Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 24 || Kabar Duka

Namun sayangnya tidak setiap usai hujan terbit pelangi. Kadang-kadang manusia hanya terlalu mengharapkan yang tak pasti.

Setelah ashar berjamaah, Ihda kembali ke kamar sekadar meletakkan kembali sajadah di pintu lemari.

"Gus, mau ke mana panjenengan?" tanya Malik. Setelah ashar nanti mereka tidak ngaji karena sang ustaz ada kegiatan hari ini, jadilah mereka memiliki sedikit waktu luang untuk melakukan kegiatan lain. Seperti lalaran sembari ngopi di sore hari misalnya.

"Mau ke kantor sebentar. Mau ikut?" Ihda membenarkan sarungnya yang tadi sedikit kendor, lalu setelah terasa kencang dia menghadap Malik.

"Ayo, aku pengen ke koperasi."

Setelahnya, kedua santri itu langsung keluar kamar. Di luar asrama ramai para penduduk pesantren yang baru saja selesai salat dan persiapan ngaji setelah ashar. Lalu lalang mereka yang membawa kitab memang sejuk nan mendamaikan.

Sedang Ihda dan Malik tetap melanjutkan langkah, sembari sesekali berpikir tentang hal yang mustahil. "Mal, keluar yuk beli martabak telor," ajak Ihda.

"Kapan, Gus? Jam segini mah Mas Kikin belum buka. Dan ada kartun loh, Gus. Nggak mau nonton tv?"

"Loh iya sih. Nonton dulu sebentar sembari nunggu Mas Kikin buka. Atau kalau dia nggak jualan hari ini, aku mau kwetiau di depan asrama."

"Nggeh, Gus. Nanti aku temani."

Hingga akhirnya kedua santri itu tiba di kantor. Mereka berjalan masuk menuju ruang yang tak terlalu luas. Di sana hanya sedikit asatizah yang masih menempati meja masing-masing. Pukul 15.15 memang waktu pulang tanda bahwa kegiatan di kantor sudah selesai dan barangkali mereka sedang di kamar melaksanakan ashar atau melakukan hal lain yang tak Ihda pikirkan.

Kedua pemuda itu duduk di atas sofa. Ihda meraih remot hitam lalu menyalakan layar selebar 42 inci dan mencari channel kartun. Namun nahasnya, iklan menjeda. Laki-laki itu menekan-nekan nomor dengan asal sembari mencari tayangan yang lumayan asik.

"Nggak ada yang asik banget ya, Mal," komentar Ihda.

"Iya, Gus. Itu-itu aja," timpal Malik.

"Enak zaman dulu."

"Betul. Waktu kita kecil tayangannya seru banget. Kartun masih banyak. Dan tayangan yang mengedukasi juga masih banyak dijumpai."

"Kalau sekarang?"

Malik tertawa.

Sesaat, Ihda menghentikan kegiatannya ketika kedua mata miliknya menangkap sebuah berita yang diputar langsung. Setidaknya dia masih bisa melihat dunia luar melalui benda kotak di depannya.

"Setidaknya 39 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka setelah kereta Raja Siang bertabrakan dengan Bus wisata pukul 14.39 hari ini." Seorang reporter wanita tampak menyampaikan berita langsung di tempat kejadian. Terlihat gerbong depan kereta yang tampak keluar jalur dan sebuah bus yang hancur di depannya.

"Gus, mohon maaf bisa tolong diperbesar volumenya?" Tiba-tiba seseorang duduk di samping sofa, sebelah Ihda.

Ihda menoleh sekilas, dia Farhan. Ihda langsung membesarkan volume tv dan ikut serta menonton berita kecelakaan kereta api tersebut. Namun, dia tak merasakan apa-apa kecuali memperhatikan raut wajah Farhan yang perlahan berubah.

"Untuk saat ini Gubernur Provinsi mengatakan pada wartawan bahwa sejauh ini ada 101 korban yang terluka. Namun, pihak penyelenggara sarana memperikarakan bahwa jumlah tersebut akan meningkat," lanjut sang reporter.

"Sena." Laki-laki itu mendesis.

Ihda mengernyitkan dahi. Dia menatap Farhan intens. "Apa, Mas? Apa yang Sena?" tanya Ihda tegas.

"Kereta yang kecelakaan itu, kereta yang Sena naiki." Farhan masih tak bergerak. Dia seolah kehabisan kata-kata.

Kali ini Ihda merasakan bahwa jantungnya sudah berdetak lebih cepat dari biasanya. Seperti ada sebuah benda tajam yang menusuknya hingga palung terdalam. "Jangan bercanda. Mas, kita nggak boleh bercanda walau hanya dengan perkataan. Karena itu sebagian dari doa." Kali ini Ihda mengeraskan suaranya, menekankan agar Farhan tertawa setelahnya.

Namun, Farhan menatap Ihda sayu. "Maaf, Gus." Buru-buru dia mundur, dan kemudian berlari kecil meninggalkan kantor tiba-tiba. Ihda bangkit, berlari kecil menyusul Farhan yang meninggalkannya begitu saja.

"Mas Farhan, aku bilang jangan bercanda." Ihda berteriak di teras kantor.

"Ini serius, Gus. Itu kereta yang Sena naiki. Dan saya juga yang kemarin menukar kode dengan tiket kereta milik Sena. Saya mengingat nama keretanya dengan benar terlebih kereta itu memang mengarah ke Jakarta. Saya harus ke stasiun dan memastikan siapa korban yang berada dalam daftar." Farhan berkata buru-buru. Dia tampak cemas sekaligus khawatir, sedangkan Ihda? Kali ini butiran bening telah tertahan di kelopaknya. Dia tak mengerti harus melakukan apa.

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un," lirihnya.

Dia menggeleng kuat, berusaha mematahkan ucapan Farhan. Bila ini mimpi, maka ia berusaha agar Tuhan segera membangunkannya dan meninggalkan mimpi sialan ini. Namun, nahasnya ini realita. Tuhan memiliki rencana dan dia tak bisa berbuat apa-apa.

"Aku akan bilang Mas Hamdan. Tolong telepon Mas Hamdan setelah Mas Farhan mendapatkan info dari sana," pinta Ihda.

Ihda lantas turun, memakai sandal dan berlari ke arah asrama Ibnu Sina. Dia berlari secepat mungkin agar bisa menemui Hamdan segera. Baginya saat ini dia tak memikirkan apa pun kecuali Sena yang entah bagaimana kabarnya.

Para santri yang berlalu lalang tampak menjadikannya pusat perhatian, tetapi Ihda tak peduli. Menjadi apa pun dia kali ini baginya hari ini Sena harus selamat. Ada getaran zikir dalam dadanya yang terkumandang tak henti sejak tadi, ada dengungan kuat dalam hatinya yang menyebut nama Tuhan pencipta langit bumi agar menyelamatkannya. Ada teriakan dari lubuk terdalam pada pemilik nyawa manusia agar Dia memberi kesempatan pada seseorang yang disayangnya. Disayangnya? Sejujurnya, iya. Sampai kapan pun. Bahkan setelah dia tahu bahwa Sena telah menyukai laki-laki lain dan itu bukan dia.

Setelah cukup dekat dengan rumah minimalis bercat biru, bukannya memelankan larinya, tetapi bahkan semakin kuat. Dia segera melepas sandal, lalu masuk pada rumah yang pintunya sudah terbuka sejak tadi itu.

"Assalamualaikum, Mas Hamdan!" Ihda berdiri di ruang tamu. Bagaimana pun dia tidak berani masuk ke dalam. Siapalah dia yang tak memiliki hak penuh atas rumah ini. Hamdan hanyalah sepupu baginya, sedekat apa pun dia, seterbuka apa pun Hamdan padanya, Ihda hanya merasa bahwa dia tak bisa berhadapan dengan Hamdan seperti ia berhadapan dengan kakaknya sendiri.

"Mas Hamdan." Suara Ihda terdengar putus asa saat tak ada sahutan dari dalam. Dia tak tahu harus berbuat apa, sedangkan ponsel pun tak ada. Ihda tak memiliki ponsel, Adam belum mengizinkannya.

"Mad Hamdan!" Kali ini suara Ihda agak keras tercampur napas yang tersengal-sengal. Zikir yang terkumandang dari dalam belum terhenti jua. Tak akan pernah terhenti.

"Ihda, ada apa?" Seseorang bersarung cokelat serta berkaus hitam pendek menyembul dari pintu pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah.

"Sena, Mas ..." Ihda seakan kehilangan kata-kata.

"Avicenna? Sena kenapa? Ada apa?" tanya Hamdan. Suaranya terdengar tak sabar.

"Kereta yang Sena naiki mengalami kecelakaan."

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Hamdan bergumam. "Kamu tahu dari mana? Ihda, jangan berbohong." Kali ini Hamdan terlihat sangat panik.

Ihda menggeleng. "Mas Farhan sedang memastikan kembali ke stasiun. Mas, tolong hubungi nomor rumah Mbak Sena, barangkali ternyata Sena sudah sampai rumah. Mas, aku mohon." Mungkin ini terdengar mustahil. Ya, mustahil Sena sudah sampai rumah. Perjalanan dari Jawa Timur ke Jakarta cukup memakan banyak waktu, paling tidak nanti malam dia baru akan tiba.

Hamdan segera berjalan ke arah telepon rumah yang berada di meja dekat sofa. Dia tampak mengambil buku kecil yang tak jauh dari sana dan mencari deretan nama entah siapa yang akan Hamdan hubungi, Ihda tak mengerti. Dia hanya berdoa agar Sena baik-baik saja. Agar padanya tak terjadi apa-apa.

Lama Hamdan mencari nama-nama di buku telepon itu, hingga akhirnya laki-laki itu mengangkat gagang telepon dan mengetik beberapa digit nomor setelahnya. Ihda memperhatikan sembari terus memanjatkan doa yang tak pernah terhenti.

"Halo Assalamualaikum ..."

"Di sini saya Muhammad Hamdan selaku pengasuh Pesantren Ibnu Rusyd, dan tujuan saya menelpon untuk menanyakan kabar Avicenna."

"..."

"Ya Allah, baik Mas."

"..."

"Ya, Sena memang mendadak sekali ingin pulang."

"..."

"Iya, baik. Wassalamu'alaikum."

Hamdan meletakan gagang telepon dan menatap Ihda kemudian. "Tadi kakak Sena. Sama, ternyata dia pun baru dengar berita itu dan dia sudah menyuruh orang untuk mencaritahu keberadaan Sena." Suara Gus Hamdan terdengar lemah.

"Menyuruh orang? Kenapa bukan dia sendiri?" protes Ihda.

"Mas nggak tahu, Da. Cuma untuk sekarang kita harus tahu dulu data-data yang menumpang kereta itu." Gus Hamdan tampaknya mencoba berpikir sistematis.

"Mas Farhan sedang di stasiun."

"Mas mau ke sana. Kamu tunggulah di sini. Kalau ada apa-apa, Mas hubungi kamu lewat telepon ini, paham?"

Ihda mengangguk cepat. Hamdan ke dalam, barangkali mengambil kunci mobil sebelum akhirnya ia kembali keluar setelah melapisi kaosnya dengan jaket hitam. Sedangkan Ihda masih setia duduk di sana merapal doa-doa yang entah bagaimana akhirnya. Baginya hari ini hanya ada nama Sena. Sena saja.



Update!

Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik dan jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komen, ya.

Kayaknya bentar lagi tamat. Cerita ini nggak akan panjang hehe~

Salam hallo_milkyway

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro