Bab 13 || Musabaqoh
Sekalipun aku bukanlah yang kau minta, tetapi mendoakanmu adalah kewajiban yang kupinta.
Aruna yang memancar kali ini menjadi saksi keramaian asrama cokelat muda Ibnu Rusyd. Semua santri dari dalam kamar memenuhi area lapangan depan masjid pusat, ada juga yang memenuhi lapangan tepi danau dan yang lain memadati halaman luas di dekat kelas Diniyah.
Seolah tak ada satu pun santri yang menetap di kamar, karena antusiasnya mereka dengan berbagai macam bidang perlombaan.
Ketika tadi malam mereka semua berkumpul di masjid Al-Biruni untuk melaksanakan marhabanan satu pesantren, kini di pagi yang cerah mereka melakukan musabaqah di asrama masing-masing.
Ihda yang mengikuti lomba hadrah antar komplek yang akan dinilai langsung oleh Gus Hamdan dan beberapa ustaz lain, baru akan memulai perlombannya sore nanti. Sedangkan sekarang dia sibuk mengawasi di bawah menara air bersama satu keamanan lain yang mendapat tugas jaga keamanan pesantren.
Padahal dia ingin sekali melihat anak-anak ula lomba aqidatul awam atau tashrifan dengan alat musik yang apa kadarnya. Tapi sepertinya dia masih bisa melihat dari sini, terlebih suara berisik begitu terdengar kencang karena mereka begitu energik melakukan perlombaan yang jarang-jarang ini.
Dari kejauhan, dia menatap sebuah tulisan cukup besar, terbuat dari susunan kayu yang terdapat di tepi danau. "Jika kau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah sesuatu yang bathil dengan agama." Itu adalah suatu pengingat, nasihat dan kalam hikmah dari Filsuf Muslim dari Andalusia.
Tulisan tersebut sudah ada sejak Ihda anak baru. Mungkin sejak pertama kali pesantren ini didirikan, perkataan Ibnu Rusyd pun diabadikan di sana. Bila mendekat, memang beberapa sudut kayunya telah keropos karena hujan dan panas. Dan mungkin pesantren akan mengganti kayunya secepat mungkin.
Ihda berjalan ke arah pagar mencoba memandang luas ke luar pesawahan, barangkali ada santri yang melarikan diri. Namun, dia tak mendapati siapa pun kecuali petani yang mulai panen atau mereka yang hendak pergi ke ladang.
"Min, sek yo aku ndelok lomba sek," kata Ihda sembari menepuk lutut temannya yang duduk di bawah menara sembari menghafal.
"Santuy lah, Gus."
Ihda lantas berjalan ke arah anak-anak ula yang berkumpul tepat di depan masjid. Perkelompok diisi oleh tujuh orang, kemudian mereka maju sesuai nomor urut dan dinilai oleh beberapa mudabbir yang mendapat tugas ini. Sedang mudabbir lain ada yang jadi juri lomba aqidatul awam, qiraatul kitab, dan beberapa lomba lain. Dan akhirnya nanti malam adalah puncak perlombaan hadrah antar komplek.
Satu komplek diikuti dua kelompok yang masing-masing beranggotakan 8 santri. Lima memegang terbangan, satu untuk bas dan dua lainnya adalah vokalis. Khusus untuk lomba tersebut dinilai langsung oleh para guru yang telah dipilih.
Kini setelah melihat singkat bagaimana serunya mereka, Ihda berjalan ke arah beberapa santri mustawa Ula yang mengikuti lomba futsal.
Beberapa panita tampak ketat mengawasi anak-anak itu.
Seorang yang menjaga gawang bertubuh gembul menarik perhatian Ihda. Sekilas mirip sekali dengan Ace kecil. Anak bersarung kuning itu tampak berlari ke depan meninggalkan gawangnya, dia hendak membantu teman satu tim, menahan bola yang akan mendekat, tetapi nahas tendangan penuh semangatnya berakhir dengan lepasnya sarung yang dikenakan.
"Yaa ... Dino sarungmu lepas,"
"Dino lapo toh atraksi dek kene," komentar teman lain.
Seketika tawa di antara mereka pecah. Anak kecil memang kerapkali masih tak mengerti tentang hal-hal mana yang tak boleh ditertawakan dan mana yang boleh. Mereka masih sibuk dengan cara berkembangnya.
"Ndak kok. Aku mau bantu kalian." Dino mengangkat sarungnya, lalu mengenakan kembali dengan raut wajah cemberut.
Untung saja dia memakai celana training, sehingga kejadian tadi tak terlalu heboh. Para panitia tampak membantu Dino dan meredakan tawa di antara teman-temannya. Bahkan sejujurnya, Ihda pun ingin tertawa tetapi dia menahannya habis-habisan. Dan dia tahu bahwa mudabbir-mudabbir itu memang sedang melakukan hal yang sama.
"Sudah, ya, jangan ada yang ketawa lagi. Pikirin gimana caranya nambah skor, yok semangat!" seru salah satu dari pengurus.
"Aku rasah pake sarung, Cak." Dino melepas kembali sarungnya lalu disampirkan di sebelah gawang.
Ihda mengerutkan dahi. Mudabbir yang lain tampak berpandangan, lalu tersenyum. Ya, memang sebenarnya sejak awal Dino diperintah untuk memakai setelan training yang biasa digunakan olahraga setiap jumat pagi, hanya saja Dino kekeh ingin tampil beda. Mungkin karena sering melihat senior-seniornya main futsal dengan sarung. Hingga akhirnya dia berakhir seperti ini.
"Yok semangat Dino!" teriak Ihda. Dia tahu bahwa anak itu tetangga kamarnya.
"Tuh disemangatin sama Gus, ayo lanjut," kata seseorang yang tadi menghibur Dino.
Salah satu pengurus membunyikan peluit, lalu mereka mulai bermain kembali di bawah terik mentari yang mulai benar-benar memanas.
Sekelebat, Ihda melihat seseorang berlari cepat meninggalkan menara air. Di memfokuskan pandangannya, lalu berlari ke arah sebelah kanan masjid meski hati kecil masih ingin menyaksikan lomba.
"Berhenti!" Teriak teman Ihda dari balik pagar. Laki-laki itu tampak mencoba menaiki gerbang besi, sembari terus memperhatikan dua orang santri yang akhirnya berhenti di jalan kecil antara petak-petak sawah.
Ihda mengikuti temannya menaiki pagar besi, karena akan sangat memakan waktu lama bila mereka berdua harus menarik kedua santri itu melalui gerbang depan. Benar ternyata dugaannya, bahwa di acara seperti ini selalu saja ada santri yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Ihda segera turun dan berlari ke arah dua santri yang diketahui mustawa wustha itu.
"Cepat kembali ke asrama!" teriak Ihda.
"Maaf, Cak, tapi jangan bilang--"
"Nggak usah jelasin. Kembali ke asrama sekarang atau sejam lagi kalian bakal papasan sama Gus Hamdan," sergahnya.
Kedua santri itu akhirnya menurut dan berjalan di depan Ihda, menuju asrama. Jalan setapak pesawahan ini memang sering menjadi saksi atas santri-santri Ibnu Rusyd yang kadang mencari peluang keluar masuk pesantren melalui jendela gedung.
Akhirnya, mereka berjalan berputar arah dan masuk melalui gerbang depan menuju asrama yang semakin riuh oleh lomba yang belum usai.
"Mau apa kalian keluar?" tanya Ihda setelah kedua santri itu berdiri berjajar di depan gazebo.
Keduanya tak menjawab selain hanya menunduk. Betapa mereka tahu bahwa Ihda yang terkenal apa adanya, bisa menjadi mengerikan kala memberi sanksi pada sebuah kesalahan.
"Bulan lalu juga kalian kabur ke kota, kan? Ngaku sama Mudabbir udah izin sama Gus Hamdan? Bahkan dengan beraninya bawa-bawa nama pengasuh," sinis Ihda.
"Shubuh tadi kalian nggak ikut jama'ah di masjid, kan?" tambah teman Ihda.
"Kabur, nggak jama'ah, pernah ketahuan berantem, sebenernya mau apa kalian? Para guru nggak pernah menuntut santri untuk pintar dalam pelajaran. Cukup kalian mematuhi peraturan yang ada. Cukup kalian ta'dim pada yang pantas dihormati, itu udah cukup.
"Kalau hari ini kalian nggak ikut lomba itu nggak masalah. Tapi salahnya kalian keluar melalui jendela gedung sebelah. Iya, kan? Mau ke mana? Ke kota?"
Tak ada jawaban. Seperti biasanya mereka hanya diam ketika pengurus marah padanya. Di dunia ini, ketika seseorang masih marah untuk meluruskan maka dia masih peduli. Dia masih menginginkan kebaikan-kebaikan. Namun, yang parah adalah ketika dia mulai mendiamkan semuanya, dia tak peduli tentang segalanya.
"Berdiri saja di deket danau, lalaran imrithi sampai selesai!" kata Ihda mengakhiri.
Laki-laki itu lantas pergi dan kembali mengamankan tempat tadi, sedangkan kedua santri itu diawasi oleh teman Ihda yang dari gazebo.
Dalam perjalanan menuju kembali ke menara air, sesungguhnya Ihda ingin bertemu Sena dan menanyakan satu hal penting yang mengganjal pikirannya sejak kemarin. Namun, ia pun tak mungkin meninggalkan kewajiban jaganya. Untuk saat ini mungkin dia akan menyusun beberapa pertanyaan yang akan ditanyakan Hamdan tentang Ustaz Musa dan sang istri.
Ihda hanya yakin bahwa Hamdan mengetahui itu. Mengetahui asal-usul mereka. Walau bila melihat tanggal masuk Ustaz Musa dan tanggal resepsi Hamdan berbeda satu bulan lebih dulu Hamdan, mungkin dari sinilah Ihda akan mencoba menanyakan tentang beberapa hal.
Baginya, Sena terlalu buru-buru mendakwa Ustaz Musa dan istri sebagai pelaku. Bisa jadi dia hanya korban, pasalnya kelemahan Ihda adalah memang seringkali menganggap bahwa semua orang itu baik begitupun Ustaz Musa. Apalagi dia memiliki poin tambahan, yaitu mengerti agama.
Ah, sudahlah. Ia akan kembali duduk di sana dan mulai memikirkan semuanya. Tentang Sena yang bisa jadi terlalu gegabah, tentang kebaikan Ustaz Musa yang mungkin hanya drama dan tentang waktu yang hari ini tengah tertawa karena tingkah mereka. Tentang semuanya. Tentang semuanya yang masih abu bagi Ihda.
Apdet!
Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik dan jangan lupa tinggalkan vote dan komentar kalau mau xixixi~
Follow IG Gaes ... @/ hallo_milkyway
Salam!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro