Bab 21 || Sandaran Hati
Ketika sepi mulai menenggelamkan, maka mulai mengerti bahwa Tuhan adalah satu-satunya teman yang tak pernah meninggalkan.
Di dalam aula yang sangat lebar didominasi warna cokelat muda, berkumpul seluruh kelas Ulya untuk mengikuti ngaji bandongan malam ini bersama salah satu Ustaz yang mengajar Tafsir Ibnu Katsir. Di dekat jendela yang terbuka, Ihda bersama beberapa teman menabuh meja menyanyikan lagu Sandaran Hati milik Letto sembari menunggu sang guru yang akan tiba lima belas menit lagi.
Yakinkah ku berdiri
Diamlah tanpa tepi
Bolehkah aku mendengarmu
Terkubur dalam emosi tak bisa bersembunyi
Aku dan nafasku merindukanmu ...
Angin malam masuk melalui celah jendela. Hamparan kartika di atas sana terlihat cukup jelas karena di luar ruangan aula adalah pesawahan yang tidak memiliki lampu selain cahaya temaram dari samping gedung. Suasana syahdu ditambah merdu suara Ihda, menciptakan ruang yang sepi menjadi sedikit ramai. Tak ada yang berani menegur karena Ihda memang akan berhenti lima menit sebelum guru tiba.
Terpurukku di sini teraniaya sepi
Dan ku tahu pasti kau menemani
Dalam hidupku ... Kesendirianku
Teringat kuteringat pada janjimu kuterikat
Hanya sekejap ku berdiri ... Kulakukan sepenuh hati
Peduli kupeduli siang dan malam yang berganti ... Sedihku ini tak ada arti
Jika kaulah sandaran hati ... Kaulah sandaran hati
Inikah yang kau mau
Benarkah ini jalanmu
Hanyalah engkau yang kutuju ...
Pegang erat tanganku ... Bimbing langkah kakiku. Aku hilang arah tanpa hadirmu… dalam gelapnya malam hariku ...
"Tumben Gus ra salawatan, lagi galau a?" tanya seseorang di belakang Ihda.
"Lagi pengen bucin karo Gusti Allah," sahut Ihda.
"Bucin sama Allah?"
"Ya kalau kamu menafsirkan lebih luas lagi sebenernya lagu-lagu milik Letto itu nggak buat lawan jenis, tapi buat Tuhan. Itu sih yang aku tangkap. Tafsir sufistik di lagu-lagunya Gus Sabrang emang kerasa sih cuma banyak yang nggak sadar. Ada konotasi dan kata-kata tersirat yang manis buat Allah di setiap liriknya," jelas Ihda.
"Aku baru sadar, masa sih?" gumamnya.
"Pernah ada loh artikelnya yang bahas lagu-lagunya Letto. Mas Noe emang pinter banget nyembunyiin makna, ya. Salut aku sama beliau, suaranya lembut juga," sambar Malik.
"Nek aku kolaborasi sama Gus Sabrang, netizen bingung ndak ya bedakan suaranya?" tanya Ihda, kemudin tersenyum.
"Ndak. Gus Sabrang lebih lembut," cetus Malik.
"Jujur tenan lek berkalam," gumam Ihda.
Setelah menghabiskan sepuluh menit berbincang dan bercanda, mereka duduk tenang sembari menunggu ustaz yang yakin tiba lima menit lagi. Ihda membuka kitab miliknya, memandangi makna yang rapat di sana. Namun nahasnya, tebersit nama Sena di antaranya.
Barangkali ini adalah cara Allah menegurnya melalui patah dan sejak awal, bukannya ia harus menerima bila Sena memang tak ditakdirkan untuknya. Mungkin Allah memang memiliki rencana lain dan dia hanya perlu menerima segala hal yang ada.
Yang diketahui tak perlu memaksakan kehendak, karena serapi-rapinya rencana adalah rencana-Nya. Dia lah yang Maha mengetahui tentang segala, tentang jumlah bintang di langit sana, tentang ikan-ikan yang berenang bebas di lautan dan tentang isi hati manusia tentu saja.
Mau kecewa sama Allah gimana, Da? Mungkin Dia yang lebih banyak kecewanya sama kamu. Selalu diberi nikmat-Nya, tapi masih sering melupakan. Masih dipenuhi segala kebutuhan, tapi nggak pernah puas dengan apa yang dikehendaki. Ihda membatin.
Laki-laki itu tersenyum kecut. Dia melihat ke arah pintu setelah merasakan kehadiran guru yang baru saja masuk. Kalamun qadim lantas berkumandang, sebelum akhirnya laki-laki itu larut pada kitabnya. Kembali pada kenyataan bahwa hidup bukan tentang Sena.
Hingga kini jantungnya masih berdetak, yang berarti ia bisa hidup walau tanpa kehadirannya. Walau tanpa ada sapa darinya. Mulai saat ini, mungkin Ihda akan kembali ke rutinitas sebelumnya. Mengaji, mengingat Tuhan yang pasti.
🕊️🕊️
Menyerahlah, menyerahlah pada semuanya hingga kau tak memiliki pegangan lain selain pertolongan-Nya, hingga kau tak memiliki penerangan lain selain dari cahaya-Nya, hingga kau kehilangan kompas dan hanya ada petunjuk-Nya.
Menyerahlah, manusia kerapkali ditunjukkan dengan banyak hal yang menyakitkan, ditinggal dan meninggalkan, dipatah dan mematahkan.
Menyerahlah pada apa yang kau inginkan tetapi tak kau dapatkan, karena Tuhan Maha Pengganti apa pun yang kau sebut sebagai kehilangan.
Selepas Kiai pergi, Ihda dan Malik tak langsung meninggalkan aula. Ihda menoleh ke arah temannya yang masih sibuk mencatat di buku tulis. Diam-diam, Ihda melirik ke arah kata-kata yang sedang Malik tulis, lalu hanya membutuhkan waktu beberapa detik saja, Ihda menarik paksa buku mengambilnya dari tangan Malik.
"Oalah Gus, ojo diwaca toh aku isin," kata Malik.
"Sek, ini tulisanmu bagus banget. Terinspirasi dari siapa?"
"Maulana Syamsi Tabriz."
"Yang mana?"
"Tak perlu melawan atas perubahan-perubahan yang Tuhan rencanakan untukmu. Menyerahlah. Biarkanlah kehidupan berjalan bersamamu, bukan tanpamu. Tak perlu khawatir tentang jatuh bangunnya kehidupan. Dari mana kau tahu bahwa kondisi hidupmu saat ini lebih baik daripada yang akan datang?" Malik berujar.
Ihda tersenyum. Dia memang tak terlalu mendalami Maulana Syams Tabrizi, guru besar Maulana Rumi itu. Ketertarikannya pada Averros, kerapkali melupakan beberapa tokoh penting pula. Namun, ia tahu tentang perjalanan spiritual kedua tokoh itu. Ayahnya, menyukai sang sufi agung Jalaluddin Rumi dan masa kecilnya cukup kenyang diceritakan banyak tokoh sufi.
"Kamu, nggak punya harapan apa-apa, Mal?" tanya Ihda.
"Ya punya toh, Gus. Cuma ya nggak usah keterlaluan sih sampai maksa-maksa Gusti Allah. Cukup usaha sebisanya, berjuang semampunya, kalau akhirnya gagal ya itu maunya Allah berarti mau nunjukkin jalan lain. Aku yakin aja sih, kata njenengan kan yang penting yakin dulu." Malik tertawa kecil.
"Emangnya kamu pernah gagal ngapain?" Ihda bertanya.
"Belum pernah, sih. Sampai saat ini alhamdulillah apa pun keinginanku masih sering dikabul. Katanya, hidup mulai sulit saat menginjak usia 18 tahun nanti."
Ihda mengangguk setuju, "Beberapa orang merasa kesulitan sejak kecil, tapi banyak juga yang mulai merasakan benar-benar sulit diusia ketika lulus sekolah. Kadang-kadang ditolak dari universitas impian, kadang tak dibolehkan kuliah padahal ingin. Dan ketika memutuskan untuk bekerja, kadang lama tak ada panggilan, seakan hilang arah. Seakan jalan satu-satunya memang tak boleh egois. Kehendak-Nya adalah yang terbaik."
"Allah kui asyik ya, Gus. Semuanya dirahasiakan agar mungkin manusia tak meninggalkan. Mungkin Allah mau kita tetep di dekat-Nya, senantiasa minta bantuannya."
"Ya iku Allah kui seneng kalau kita minta bantuannya."
"Ah udah yuk ke asrama, belajar. PR biologiku belum dikerjain." Ihda mengambil kitab, lalu dipeluknya di dada. Dia bangkit, diikuti Malik kemudian keluar aula dan kembali menuju asrama putra.
Mungkin hingga sekarang Ihda masih mengingat Sena. Tentang surat milik Dzinun yang masih Ihda hafal isinya, tetapi dia tak bisa egois. Benar. Bahwa mungkin segala apa pun yang terjadi, itu yang terbaik.
Update!
Wuahh lagu-lagunya Letto enak banget, apalagi kalau didengerin pas hujan sksksk~
Tapi gaes, jangan lupa vote dan komen. Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik.
Kalau nggak keberatan, sila follow IG @/ hallo_milkyway ❣️
Salam | hallo_milkyway
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro