" Gadis itu menjerit, lalu melempar gelas ke arah pintu hingga terpecah belah memecah keheningan malam.
Suara tangisnya semakin terdengar nyaring, ia benar-benar kecewa dengan segalanya. Dengan semuanya.
"Kenapa harus mereka? Kenapa?" lirihnya. "Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku sangat menyayangi mama dan papa, bahkan lebih dari diriku sendiri. Tapi kenapa Engkau jadikan mereka seperti ini? Mengapa harus mereka? Mengapa harus mereka yang membunuh orang tuaku?
"Bukannya Engkau menciptakan banyak manusia, lalu mengapa Engkau berkehendak menjadikan mama dan papa sebagai seorang pembunuh? Mengapa bukan orang lain saja, setidaknya aku membenci orang yang tepat, bukan seperti ini. Mengapa, Allah?
"Mengapa?" Gadis itu berteriak frustrasi. Dia mengacak-acak rambutnya dan berteriak tak peduli apa-apa. Seakan dia telah sampai batas kesabarannya.
"Lo kenapa sih?" Tiba-tiba Elang berdiri di ambang pintu. Sena memang tak pernah mengunci kamarnya.
Laki-laki itu menyalakan lampu, lalu kakinya yang terbalut sandal melangkah hati-hati ke dalam melihat kaca yang berserakan di mana-mana. Keadaan Sena benar-benar hancur. Matanya terlihat merah, rambutnya tak lagi tertata dengan rapi, tatapannya sayu, kalau boleh mengatakan gadis itu seakan tengah depresi dengan keadaan yang menimpanya.
"Itu masa lalu. Yang jelas Mama dan Papa sudah berubah. Tapi gue tahu mungkin lo nggak akan pernah bisa memaafkan mereka. Bukan cuma lo, gue juga kecewa. Tapi setiap manusia memiliki masa lalunya masing-masing."
Elang duduk di ranjang, lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur milik Sena. Dia memperhatikan adiknya yang duduk di bawah sebelah ranjang, tersenyum kecil. "Emang mau gimana lagi kalau udah kayak gini? Kalau gue boleh minta, gue cuma pengen papa sama mama bebas, kita mulai segalanya dari awal. Tapi gue juga nggak bisa memaksa. Gue ngerti gimana kalau gue berada di posisi lo.
"Tapi berada di posisi gue juga berat. Gue cari bukti-bukti, di mana sebenernya gue sendiri yang menjebloskan mereka ke penjara. Andai sejak awal gue tahu pelakunya, mungkin gue nggak akan pernah ikut campur urusan lo. Gue akan tutupi kesalahan mereka. Tapi gue bodoh, gue cari bukti-bukti kesalahan orang tua gue sendiri. Tapi ya bagaimana pun kejadian ini menyadarkan gue bahwa gue masih waras. Seenggaknya gue masih memegang prinsip bahwa yang salah memang harus disalahkan." Elang tersenyum pahit. Sena mendengarnya takzim. Walau dia tak melihat wajah Elang, ia tahu bahwa perkataan Elang selalu menenangkannya.
"Sen, hidup ini kadang nggak adil untuk beberapa orang. Mereka yang miskin, mereka yang tertindas, mereka yang kesulitan, hanya diberi motivasi untuk bersabar, katanya. Itu adalah bagian dari ujian. Tapi, sampai kapan Sen? Ada yang bertahan, tapi tak sedikit yang gugur.
"Realita semacam itu mengantar kita pada kenyataan bahwa kehidupan hanya didesain bagi mereka yang kuat. Bagi mereka yang lemah akan kalah dan tertindas. Dan gue yakin lo bagian dari ciptaan Tuhan yang kuat itu. Berpikir jernih ya adikku." Elang mengusap pelan kepala Sena. Rambutnya benar-benar berantakan.
"Gue cuma takut kalau lo gila rumah ini bakal sepi karena mau nggak mau, lo harus dikirim ke RSJ, kan?" Elang tertawa.
Sena tak bergeming. Dia masih tetap pada posisi semula. Memikirkan kembali perkataan Elang dan mungkin benar bahwa saat ini dia berada pada posisi mau bagaimana lagi? Sesungguhnya apa yang dituju dari dunia ini, apa yang dikejar dari kefanaan ini, apa yang harus dipertahankan dari tipu muslihat dunia ini. Semua yang terjadi hanya sementara.
"Tapi, Bang, kadang-kadang aku ingin seperti dulu. Kita berkumpul lagi, ngobrol di ruang keluarga atau berbicara sebentar di ruang makan. Aku kangen." Sena mengambil kembali tisu, lalu mengusap air mata yang enggan berhenti.
"Secepatnya kita bisa mengulang semuanya." Elang tersenyum.
"Kapan ke pondok lagi?" tanya Elang mengubah topik pembicaraan.
Sena menggeleng. "Kalau boleh, aku nggak kembali ke sana lagi. Aku ingin ke suatu tempat menyembuhkan patah, Bang."
"Lo nggak bisa lari dari semua ini, Sen. Kembalilah ke pondok. Melanjutkan ngabdi di sana, kemudian setelah syahadah didapatkan, mungkin lo bakal lihat banyak perubahan. Hidup ini tetap berjalan, Sen. Waktu itu kejam. Mau kecewa atau bahagia, waktu tak akan berhenti. Sena, sekali lagi berjuanglah. Hidupmu masih panjang." Elang bangkit. Dia duduk sebentar menatap adiknya, lalu menit berikutnya keluar kamar tanpa menutup pintu kamar milik Sena.
Semula gadis itu menatap tubuh Elang yang kemudian hilang di perbelokan. Sesungguhnya di sini bukan Hanya Sena yang merasakan kesal, kecewa dan benci dengan keadaan. Elang juga. Namun, Sena terlalu egois dengan hanya memikirkan diri sendiri. Ia lupa bahwa Elang juga mengalami hal sama. Semesta terlalu tega menciptakan bagian episode yang berat dilalui. Namun, katanya ini ujian dan Sena harus mampu menjalani. Ujian ... ujian.
Tak lama kemudian, Elang kembali muncul sembari meletakan serok dan sapu yang kemudian ditaruhnya di dekat pintu. "Sapu belingnya nanti turun. Gue mau bikin nasi goreng. Kalau abis nangis tuh laper, kan?" Laki-laki itu tersenyum lebar.
Sena tak menjawab. Dia hanya bersyukur bahwa setidaknya masih ada satu orang yang mengerti tentangnya, yang menemaninya, yang tak meninggalkan kala ia berada pada posisi yang sempit. Maka sesungguhnya benar bahwa Tuhan tak akan pernah memberi ujian melebihi batas kemampuan hamba-Nya.
Setelah laki-laki itu kembali pergi, Sena bangkit. Dia mengusap air matanya untuk terakhir kali lalu berjalan meraih serok dan sapu menyapu kaca-kaca, tisu yang berserakan dan membawanya ke bawah kemudian. Dia membuangnya di tempat sampah yang berada di luar. Sekelebat bayangan orang tuanya lewat begitu saja saat kedua mata cokelat madu itu menatap pelataran rumah yang cukup lebar.
Semilir angin malam mengibarkan rambutnya yang kusut. Malam-malam seperti ini biasanya ia sudah tertidur lelap, tetapi mungkin Elang sudah kehabisan waktu istirahatnya semenjak kepergian mama dan papa ke penjara.
"Avicenna Szandra Sarvenaz!" panggil seseorang dari dalam.
Sena menghela napas, lalu kembali masuk dan menutup kembali pintu masuk. Dia berjalan ke arah kakaknya yang berada di dapur, lalu duduk di kursi meja makan sembari memperhatikan Elang yang sedang memotong bawang merah.
"Abang bisa kasih bumbunya?" tanya Sena.
"Cih, lo nggak tahu ya gue pinter masak."
"Paling keasinan," balas Sena.
"Sen, daripada lo diem mending goreng kerupuk. Konon katanya jiwa-jiwa yang lagi kecewa bisa mereda kalau melakukan aktivitas goreng kerupuk."
"Bilang aja kalau mau dibantu nggak usah konon katanya, konon katanya." Sena mendengkus. Elang tertawa.
Perempuan itu bangkit berjalan menuju lemari lalu mengambil kerupuk mentah yang berada di toples. Dia tersenyum kecut. Kerupuk itu kerupuk kesukaan mamanya. Sang Mama tak pernah ketinggalan kerupuk ketika makan. Kata Mama, kerupuk adalah pelengkap. Semuanya. Selama Sena masih di rumah ini segala sesuatu yang berada di dalamnya mengingatkan pada sang mama dan papa. Pada orang tuanya.
"Bagaimana biar mama dan papa bebas?" tanya Sena tiba-tiba.
Elang menghentikan kegiatannya. Dia menoleh, menatap Sena yang masih terdiam di depan lemari dapur. "Sen...."
"Mereka sebenernya orang baik, kan? Apa mungkin mama dan papa hanya dijebak? Bagaimana bila mereka nggak bersalah. Alu ingin mereka bebas dan melupakan fakta bahwa mereka pembunuh, Bang. Aku bisa melakukannya." Sena menduga.
"Obrolanmu bisa dilanjutkan besok. Goreng kerupuknya. Istirahatin otak lo."
Sena mengangguk pelan. Dia menutup lemari, lalu mengambil sedikit kerupuk dan memindahkannya di piring sebelum akhirnya ia mendekat ke arah kompor dan menyalakan api setelah wajan dan minyak telah siap.
Di sebelahnya, Elang juga memulai pekerjannya. Dia mulai memasang wajan dan menuang sedikit minyak, sebelum akhirnya ia mulai sibuk membuat nasi goreng andalannya.
"Makannya di luar ya, Bang. Aku pengen duduk di gazebo."
"Lo tahu nggak sekarang jam berapa?" tanya Elang.
"Jam satu. Biarlah."
"Dasar bocah." Elang mendesis.
🐝🐝
Udara dingin malam ini mendamaikan perasaan kedua bersaudara itu dalam nestapa yang harus diterima. Nasi goreng sepiring berdua seakan terasa hambar, tetapi mereka tetap menikmati apa yang ada. Tentang kehendak-kehendak-Nya. Tentang segala-galanya, dan tentang apa pun yang memang menimpa-Nya. Sesungguhnya dalam ayat-Nya telah dijanjikan, sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, di balik kesulitan ada kemudahan.
Apdet lagi, biar cepet selesai xixi~
Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komentarnya, ya. Kalau nggak keberatan sila follow dulu dong.
Follow IG juga gaeeees @/ hallo_milkyway ❤️❣️
Salam!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro