Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 19 || Pemanasan Global

Karena yang paling penting bukan tentang siapa yang menjaga, tetapi di bumi inilah kamu berada.

—Muhammad Ihda HLZ


Di kantor, Sena mengambil berkas milik Farhan dari lemari khusus guru sementara.

Selagi para petugas TU tengah istirahat, Sena duduk di sofa dekat telepon. Dia membuka map kuning lalu melihat data diri Farhan. Yang lebih mengagetkan dari sekadar tanggal lahir yang sama, tempat lahir mereka pun sama. Di Lombok, tentu saja. Maka Sena rasa ini bukan lagi sebuah kebetulan, mungkin dia harus mengatakan bahwa barangkali mereka memang saudara kembar?

Sena menggeleng. Di antara banyaknya fakta yang ditemui, tak ada satu pun Sena dapati sebuah pernyataan bahwa dia memiliki saudara kembar. Dan ya, mungkin Sena masih harus memperhitungkan banyak hal lain. Masih banyak sebuah kemungkinan bahwa mereka bukanlah saudara.

Gadis itu menutup map tersebut, lalu meraih gagang telepon dan menekan beberapa nomor milik Elang. Sebelum jam masuk kerja tiba, dia harus sudah berbicara pada Elang semuanya.

Kedua kakinya dientak-entakkan di lantai saat beberapa detik berselang tak ada tanda-tanda jawaban dari seberang. Ke mana Elang?

"Ya hallo." Sebuah suara akhirnya menyapa.

"Bang, aku punya kembaran kah?" tanya Sena. Dia tak mengerti kenapa harus bertanya seperti itu. Dia hanya ingin memastikan bahwa dia dan Farhan tak memiliki hubungan.

"Entahlah. Sena, kamu bisa pulang sebentar? Mungkin bukti ini udah kuat dan kamu akan tahu secepatnya siapa yang menyuruh Musa membunuh orang tuamu."

Sena terperanjat. Namun, bukannya dia senang tetapi dia merasa ada hal ganjil dari suara Elang. Dia terdengar tak bersemangat. Seperti tengah menyembunyikan sesuatu dan Sena tak tahu.

"Siapa, Bang?" tanya Sena.

"Musa dan istri udah di Jakarta kok. Semuanya hampir selesai. Setelah dipaksa, akhirnya dia mau membuat pengakuan dan mungkin kamu nggak akan menduga siapa yang menyuruh mereka," kata Elang.

"Jadi, dia udah dipenjara? Aku baru tahu dia ada di Jakarta. Setahuku Gus Hamdan baru akan menandatangani suratnya tiga bulanan lagi," lirih Sena. Sesekali dia menoleh ke arah pintu dan memastikan semua baik-baik saja dan aman pastinya.

"Belum, tentu saja. Tapi Abang nggak ngerti kenapa tiba-tiba dia mau menjawab semuanya. Mungkin dia mau bertaubat? Tapi ini terlalu buru-buru, dan lebih dari itu orang baru terlibat di dalamnya," kata Elang.

"Abang nggak suka kalau kasusnya terungkap?"

"Nggak ada yang bicara kayak gitu. Kamu pulanglah sebentar kalau mau tahu. Atau ya terserah kamu mau pulang kapan. Besok akan ada sidang dan Sena, doakan saja semoga berjalan lancar. Kamu datang atau tidak, jadwal sidang sudah ditetapkan.

"Mungkin kamu bisa ke sini setelah pembunuh orang tuamu sudah menjadi tahanan. Udah dulu, ya, Abang mau istirahat. Kamu jaga diri baik-baik dan selamat beraktivitas kembali."

Telepon ditutup. Sena terdiam.

Demi apa pun ada banyak kejanggalan dan ini memang terlalu cepat. Elang bertindak bak kilat mengumpulkan banyak bukti tetapi dia tak menceritakan detailnya. Bagaimana akhirnya dia berhasil mengungkap fakta atau apakah di belakang Elang ada seseorang yang membantunya. Seperti sekelompok bayaran misalnya, dan Sena tak paham.

Elang seolah merahasiakan semuanya.

Besok, dia pun tak bisa ke Jakarta. Tiket dari sini ke Jakarta barangkali sudah penuh dan Sena semakin terlihat bodoh oleh permainan Elang yang seolah membuatnya tak bisa berbuat apa-apa.

Kenapa Elang tak memberitahukannya sejak kemarin? Setidaknya lima atau tiga hari sebelum tanggal sidang ditetapkan, agar Sena memiliki waktu untuk pulang. Atau bisa jadi, Elang sengaja melakukan ini agar Sena tak terlibat lebih jauh dengan permainan teka-teki?

"Assalamualaikum, Mbak Sena ...." Seseorang baru saja membuka pintu.

Sena menoleh refleks, "Waalaikumussalam." Dia langsung mengamankan berkas milik Farhan dan menaruhnya kembali di tempat.

"Hari ini jadwal penerbitan, sih. Jadi, gimana menurut Mbak Sena?" tanya ketua pengelola Mading itu.

Setelah berbalik, Sena berjalan ke luar kantor dan duduk di kursi. Setelahnya disusul oleh santri 16 tahun itu yang membawa beberapa lembar artikel, opini, esai, komik, dan beberapa karya tulis lain.

"Temanya Akibat Pemanasan Globalisasi," kata dia.

Sena mengangkat kepala. "Siapa yang kasih ide ini?" tanya Sena.

"Aku. Kenapa?" Tiba-tiba seseorang datang.

Sena mendapati Ihda yang kemudian berjalan ke arahnya disusul langkah Malik di belakang. Ya Sena ingat dia ingin meminjam kitab miliknya.

Mereka lantas duduk di sebelah ketua pengelola mading, di seberang Sena.

"Kamu memberikan tema tentang para Wali yang santri-santri di sini saya yakin udah paham perjalanannya? Sebelum mengkaji kitab, kita pun diberitahu tentang siapa penulisnya dan bagaimana perjalanan hingga menghasilkan kitab itu.

"Tapi, Sena, idemu tentang Filsafat dan Tasawuf menarik juga. Tapi sayangnya karena yang diberi tugas pertama adalah kamar saya, jadi saya menentukan temanya sendiri. Yaitu, akibat pemanasan global," kata Ihda.

"Kenapa ambil tema itu?"

"Kenapa? Sena, apa kamu nggak peduli dengan planet kita yang makin hari kian memprihatinkan? Apa kamu nggak tahu berapa milyar ton karbondioksida yang dilepaskan manusia ke atmosfer selama sepuluh terakhir ini? Bukankah kita harus peduli akan perubahan iklim nantinya? Bukannya kewajiban kita untuk merawat bumi agar generasi selanjutnya masih merasakan bagaimana asyiknya tinggal di sini?

"Tapi sayangnya, saat ini kurang lebih 40% kelebihan CO2 di atmosfer sebelum adanya pembakaran batubara, minyak dan gas. Atau menebangi hutan pun menjadi salah satu penyebabnya. Dan mungkin Mbak Sena tahu bahwa tingginya CO2 ini belum pernah terjadi sejak 600 tahun lalu. Yang artinya ini adalah kerusakan yang diakibatkan oleh ulah manusia sekarang.

"Berjuta-juta tahun lamanya unsur karbon di alam ini seimbang. Namun, nahasnya keseimbangan itu dirusak. Dan penyebabnya ya itu, emisi perbuatan manusia. Walaupun enggak banyak karbondioksida yang dihasilkan manusia dalam siklus alamiah yang ada, tapi tetep aja jumlah pertambahan itu bikin karbondioksida ndak bisa terurai, Mbak. Nanti Mbak Sena tahu akhirnya kalau karbondioksida numpuk di atmosfer?" Ihda bertanya. Namun, tak ada jawaban dari Sena.

"Boom! Bumi akan menjadi lebih hangat. Gletser dan es akan mencair. Bayangkan kalau es di kutub mencair, maka beruang kutub yang tadinya hidup di sana akan mati kelaparan. Begitupun sama Walrus dan anjing laut yang hidup di sana. Apa nggak miris tuh?

"Dan ya tentu bukan itu saja efeknya kalau es di antartika atau greenland pun mencair. Apa yang lebih mengerikan dari itu?" Ihda mengakhiri penjelasannya.

"Jadi, Sena ... menurutku daripada kamu mengurusi mading lebih baik ngurusi organisasi pencinta alam yang udah beberapa tahun terakhir nggak pernah tanam pohon lagi. Bahkan pohon-pohon yang sempat ditanami santri-santri mati karena nggak ada yang ngurus. Dan lain kali bolehlah ambil tema Filsafat atau Tasawuf. Tapi untuk minggu ini kamarku ambil tema lain. Selesai?" Ihda tersenyum. Dia baru saja seperti melakukan presentasi.

Namun, menurutnya bila bukan generasinya yang menyelamatkan bumi ini lalu siapa? Kalau bukan dimulai dari dirinya sendiri, lalu mulai dari mana lagi?

"Okay, ide Gus Ihda emang bagus. Terus kenapa sejak dulu nggak usul penerbitan kayak gini di mading?" tanya Sena.

"Karena aku baru sadar ...." Ihda tak melanjutkan perkataannya.

"Baru sadar apa?" Sena mencaritahu.

"Bahwa kita harus benar-benar menjaga bumi. Karena hanya di planet ini kamu berada." Ihda tersenyum.

Sena tak menjawab selain membiarkan degup jantung yang perlahan berdetak tak karuan.

"Lagian mana aku tahu kalau mading mangkrak," desis Ihda.

Sesungguhnya manusia dan alam sangat dekat kaitannya, hingga saking dekatnya manusia seakan tak sadar bahwa di luar sana flora dan fauna harus dilindungi. Karena sesungguhnya di antara banyaknya ciptaan makhluk hidup, manusialah yang diberi kesadaran penuh terhadap apa yang seharusnya ditanggungjawabkan.

Ihda begitu mudahnya bertutur tentang alam, sedangkan Sena tak belajar detail tentang hal itu. Karena sebelumnya ia tak duduk di kelas IPA. Namun, jurusan bukan pembenaran atas kesalahan manusia yang tak peduli. Ya, ini salah Sena yang memang tidak peka terhadap sekeliling.

Tebersit rasa kecewa kenapa semasa di pondok dulu tak mengikuti Organisasi pencinta alam, tetapi sudahlah. Kalau nasi sudah menjadi bubur mau gimana lagi?

"Mbak Sen, kitabnya mana?" tanya Malik.

"Ah ya, ada. Saya ambil dulu." Sena lantas berdiri, masuk ke kantor dan mengambil dua kitab miliknya.

"Jangan sampai rusak, terlipat, kotor, kecoret, kena kecap, atau hal-hal yang tidak diingkan," ucap Sena setelah duduk kembali di depan mereka.

Malik mengangguk cepat. Sena mengulurkan kitabnya, lalu diambil oleh laki-laki itu.

Sena menatap kembali karya-karya di kertas HVS itu. Di sana ada gambar ilustrasi bumi yang berekspresi kekhawatiran, lalu di sebelahnya sebuah esai yang ditulis dengan font yang sangat rapi.

"Tapi, bukannya waktu maulid lalu kamar Gus Ihda gagal membuat mading?" Sena kembali bertanya.

"Ya sebenernya kalau niat pasti bisa kok, Mbak. Tapi kita nggak niat waktu itu, karena masing-masing santri sibuk latihan persiapan lomba lain, sehingga aku minta bantuan Mbak Sena. Ya sekalian sih biar bisa ngobrol," jelas Ihda.

"Hanya itu?"

"Ya. Apa lagi? Ide aku bagus, kan?"

Sena memandang Ihda singkat, mengembuskan napas. Dia masih tak habis pikir dengan hal ini dan apa yang telah dilalui ....


Update!

Jangan lupa vote dan komennya kalau nggak keberatan ^^ ah ya jangan lupa follow IG @/ hallo_milkyway, okay?! Xixixi~

Salam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro