Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 18 || Titik Temu

Ketika semua jalan terasa buntu, maka sebaik-baik tempat berbalik hanyalah pada Dzat yang satu.


Sena meraih dua botol teh dari kulkas koperasi santri. Membayarnya pada kasir, lalu memilih untuk duduk sebentar di deretan meja kursi yang ditata sebagai tempat nongkrong santri ketika istirahat di dekat koperasi.

Atapnya terbuat dari susunan jerami atau batang serelia, kemudian dindingnya hanya disusun oleh batu bata sederhana. Sedangkan meja dan kursinya terbuat dari batang pohon besar yang terukir dan tak menghilangkan bentuk aslinya. Sehingga Sena seakan benar-benar berada di tempat entah di mana.

Dia, Sena, membuka botol minumannya lalu meneguknya sedikit. Pikirannya terbang ke mana-mana. Rasanya sudah berjalan semingguan setelah mendengar peringatan Elang dan mungkin kembali ke Jakarta adalah pilihan.

Ya, Sena memang tak boleh seenaknya. Setidaknya dia harus menyadarkan diri bahwa dia masih memiliki sopan santun dengan menetap di sini hingga akhir tahun nanti. Atau setidaknya enam bulan saja, setelah itu kembali ke Jakarta. Toh, sepertinya akan percuma. Di sini tak ada jawaban lagi, selain dia harus mencaritahu tentang Ustaz Musa di masa lalu. Namun, pada siapa dia bertanya dan bagaimana cara melakukan ketika data-data miliknya dilenyapkan.

Sena tak bisa berpikir jernih. Semuanya semakin abu-abu dan nyaris putus asa dengan membiarkan Elang berusaha membantunya.

Gadis itu kembali meneguk teh miliknya. Lalu pandangannya menatap lurus ke depan, mencaritahu sebuah jawab yang tak akan pernah didapat. Kembali ke kantor untuk sekarang pun sepertinya tak mungkin dan dia tak memiliki tempat untuk menyendiri selain balkon lantai dua. Itu pun kerapkali ditegur oleh ustazah yang lain karena dia sering menyendiri. Memang menyebalkan.

"Sena," panggil seseorang.

Gadis itu mendongak, mendapati seseorang yang berdiri di depannya tanpa disadari sejak kapan.

"Eh, Gus Ihda." Sena terperanjat.

"Gus Ihda kok nggak di kelas," komentar Sena setelah Ihda memutuskan duduk di depannya.

"Abis praktik di lab, tapi kelompokku udah selesai duluan," jawabnya.

Sena hanya mengangguk-angguk samar.

"Kamu masih mikirin kasus itu, Sena?" tanya Ihda.

"Adakah yang lebih penting dipikirkan selain itu?"

"Kenapa nggak coba tanya sama putranya langsung. Bukannya kamu kenal dia? Itu lebih mudah, dan aku rasa dia akan menjawab apa pun. Karena kemungkin besar dia nggak tahu masa lalu orang tuanya," kata Ihda.

"Siapa putranya?" tanya Sena.

Dia hampir melupakan fakta bahwa Ustaz Musa memang memiliki tiga orang anak. Dan nahasnya, sejak dulu Sena tak pernah mencaritahu. Mungkinkah Elang mengetahui itu?

"Mas Farhan tentu saja," jawab Ihda.

Kedua mata Sena terbelalak sempurna saat mendengar nama itu disebut? Farhan? Apakah yang dimaksud Ihda adalah Farhan Al-Fadhil?

"Farhan Al-Fadhil?"

Ihda mengangguk.

"Gus, kata siapa?" tanya Sena ragu.

"Kok kata siapa sih, kamu nggak lihat data Mas Farhan? Cek aja berkas-berkas Mas Farhan pasti ada KK, surat berkelakuan baik dan KTP orang tuanya. Ya itu KTP-nya Ustaz Musa sama bu Titik. Tapi, Mbak, tentang semua kasus ini aku rasa Mas Farhan nggak bakal tau eh. Soalnya dia juga katanya nggak tinggal sama orang tuanya."

"Kenapa nggak tinggal sama orang tuanya?" tanya Sena lagi. Seakan dia baru saja mendapat angin segar yang membangkitkan kembali semangatnya untuk mengulik segala hal yang berkaitan dengan kasus tersebut.

Ihda menggeleng, "Entahlah. Aku ndak deket sama Mas Farhan. Kamu bisa tanya dia sendiri. Hari ini dia kayaknya nggak ngajar, jadi panggil aja ke sini."

"Gus, aku pinjem kitab Abi Jamroh sama Hikam dong," ucap seseorang yang baru saja datang.

"Abi Jamrohku ndak lengkap, Mal. Ke cak-cak Ulya tiga coba," jawabnya pada Malik sembari berdiri.

Lima menit lagi kelas akan dimulai kembali, Ihda dan Malik harus kembali ke kelas.

"Punya saya lengkap kok. Kamu mau pinjem?" tanya Sena.

"Ah boleh ya, Mbak? Sekalian sama Fathul Muin juga ya," kata Malik.

"Ya nanti sore kamu ke kantor aja. Nanti saya bawa ke sana."

Malik mengacungkan jempolnya lalu menarik tangan Ihda mengajaknya kembali ke kelas.

Sejujurnya Ihda ingin membantu Sena, tetapi untuk mencaritahu melalui Farhan langsung, rasanya terlalu tidak aman. Farhan bisa curiga. Dan Ihda hanya berpikir bila nanti kasus itu telah terungkap dan kedua orang tua Farhan dibui apa kabar hati Farhan nanti ketika harus menyaksikan kedua orang tuanya masuk sel?

Bila melihat dari kebiasaan Ihda, Farhan yang alim dan lembut itu seakan mustahil memiliki orang tua seorang pembunuh. Namun, dunia ini memang menyimpan rahasia. Fana ini berisi jebakan dan Ihda yakin itu.

"Panjenengan PDKT sama Mbak Sena belum menghasilkan tanda apa-apa a Gus?" tanya Malik.

"Tenang eh, Mal. Nanti ujug-ujug kamu kaget lek aku beneran karo Sena."

"Tapi dilihat-lihat Mbak Sena kih koyok rodok susah yo, Gus. Tapi ya nggak papa usaha aja, Gus. Kalau hari ini gagal, percaya saja besok pun belum tentu berhasil."

Ihda terkekeh. "Bener iku."

"Lagian Gus Ihda kok sukanya sama yang lebih tua mulu. Apa ndak sekalian coba bu Titik," lirih Malik.

"Nggak ada rem ya mulut kau." Ihda lantas tertawa. Malik juga.

🐝🐝

"Ya. Saya ingin ketemu Farhan. Saya minta tolong panggilkan dia ke sini," pinta Sena pada salah satu kasir yang tengah menjaga koperasi.

Barangkali mereka sudah tidak sekolah atau mungkin tidak memutuskan untuk sekolah selain hanya mengikuti ngaji saja. Tapi bukannya pesantren ini mewajibkan semua santri mengikuti kurikulum yang ada. Ah entahlah. Untuk saat ini tak ada yang lebih penting daripada bertemu Farhan dan menanyakan beberapa hal.

Gadis itu kembali duduk. Dipegangnya pelipis yang mulai berat. Sesaat, Sena mengalihkan pandangannya pada mading yang belum berganti tema. Sore nanti dia berjanji akan bertemu kembali dengan anak-anak yang bertanggungjawab atas pengelolaan tersebut, dan meminta mereka untuk menyegerakan langkahnya.

"Sena, kamu manggil saya?" Tiba-tiba seorang laki-laki bersarung hitam serta berkaus putih polos duduk di depan perempuan itu.

Sena tak langsung menjawab. Dia menatap Farhan sebentar, membenci fakta bahwa laki-laki itu adalah anak dari pembunuh orang tuanya. Namun, Sena harus tetap selektif. Dia tak bisa bersikap semena-mena. Seberapa jahat kedua orang tua Farhan, seorang anak tak bisa mengubah takdirnya untuk terlahir seperti apa.

"Iya. Aku cuma mau tanya," jawab Sena. Dia meraih tehnya kembali dan meneguknya sedikit.

"Kamu tinggal di mana?"

"Jakarta tentu saja. Kenapa?"

"Bukannya Ustaz Musa dan Bu Titik dua tahun terakhir ini tinggal di sini?"

"Saya nggak tinggal bersama mereka. Bahkan sejak kecil. Saya cuma tahu bahwa saya punya kembaran tapi katanya udah meninggal," jawab Farhan apa adanya. Dia tampak tak curiga dan menjawab semua yang Sena tanyakan tanpa bertanya balik untuk apa Sena harus mengetahui semuanya.

"Kembaran? Laki-laki juga?"

Farhan menggeleng, "Perempuan."

"Tanggal lahir kamu?"

"17 Juni."

Sena terperanjat. Pasalnya tanggal yang Farhan sebutkan sama dengan tanggal lahirnya. Apakah sebuah kebetulan atau ...

Dia semakin tak mengerti. Sena seakan dibawa pada sebuah lorong yang lebih gelap lagi. Namun, dia harus tetap berpikir jernih, bahwa di dunia ini memang banyak manusia-manusia yang memiliki tanggal dan tahun lahir sama. Dan mustahil juga bila Sena memiliki pikiran bahwa mereka kembar? Itu tidak mungkin.

"Kenapa kamu nggak tinggal sama orang tuamu?"

Terdengar tarikan napas dari Farhan, kemudian diembuskannya pelan. "Ya, Sena. Mungkin aku harus kasih tahu kamu bahwa sebenarnya aku anak adopsi," katanya.

"Saya bukan anak kandung mereka berdua. Orang tua serta saudara kembar saya meninggal, dan saya diambil oleh mereka dari sebuah panti. Tapi, saya juga nggak ngerti kenapa di umur lima tahun saya harus tinggal sama nenek. Saat itu yang saya ingat, saya hanya nggak mau pulang. Itu aja, saya nggak ngerti penyebab pastinya."

"Kamu bener-bener percaya gitu aja kalau orang tuamu meninggal, Farhan?"

"Nggak percayanya bagaimana, Na? Itu udah delapan belas tahun lalu. Lagian sekarang saya masih hidup aja bersyukur kok."

"Farhan, aku bisa ketemu sama nenek kamu?" tanya Sena hati-hati. Bertanya pada Farhan tentang masa lalu pun sepertinya tak banyak yang didapat jawabannya.

Saat kejadian pembakaran, Farhan sama-sama masih kecil. Bahkan belum enam bulan. Apa yang diingat dari bayi seusia itu? Tak ada. Bahkan suara tangis sendiri saja tak pernah tahu.

"Untuk apa?" Farhan tertawa kecil. "Nenek di Jakarta lah, Sen. Dia nggak akan ke sini sendirian."

"Nenek kamu di rumah sama siapa?" tanya Sena. Sejujurnya dia seperti seorang wartawan yang tengah mewawancarai narasumber. Dia hanya berharap semoga Farhan tak menyadari.

"Sama kakek. Tapi, kamu mau ketemu mereka buat apa?" tanya Farhan.

Sena menggeleng. "Nggak sih. Aku cuma salut aja sama nenek dan kakek kamu. Mereka bisa mendidik kamu hingga seperti ini."

Dahi Farhan tampak berkerut. Sena semakin tak mengerti. Mungkin dia bisa menanyakan semuanya pada Elang setelah kembali ke kantor nanti. Setidaknya Elang harus tahu hari ini dan tentang satu lagi pertanyaan yang membuat perasaan Sena tak karuan. Ini benar-benar di luar dugaan.



Setelah sekian lama akhirnya update ❤️

Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa tinggalkan vote dan komennya kalau mau. Gamau ya latihan biar mau.

Salam | hallo_milkyway

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro