Bab 22 || Sendu
Ketika kita dihadapkan pada sebuah perpisahan, maka satu-satunya pelarian adalah mencoba mengikhlaskan.
Di ruang tamu rumah ndalem, Sena duduk takzim menunggu seseorang yang belum keluar dari ruang keluarga. Lima menit lalu, Ning Mariyah menemuinya dan menyuruh Sena untuk menunggu sebentar tetapi hingga 7 menit, wanita itu belum keluar lagi. Ruang itu tak terlalu luas, ada beberapa kursi saling berhadapan. Pada salah satu sudut dindingnya, terdapat beberapa bingkai potret para ulama dan keluarga Kiai, ada potret pernikahan Gus Hamdan dan Ning Mariyah juga. Di tengah kursi terdapat meja kayu yang di atasnya terdapat vas bunga.
Sembari menunggu dengan sabar, Sena membuka buku Ibnu Rusyd, tokoh Filsafat Islam yang ditulis oleh Yoli Hemdi. Buku itu ditulis untuk anak-anak melihat banyaknya gambar-gambar menarik yang tidak membosankan mata. Namun, Sena cukup menikmati. Di sana tertulis penjelasan yang cukup terang mengenai siapa sosok sebenarnya Ibnu Rusyd yang pernah menuliskan kitab Tahafut at Tahafut yang menjadi kritikan dari kitab Tahafut el-falasifah.
Menurut Ibnu Rusyd, Filsafat dan Islam memang tidak pernah bertentangan dan Filsafat memang telah sesuai dengan ajaran Islam. Dalam Filsafat sendiri, diajarkan bagaimana berpikir dengan benar dan di dalam Al-Quran berisi kebenaran sejati. Maka keduanya tidak saling bertolak. Filsafat membimbing manusia untuk berakal dengan benar, dan di Al-Quran disebutkan Ulil Albab bagi mereka yang berpikir. Katanya, iman kepada Allah akan semakin kuat dengan akal, manusia dapat membuktikan Tuhan itu memang ada melalui akalnya, karena alam semesta ini pasti memiliki pencipta dan itu Allah. Itulah sedikit pernyataan dari Ibnu Rusyd dari buku yang setiap halamannya tak pernah menjenuhkan.
"Avicenna," sapa seseorang.
Sena segera mendongak. Dia tersenyum kikuk sembari menutup bukunya ketika entah dari kapan Ning Mariyah sudah duduk di kursi depan.
"Eh, Ning--" Sena ingin bangkit dan duduk di bawah, tetapi Ning Mariyah menahannya.
"Ada apa, Sena?" tanyanya lembut.
"Eh, Ning, kalau boleh saya ingin izin pulang sebentar." Sena berkata ragu, to the point. Mengingat dia tak pandai basa-basi. Pasalnya dia memang masih memiliki kewajiban di sini walau sebenarnya dia akui bahwa eksistensinya memang tak terlalu dibutuhkan. Akhir-akhir ini dia seakan tak memiliki pekerjaan pasti selain ikut ngaji yang tak sepadat dulu lagi.
"Mau ada kepentingan apa?"
"Em-- itu Ning. Sebenernya nggak ada alasan spesifik, sih. Cuma ada perlu sama keluarga."
"Tapi harus ada alasan kuat kenapa kami harus mengizinkanmu pulang, Sena. Pesantren memiliki aturan. Sekarang belum waktunya libur dan kami tidak bisa dengan mudah memulangkan santri di luar jadwal perpulangan kecuali ada alasan yang memang mendesak."
Sena tak langsung menjawab. Alasan apa yang akan dia beri pada Ning Mariyah tentang keinginannya pulang ke rumah? Untuk menjenguk seseorang di penjara, kah? Tapi sepertinya itu bukan alasan masuk akal. Namun, Sena harus menemukan ide agar Ning Mariyah bisa mengizinkannya pulang walau sebentar.
"Saya cuma mau tahu final hasil sidang, Ning." Akhirnya mau tak mau Sena berkata juga.
"Sidang?"
"Em iya, Ning. Sidang itu yang akan mengungkapkan tentang siapa yang membunuh keluarga saya."
"Sena, maaf tapi bukannya yang di Jakarta itu--" Ning Mariyah tak melanjutkan ucapannya, seolah meminta penjelasan pada Sena.
"Yang di Jakarta itu keluarga angkat saya, Ning. Aslinya saya sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Tapi mereka memang yang menjaga saya sejak kecil, dan sekarang hanya merekalah yang saya punya hingga saat ini."
"Ah begitu, ya. Baiklah. Tapi kalau ada apa-apa tolong kabari kami ya, Sen. Kemudian maaf sekali bahwa kami nggak bisa kasih waktu lebih dari satu minggu."
"Nggeh, Ning. Saya akan kembali sebelum satu minggu." Sena tersenyum.
"Sebentar, saya akan ambilkan surat izin terlebih dahulu." Ning Mariyah kembali bangkit. Sena mengembuskan napas lega, setidaknya dia memiliki sedikit waktu untuk sekadar meyakinkan diri bahwa semuanya telah terungkap.
Tak lama dari itu Ning Mariyah kembali sembari membawa sebuah kertas putih lumayan panjang berukuran 15X10 sentimeter, kemudian diberikannya pada Sena. "Kertasnya dijaga dan jangan sampai hilang atau nanti ketika kembali ke sini kamu akan dikenai hukuman."
"Iya Ning saya mengerti." Sena mengambil kertas itu dengan sopan.
"Kapan mau pulang?"
"Insya Allah besok, Ning."
"Naik kereta, kan? Berarti kamu sudah memesan tiket?"
Sena mengangguk. "Iya, Ning. Abang saya yang memesankan tiketnya."
"Sena, tapi bukannya kamu nggak bawa ponsel, ya? Terus bagaimana kabari orang rumah kalau kamu sudah sampai di stasiun?"
"Rumah saudara saya lumayan dekat stasiun, Ning. Ada temannya Abang juga yang kerja di stasiun. Jadi, aku bisa langsung pulang ke rumah saudara atau minta bantuan temen Abang untuk telepon Abang minta jemput."
"Ah baiklah. Tapi kamu yakin berani sendirian? Saya khawatir kalau ada santri yang bepergian sendiri begini, Sen."
"Insha Allah saya berani, Ning. Saya sering ke mana-mana sendiri." Sena tertawa kecil.
"Ya sudah, hati-hati dan jaga diri." Ning Mariyah tersenyum.
"Iya, Ning. Terima kasih banyak sudah mengizinkan saya pulang."
"Iya."
"Saya pamit, Ning. Assalamualaikum." Sena mencium pucuk tangan Mariyah.
"Waalaikumsalam."
Setelah mendengar jawaban lembut itu, Sena segera pamit dan keluar dari rumah ndalem untuk kembali ke asrama. Setidaknya untuk saat ini dia sudah berada di zona aman ketika tiket izin telah berhasil dikantungi. Beginilah pesantren, memang harus selalu memiliki alasan jelas ketika pamit pulang tidak pada waktunya.
"Mbak Nada," panggil Sena pada perempuan berdaster hitam yang baru saja keluar dari pintu rumah entah hendak ke mana.
"Eh Sena, sudah minta izin?" Nada bertanya sumringah.
"Iya, Mbak. Alhamdulillah. Sama Ning Mariyah diizinkan." Sena mengangkat surat izinnya di depan Nada.
Perempuan itu tertawa, kemudian menatap surat tersebut. "Sen, coba lihat bentar," kata Nada.
Sena memberikan surat itu pada teman di depannya. Nada mengambilnya. "Tanda tangannya sudah bukan tanda tangan Kiai lagi, ya. Berarti udah benar-benar resmi diasuh Gus Hamdan." Nada tampak memandang tanda tangan yang tertera di kolom bagian pengasuh Ma'had Ibnu Rusyd.
"Bukannya Gus Hamdan sudah cukup lama mengasuh di sini, Mbak?"
"Menantu Kiai itu ada tiga, dan setahun lalu yang bertanda tangan di kolom ini masih nama Abah Kiai, dan sekarang sudah berganti nama Gus Hamdan. Itu artinya Abah Kiai sudah menyerahkan amanat itu pada Gus Hamdan.
"Setahun lalu Abah memang pernah bilang bahwa mungkin nanti cepat atau lambat, Abah tidak bisa lagi berkontribusi besar pada ma'had ini. Dan akhirnya benar ma'had ini akhirnya diasuh oleh salah satu menantunya." Nada tersenyum, kemudian mengembalikan kembali surat itu pada Sena.
"Terlepas dari itu semua aku masih penasaran dengan Kilometer 14, Mbak."
"Bukannya kamu udah tahu ya kalau sebenarnya ini hanya kebetulan. Di KM 14, di mana 14 adalah tanggal lahir Ibnu Rusyd."
"Aku nggak percaya kalau ini kebetulan." Sena tertawa.
"Kiai itu kadang lebih tahu, Mbak," lanjutnya.
"Mungkin sih. Aku jadi berpikir tentang itu. Eh, Na, ngomong-ngomong temani aku ke koperasi, yuk. Mau beli roti buat sahur nanti."
"Ah ayo, aku juga mau beli teh."
Akhirnya, mereka berdua berjalan menuju koperasi yang berada di depan asrama. Sore seperti ini banyak santri yang memadati tempat itu, tetapi Sena terlalu bodo amat. Gadis itu melangkah penuh percaya diri menuju rak-rak makanan. Ia mengambil beberapa bungkus makanan ringan dan dua botol teh dari kulkas.
Namun, seketika langkahnya berhenti ketika hendak kembali ke kasir untuk membayar belanjaannya. Gadis itu mendapati sosok laki-laki berpeci hitam yang sedang duduk sembari menikmati Ice cream cokelat di sebelah santri yang sedang bertugas menjadi kasir. Sesekali dia tampak ngobrol dengan santri yang sedang antre menunggu giliran dihitungnya belanjaan.
Sena menarik napas, mengembuskannya pelan, lalu berjalan pasti. Toh Ihda duduk di dekat pintu, dan Sena bisa berdiri agak jauh dari tempat itu.
Di antara keramaian santri, Sena terus berdoa agar Ihda tak melihatnya. Entah mengapa dia gugup luar biasa dengan keadaan semacam ini. Bukan karena di dalam koperasi terdapat banyak santri putra yang mungkin sesekali memperhatikannya, bukan. Dia hanya gugup karena di sana ada Ihda yang bahkan sibuk dengan dunianya sendiri.
"Sena, belanjanya udah?" tanya Nada dengan suara yang cukup keras.
Sena meringis, dia ingin menjawab tetapi bibirnya seakan terkunci ketika tatapan Ihda kemudian mengarah padanya.
"Mbak Nada keras banget," lirih Sena.
"Emang kenapa sih? Rame banget di sini, mana tahu kamu nggak kedengeran."
Hingga beberapa menit kemudian, hampir tiba pada giliran Sena. Ihda tampak menghabiskan es krim-nya, melempar stik pada tempat sampah yang tak jauh dari pintu, bangkit, berbisik pada kasir lalu pergi tanpa memperhatikan Sena sedikit pun.
Kali ini Sena benar-benar merasa sedang tidak baik-baik saja. Dia merasa bersalah sekaligus ada rasa yang tak bisa dijelaskan dengan mudah. Dia tak mengerti.
Sena beringsut, menaruh belanjaannya di meja. Santri yang bertugas menghitung itu tampak mengambil kresek putih dan memasukkan semua makanan milik Sena tanpa dihitung terlebih dahulu. "Katanya Gus Ihda nggak usah bayar, Mbak. Beliau yang bayar ini semua." Santri itu tampak berkata lembut sembari memberikan kresek yang lumayan besar itu.
Sena melongo sebentar, lalu menggeleng. "Nggak. Aku harus tetep bayar, ini makananku dan aku membelinya."
"Maaf, Mbak, kita hanya manut perkataan Gus. Kalau mau bayar silakan sama Gus Ihda, kami nggak bisa membantahnya."
Sena mengambil kresek tersebut, lalu keluar koperasi dengan perasaan yang tak karuan. Bahkan ketika sedang kecewa, Ihda masih peduli padanya. Sena tak mengerti lagi kenapa harus Ihda yang sebaik ini padanya.
Update!
Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik, dan jangan lupa untuk vote dan komennya guys kalau mau xixix~
Jangan lupa juga follow IG @/ hallo_milkyway ^^
Salam!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro