Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 25 || Pada Gelapnya Jakarta

Dan pada akhirnya bukan Tuhan yang meninggalkan, kitalah yang kerapkali melupakan.

Malam-malam sekali sekitar pukul 02.00 seorang perempuan keluar dari mobil putih yang berhenti tepat di depan sebuah rumah pagar hitam. Setelah mobil pemilik plat B itu kembali pergi, gadis itu berdiri menatap rumah yang sudah cukup lama tak disinggahinya.

Dia meraih gembok gerbang yang terkunci. Diambilnya kunci cadangan yang dimiliki, lalu mulai membuka gembok tersebut dan mulai mendorong pintu gerbang agar terbuka. Ranselnya yang terasa berat masih ia gendong. Perlahan, gadis itu berjalan ke arah rumah tersebut dengan langkah yang sejujurnya sudah lemas karena perjalanan yang cukup panjang.

Melewati jalan setapak menuju rumahnya, dia melihat banyak hal yang tidak berubah. Semuanya masih tetap sama. Pot mawar merah masih berderet di sebelah kanan jalan setapak, sedangkan yang berwarna ungu berada di sebelah kiri. Bunga-bunga anggrek masih terlihat segar, tumbuh di batang-batang pohon palem. Dan kolam ikan berbentuk bulat yang berada di tengah pelataran rumah, masih terlihat bening begitupun dengan air mancur di atasnya. Mungkin sang Mama masih seperti dulu, selalu peduli pada lingkungan.

Semuanya tak didapati perbedaan. Keluarganya memang sangat jarang melakukan renovasi. Bila sudah cinta dengan keadaan rumahnya yang seperti itu, maka akan tetap seperti itu entah hingga kapan.

Langkahnya terus terserat hingga sampai di depan pintu kaca. Dilepasnya ransel dan ditaruh di bawah, lalu tangan kanan miliknya mulai mengetuk pintu tersebut. Dia tahu, mungkin mengganggu keluarganya yang tengah istirahat tetapi memilih tidur di teras bukanlah opsi terbaik. Pasalnya air conditioner dari mobil sejak siang membuat tubuhnya terasa semakin dingin.

"Assalamualaikum ...." Ketukan kembali terdengar. Namun, belum ada sahutan. Wajar, seisi rumah barangkali tengah istirahat menghabiskan malam.

"Assalamualaikum, Bang Elang!" Kali ini suaranya naik beberapa oktaf. Angin malam benar-benar menerpa tubuhnya. Hendak menyalakan bel pun seisi rumah akan terbangun dan Sena merasa tidak enakan.

"Avicenna," panggil sebuah suara.

Gadis itu berbalik. Kedua mata cokelat madu itu mendapati laki-laki berlevis hitam, serta berkaus putih yang terlapis kemeja hitam bergaris merah yang tampak sengaja tak dikancing. Sena tersenyum, laki-laki itu juga.

"Abang. Abang abis dari mana? Kenapa malam-malam kayak gini Abang masih di luar? Mama sama Papa nggak marah?" Sena terkejut. Pasalnya dia tahu bahwa Elang bukan pribadi yang sering menghabiskan larut malamnya di tongkrongan. Kadang dia keluar bersama teman-temannya, mencari tongkrongan baru, mencari tempat baru, berkenalan dengan orang baru, tapi tak jarang lebih suka di rumah menghabiskan waktunya di depan komputer hingga larut.

Laki-laki itu tak menjawab, dia langsung memeluk Sena erat. Seakan enggan kehilangan. "Syukurlah kalau lo baik-baik saja. Gue abis ketemu sama temen buat ngebantu caritahu keberadaan lo, tapi lihat lo sampai rumah dengan selamat, gue udah seneng. Makasih udah selemat, Sena." Laki-laki itu melepas pelukannya dan menatap Sena lemah.

"Abang kenapa sih?" Sena merasakan Elang yang keterlaluan mencemaskannya.

"Nggak. Gue cuma takut lo pergi. Bagaimana ceritanya tentang kereta itu?" Laki-laki itu menggandeng tangan Sena, membuka kunci lalu didorongnya pintu kaca dan seketika ruang bercat putih yang sedari tadi gelap langsung menyala. Di sana terdapat sofa hitam yang saling berhadapan. Pada salah satu dindingnya terdapat potret keluarga yang manis. Ayah, ibu, Elang dan Sena tentu saja. Kemudian beberapa potret masa kecil Sena dan Elang pun tampak meramaikan dinding itu, begitupula foto wisuda Elang dan Khatmil Quran Sena di pesantren.

Sembari menarik ranselnya tanpa tenaga, dia akhirnya meletakkan benda itu di bawah sofa dengan asal. "Aku nggak tahu bahwa kereta itu kecelakaan. Sebelum pergi aku ke kamar mandi karena perutku nggak enak gara-gara terlalu banyak makan pedas mungkin. Tapi di luar dugaan bahwa kereta datang 10 menit lebih cepat dan aku ketinggalan. Padahal kereta berhenti di stasiun menunggu penumpang selama 10 menit juga tapi aku nggak bisa kejar waktu." Sena menghentikan ucapannya sebentar, melihat Elang yang duduk di depan mendengarkannya dengan takzim.

"Kemudian?" Sebelah alis Elang terangkat.

"Kemudian waktu aku keluar, kereta udah pergi dan aku cari info lain untuk pulang. Karena aku nggak mungkin balik ke pondok. Aku dibantu sama Mbak-Mbak pegawai di stasiun mencari travel, sampai akhirnya aku memutuskan untuk naik travel." Sena menuntaskan ceritanya.

"Sampai sekarang pesantren belum tahu kalau kamu selamat. Gus Hamdan telepon, suaranya panik."

"Ya, nanti besok aku kabari Gus Hamdan karena kalau sekarang pasti mengganggu."

"Mau makan?" tanya Elang.

Sena tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Aku laper."

"Yuk keluar. Nasi goreng depan masih buka." Elang beranjak dari duduknya.

"Mama sama Papa mana, Bang?" tanya Sena sembari berdiri.

Elang menoleh ke pintu perbatasan antara ruang tamu dan ruang keluarga sekilas, lalu kembali memandang Sena. "Kalau udah malem begini biasanya Papa sama Mama ngapain?" Elang berbalik tanya.

"Tidur. Tapi perasaanku nggak enak."

Gadis itu melangkah, lalu disusul Elang dan keduanya kembali keluar rumah untuk membeli nasi goreng yang berada di depan. Mungkin Sena lupa bahwa sejak dulu nasi goreng Mang Taslim memang buka dari seusai ashar hingga shubuh. Cita rasa di sana tak pernah berubah dan selalu enak walau tempatnya tak semewah penjual-penjual nasi goreng di luar sana.

Elang mengapit jari jemari Sena. Hingga larut malam pun, jalanan Jakarta masih ramai dan akan tetap ramai walau ketika dini hari memang tak seramai ketika siang. Angin berembus cukup kencang saat mereka berdiri di tepi jalanan, sebelum akhirnya Elang menarik tangan adiknya dan berjalan menuju tempat nasi goreng yang terlihat masih agak ramai.

"Mang, nasi goreng dua. Makan di sini," ucap Elang pada pria 50 tahunan yang sedang menggoreng nasi di wajan yang cukup besar.

"Iya Lang. Eh, Sena? Pulang kapan?" Pria itu yang bernama Mang Taslim. Dia tampak terkejut mungkin karena sudah lama tak menjumpai Sena.

"Baru, Mang. Nggak lihat aku ya barusan turun dari travel," kata Sena.

"Ibu lihat tadi, tapi kirain bukan kamu, Sena." Seorang wanita yang sedang memotong mentimun di sebelah Mang Taslim menyahuti.

"Ya siapa lagi, Bu?"

"Kan bisa jadi pacarnya Nak Elang." Wanita itu tertawa kecil.

"Abang sering bawa pacar ke rumah?" tanya Sena.

"Nggak." Elang langsung berjalan menjauhi Sena, mengambil tempat duduk paling depan, menatap jalan raya. Di depan meja kecil, mereka duduk lesehan sembari menikmati angin malam.

Sena menyusul langkah Elang, lalu duduk di depan laki-laki itu. "Abang lagi ada masalah, ya? Sejak aku pulang kayak nyimpen banyak hal. Ada apa?"

"Nggak apa-apa. Nggak usah sok tahu, gue kenapa emang?" Elang tertawa. Sena tak menanggapi. Jelas-jelas dia melihat perbedaan pada sikap Elang.

"Abang punya pacar? Siapa? Nggak ngenalin sama aku." Sena merengut.

"Kamu lebih percaya ucapan Bu Farida daripada Abangmu sendiri?"

"Ya kan siapa tahu."

"Nggak lah. Setiap ada apa pun gue selalu bilang sama lo."

"Saudara aku cuma Abang. Kalau Abang nikah, aku takut Abang lupa sama aku. Mungkin pernyataanku egois, tapi aku takut kehilangan Abang." Sena berkata lirih.

Elang memegang kepala adiknya yang berlapis jilbab, "Nggak akan. Kamu nggak akan kehilangan gue."

Sejujurnya Sena tak pernah setakut ini. Sebelum dia tahu bahwa ternyata Elang bukanlah kakak kandungnya, dia hanya takut bahwa suatu saat Elang akan melupakan segalanya. Mungkin kadang-kadang sikap Elang menyebalkan, dan Sena seringkali kesal. Namun, kasih sayang yang Elang berikan melampaui itu. Melampaui segalanya.

Tak lama kemudian saat Sena tengah memandang wajah Elang yang layu, dia dapati bu Farida yang membawa nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas es sirup berwarna merah muda.

Sena membantu Bu Farida menurunkan piring dan gelas ke atas meja.

"Selamat menikmati, ya." Bu Farida mengangkat nampan.

"Iya, Bu," jawab Sena seraya tersenyum.

Setelahnya bu Farida beranjak pergi dan meninggalkan Sena serta Elang yang mulai menikmati nasi goreng malam hari. Sejak dulu rasanya memang tak pernah berubah. Seperti ada bumbu khas yang dimiliki pedagang sederhana ini. Sebelum Sena pergi, sang ayah sering sekali mengajaknya makan di sini berdua. Dan besok, dia akan mengajak sang ayah untuk menikmati nasi goreng ini lagi.

"Bang, siapa pelakunya? Biadab banget kan sampai tega bunuh orang tuaku." tanya Sena sembari mengunyah makanan miliknya.

"Ya besok nanti kita ke lapas dan lihat pelakunya." Elang tersenyum.

"Abang cepet banget dapetin data pelaku itu. Padahal itu udah lama. Dan bukti-bukti pembunuhan itu pasti udah lenyap."

"Nggak perlu ada bukti. Seseorang yang mengirim surat dan potret Musa padamu sudah menyiapkan semua bukti yang polisi butuhkan. Jadi, Abang nggak perlu repot-repot untuk mencari semuanya dari awal." Elang menyahut santai. Dia masih tampak mengunyah nasi goreng miliknya. Wajah tampannya terlihat ada beban dan Sena akui itu. Elang menyimpan rahasia.

Setelah beberapa menit kemudian, Sena menyendok suapan terakhir dan menyedot sirup miliknya hingga tandas. Elang juga. Laki-laki itu langsung bangkit untuk membayar makanan mereka, sebelum akhirnya keduanya pulang dan kembali ke rumah.

🐝🐝

Sena membuka sebuah pintu kayu bercat cokelat. Dia menatap meja belajar putih dan ranjang ukuran big size yang dirindukan. Gadis itu tersenyum, lalu menutup kembali pintu dan menatap poto-poto polaroid yang masih menempel cantik di tembok bagian atas ranjang. Potret-potretnya bersama Elang, keluarga, teman-teman asrama dan tentu saja ada potret beberapa Habib dan Ulama yang terpampang di atasnya ikut serta meramaikan kamar miliknya.

Gadis itu meletakan ransel di bawah kasur, berjalan ke arah lemari, mengambil ganti sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya sebelum tidur. Tidur? Ya, sebentar saja sekadar untuk mendapati "lebih baik" tidur dulu sebelum salat tahajud.

Setelah beberapa menit kemudian, gadis itu kembali ke kamar dan istirahat sebentar di atas kasur hingga jam tiga berdenting dari alarm. Ia hanya tak sabar menunggu pagi, menatap wajah kedua orang tuanya. Itu saja. Sena memang tak memberitahukan kepulangan yang tiba-tiba ini, karena ia yakin Elang yang akan memberitahukannya.

🐝🐝

Tepat pukul 07.00, Sena keluar kamar. Dia berjalan ke arah dapur ketika mencium harum bumbu seseorang yang membuat sarapan. Bibirnya mengembang. Itu pasti mama. Dia yakin sekali dengan bau khas ini.

Namun, seketika langkahnya terhenti saat mendapati wanita 50 tahunan yang sedang menyiapkan piring ke atas meja makan. "Loh, Bi Ema. Mama belum bangun, ya?"

Wanita itu menoleh. Dia tampak terkejut mendapati Sena. "Eh-- eh iya Non Sena."

"Makanlah Sena. Abis itu kita berangkat. Nggak usah banyak tanya sama bu Ema." Tiba-tiba laki-laki berpiyama putih datang. Rambutnya tampak berantakan dan duduk di kursi meja makan. Dia tampak meneguk tandas air mineral dari gelas lalu menatap Sena yang belum duduk dengan tatapan tajam.

"Abang kenapa sih?"

"Duduk!" pinta Elang.

Sena akhirnya duduk di depan kakaknya. Ibu Ema tampak menyiapkan nasi goreng ke atas piring.

"Bang--"

"Makan, nanti kita berangkat."

Sena menelan saliva susah payah. Dia meneguk air mineral dari gelas, lalu mulai menikmati sarapannya yang hambar. Semua ini terasa aneh dan Sena merasakan itu.



Update!

Jangan lupa untuk vote dan komennya, ya! Kalau ada kesalahan bisa sampaikan dengan baik.

Tidak bosan-bosannya untuk meminta kepada teman pembaca yang budiman, baik hati dan tentu tidak sombong untuk mengikuti IG-ku @/ hallo_milkyway oke? Xixixi~

Salam hallo_milkyway ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro