Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 23 || Hitam Putih

Tak ada yang lebih baik selain menyembah Tuhan yang menggenggam harapan kita.

"Gus, Sena mau pulang. Dia masih di kantor kalau mau nemuin, soalnya belum tentu balik lagi ke sini," ucap Malik yang baru saja tiba di dekat menara air.

Ihda yang sedang menyesap kopi hitam di cangkir tak menjawab apa-apa kecuali tetap menikmati pemandangan matahari yang perlahan muncul di ufuk timur langit pesawahan. "Biarin. Pulang ya pulang lah. Terus kudu piye?" Dia berkata datar.

"Ndak mau ketemu dulu bentar? Panjenengan ki lapo, Gus?"

"Ya nggak papa. Aku cuma lagi nggak mood. Lagian bentar lagi diniyah, aku mau persiapan berangkat." Ihda yang sudah mengenakan kemeja putih dan sarung cokelat, bangkit. Dia meletakkan gelas kosong di dekat menara air, lalu berjalan ke kamar untuk menjalankan tugas menyuruh santri untuk cepat keluar kamar dan berangkat diniyah.

Sesungguhnya Ihda ingin mengucapkan "hati-hati" padanya yang hendak pergi. Namun, dia lebih memilih untuk tak melakukan apa pun kecuali membiarkan segalanya berakhir. Saat ini dia harus kembali fokus pada kehidupan sebelum bertemu Sena. Belajar giat demi tercapai cita-cita lolos masuk Saintek dan kembali ngaji, menghafal, lalaran, ngopi dan diskusi bersama teman.

Digedor-gedornya pintu kamar. Di dalam masih terlihat banyak santri yang tengah persiapan, sedangkan jam masuk tinggal sepuluh menit lagi. "Cepat keluar dan jangan telat. Kalau selesai sarapan langsung siap-siap jangan santai-santai main dulu. Sepuluh menit lagi masuk," omel Ihda.

Dia masih berdiri di ambang pintu menatap santri yang masih terlihat buru-buru. "Dihitung sampai lima kalau nggak keluar, namanya dicatat."

"Satu!"

"Sebentar, ya Allah kitabku endi, Rek."

"Lah kamu taro di mana?"

"Ikat pinggangku ilang."

"Pulpenku mana?"

"Pinjem sarung, sarungku belum kering semua."

"Dua!" Ihda masih mendengar keributan yang semakin jelas.

"Tiga ... Empat ..."

Anak-anak mulai berlari keluar, tetapi masih ada yang sibuk memakai sarung, mengancing kemeja atau mencari kitab di atas lemari.

"Empat setengah." Ihda menekan peringatannya.

Tiga santri yang tersisa berlari keluar, dan di dalam masih terdapat satu orang santri yang baru selesai. "Lima! Jalannya cepat, jangan sampai Ustaz yang nungguin kamu di kelas." Ihda keluar meninggalkan santri itu, lantas berkeliling ke kamar-kamar dibagi tugas dengan keamanan lain, memastikan bahwa tak ada santri yang bolos diniyah hari ini.

Sebelum diniyah mulai, para keamanan memang sibuk berkeliling asrama. Memeriksa masjid, kamar mandi, perpustakaan asrama, sekadar memastikan bahwa semua santri benar-benar berangkat diniyah. Setiap hari, begitulah cara pengurus asrama berbakti pada para guru.

🐝🐝

Di depan kantor, gadis berjilbab ungu muda tampak duduk memastikan kembali barang bawannya di ransel hitam yang ditaruh pada lantai agak bawah.

Sesekali dia menoleh ke arah perbelokan asrama putra, barangkali sebelum Sena benar-benar pergi, Ihda akan menemuinya sebentar. Namun, hanya embusan napas pasrah yang terdengar menyadari bahwa menunggunya sama dengan melakukan perbuatan sia-sia.

Gadis itu menatap arloji yang melingkar pas di pergelangan tangan. Tepat pukul 11.00. Satu setengah jam lagi kereta akan berangkat dan dia belum ke stasiun. Mencoba mengulur waktu barangkali di detik-detik terakhir kepergiannya sosok berambut ikal serta berkulit sawo matang itu akan ke sini. Sekadar mengucapkan "Sena, kamu janji akan kembali, kan?" tetapi lagi-lagi hanya kekosongan yang didapat.

Sena menutup kembali ransel, menggendongnya lalu berdiri bertepatan dengan keluarnya seorang pemuda berkaus hitam serta bersarung putih yang membawa kunci mobil.

"Ke stasiun sekarang? Yakin?" tanya Farhan.

Sena mengangguk. "Iya, aku nungguin di sana aja."

"Sejam loh."

"Nggak papa. Yang penting nggak sampai se-abad."

"Ya udah." Laki-laki itu turun dari teras, mengenakan sandal jepit putih lalu berjalan ke arah mobil hitam milik Gus Hamdan yang berada di belakang pos. Karena hari ini semua guru sedang rapat dan hanya ada Farhan yang longgar dari pekerjaan, akhirnya dia diizinkan Mariyah untuk mengantar Sena ke stasiun.

Pasalnya tak ada kendaraan umum dari pesantren ke stasiun. Bila ada pun, Sena harus berjalan beberapa meter ke depan jalan raya dan baru bisa mendapati angkutan umum, tapi kata Gus Hamdan kendaraan itu tak mengarah pada jalur stasiun. Jadi mau tak mau, akhirnya Sena harus merepotkan Farhan untuk mengantarnya.

Setelah Farhan berhasil memundurkan mobil dan mengarahkannya ke arah gerbang, Sena menaruh ransel di kursi belakang lalu dia duduk di depan. Setelah pintu tertutup, Farhan mulai melajukan mobilnya keluar area pesantren.

Rasanya sudah lama tak merasakan polusi jalanan sejak berada di sini, dan kali ini ia harus berbaur lagi dengan dunia luar. Di dalam terlalu banyak pertanyaan tanpa jawaban yang hingga sekarang mengganggu hatinya, tentu saja.

"Kalau mereka mempermainkanmu bagaimana?" tanya Sena tiba-tiba.

Farhan menoleh sekilas, lalu kembali fokus menatap jalanan di luar sana. "Masih saja ngomongin hal kayak gitu. Jujur, aku nggak tertarik dengan kata kalau, kalau dan kalau. Itu jelas keraguan dari manusia yang selalu mengkhawatirkan kehendak Allah."

"Kamu cuma pasrah, kan? Padahal aku yakin kamu punya pertanyaan terkait dirimu sendiri. Kamu tahu, Farhan, bahwa tempat dan tanggal lahirku sama denganmu?" tanya Sena.

"Ya kalau sama kenapa? Kamu kembaranku yang meninggal itu? Bangkit lagi atau gimana?"

"Kamu sama sekali nggak curiga, Farhan?"

"Curiga sama siapa? Lebih baik belajar daripada mikirin hal beginian." Farhan menaikan kecepatan kendaranya.

Sena mendengkus. Bahkan Farhan sepertinya tak sedikit pun terlihat penasaran atau ingin tahu terkait masa lalunya. Masa lalu dia, Bu Titik dan Ustaz Musa tentu saja. Farhan seakan tak mengambil pusing tentang segalanya. Entah dia yang sudah percaya dengan permainan Ustaz Musa dan Bu Titik atau dia yang tak ingin mengambil risiko terlalu besar. Namun, Sena hanya ingin memastikan sekali lagi bahwa benarkah Farhan tak terkejut dengan tempat dan tanggal lahir mereka yang sama?

Dalam diam, ada banyak pertanyaan dan tanda tanya yang selalu berputar di kepala. Tentang segala hal, dan tentang Ihda juga. Ingin rasanya kembali ke asrama dan bertemu Ihda sebentar saja, tapi dia tak bisa. Dia mengingat tujuan awal mengapa dia sampai di sini.

Tak lama dari itu, mobil yang mereka kendarai sampai di dekat stasiun. Ketika Farhan berhenti sebentar untuk mencari parkir, Sena langsung berkata. "Aku langsung turun saja. Kamu kembalilah ke pondok."

"Aku tunggu kamu aja, ya."

"Nggak usah. Makasih, ya. Kamu langsung pulang aja." Sena langsung membuka pintu, lantas keluar dan mengambil ransel yang tadi berada di kursi belakang.

Farhan keluar dan berdiri di dekat pintu mobil yang tak ditutup. "Sena, hati-hati ya. Jangan lupa berdoa."

Sena mengacungkan ibu jari kanannya seraya tersenyum. "Nggak perlu khawatir. Hati-hati di jalan, Farhan."

Detik berikutnya Sena langsung melangkah cepat meninggalkan Farhan menuju pintu masuk stasiun. Dia sempat menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa Farhan tak menunggunya. Laki-laki itu terlihat mulai masuk kembali ke mobil dan Sena kembali berjalan untuk segera masuk.

Dia tak perlu menukar kode pada mesin untuk mendapatkan sebuah tiket, karena kemarin Farhan telah melakukannya. Hingga akhirnya hari ini dia telah mengantungi tiket berwarna jingga itu. Perjalanan pulang seakan terasa berat untuk kali ini. Tiba-tiba ia merasa tak nyaman. Sena tak mengerti. Dalam lubuk terdalam, dia melafalkan salawat yang tak pernah usai.

Bahkan ketika pertemuan dengan orang tuanya adalah hal yang paling dinantikan, tetapi kali ini ada kecemasan yang masuk mendobrak kenyamanan yang Sena selalu berusaha menciptakan. Sejujurnya, ada apa?

Sekitar 30 menit lagi kereta akan tiba. Gadis itu belum juga masuk ke ruang tunggu. Dia menatap kembali pintu masuk berharap seseorang tiba-tiba datang padanya, tetapi nahasnya hanya kekosongan yang didapat. Untuk terakhir kalinya dia harus menegaskan bahwa Ihda tak datang untuknya.


Gadis itu tersenyum kecut, menarik napas lalu mengembuskannya pelan. Dia membenarkan letak ransel, lalu berjalan ke arah pintu masuk tempat tunggu. Seorang petugas memintanya untuk memperlihatkan tiket dan KTP, Sena memberikannya. Hanya beberapa detik saja untuk memastikan, sebelum akhirnya dia perbolehkan masuk dan menunggu sembari menatap panjangnya rel di depan.

Di dalam sana, ramai para penunggu kereta api yang hendak pulang atau bepergian memadati kursi-kursi. Pada salah satu kursi yang kosong, gadis itu duduk di sana. Menatap tiket di tangan kanannya dengan pandangan kosong. Bertanya kembali pada diri sendiri bahwa benarkah bahwa Ihda tak ke sini? Sembari terus mengikhlaskan, ia hanya meminta Tuhan agar menjaganya hingga kapan pun.

Pada dunia yang sementara, pada harapan-harapan fana, pada pelangi yang tiba setelah hujan reda, pada yang telah menciptakan bulan yang bersinar malam  hari, pada yang telah memberikan tempat pada kartika yang terhampar menyempurnakan gelap malam, sungguh bahwa tak ada daya upaya selain berharap kekuatan pada-Nya.



Update!

Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komennya yhaha ^^

Salam hallo_milkyway

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro