Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12 || Bagian Dari Teka-Teki

Berdoalah ... tetaplah berdoa walau sampai pada batas keputusasaanmu. Karena sesungguhnya Tuhan adalah penjawab di saat yang tepat.


Amplop-amplop di rak ketiga dibacanya, melihat tahun atau apa pun petunjuk yang tertera di sana. Sesekali Sena memperhatikan para ustazah yang masih sibuk, sedangkan Ustaz Musa sudah pergi lima menit lalu.

"Sena, beresin berkasnya belum selesai?" tanya Nada yang baru saja berdiri di belakangnya.

"Belum nih, Mbak. Mau ditata ulang. Kalau misal staf yang bekerja di bagian dapur itu, ada berkasnya juga kan, Mbak?" tanya Sena.

"Ada kok. Bu Titik, Mbak Ida, Bu Cici itu di rak keempat, Na." Nada berjongkok di depan rak deret keempat. Dia tampak mencari-cari beberapa amplop dan mengumpulkannya kemudian.

Nada kembali berdiri diikuti Sena. Namun, semakin melihat tumpukkan bawah, membaca nama-nama yang tertera di sana, semakin Nada mengerutkan dahi untuk beberapa saat. "Berkasnya Bu Titik kok ndak ada, ya?" Dia tampak bingung.

"Yakin, Mbak?" Sena terkejut.

"Iya, Na."

"Mbak Atun, berkasnya Bu Titik kok hilang, Mbak? Perasaan nggak pernah diubah deh tempatnya," tanya Nada pada salah satu ustazah yang sedang bekerja.

"Oalah tadi dipinjam Ustaz Musa kayaknya, Nad. Baru aja tadi tuh ke sini buat bawa mapnya dia sama Bu Titik."

"Buat apa, Mbak?"

"Nggak tahu. Ambil copy-an-nya aja, Nad, kalau emang butuh buat pencocokan berkas. Di lemari hitam itu ada di sana semua."

"Oh nggak butuh sih, cuma nanya aja Mbak." Nada kembali menata map-map itu, lalu ditaruhnya kembali di rak keempat.

Sena menatap lemari hitam. Bila dia ambil sekarang mungkin Nada akan curiga, begitu pikirnya. Sesaat di menyeringai merasa bahwa kedua orang itu lebih maju satu langkah menghilangkan jejak. Untuk apa ustaz Musa mengambil berkas yang ada bila keduanya memang tak bersalah? Kini Sena semakin yakin bahwa dua orang itu memang terlahir untuk menjadi lawannya.

Kini Sena memutuskan untuk meninggalkan kantor dan berjalan ke luar setelah pintu ditutupnya kembali.

Dia tak boleh membuat yang lain curiga, karena satu orang telah mengetahui rencananya dan itu Ihda.

Gadis itu duduk di kursi kayu menatap pos yang ditunggu oleh dua mudabbir. Kemudian mengalihkan pandangannya ke luar gerbang, mengingat kembali tentang kedatangannya pertama kali. Bahwa lagi-lagi dia masih tak percaya akan menemui seseorang yang pernah menatap wajah ibu dan ayahnya.

"Sena," panggil seseorang.

Sena menoleh, dia mendapati Ihda yang baru saja melepas sendal di teras. Laki-laki itu membawa cup bening berisi teh, lalu disodorkannya pada Sena. "Tadi bilang sama Bu Titik mau teh, kan? Ini aku bawakan." Dia tersenyum.

Sena mengambil cup itu ragu, tetapi akhirnya dia sesap juga sedikit demi sedikit setelah Ihda duduk satu meter di sebelahnya.

Ternyata anak itu benar-benar ingin tahu semuanya dan Sena pun telah berjanji bahwa dia akan menceritakan segala pada Ihda.

"Gus Ihda kan Mudabbir, apa nggak masalah kita ngobrol di sini berdua?" tanya Sena membuka percakapan.

Ihda menggeleng pelan, "Nggak masalah. Kalau udah di kantor berarti aman. Toh kalaupun nanti aku dihukum itu bukan hal penting. Yang paling penting aku mau tahu semuanya. Tentang hubunganmu dengan Ustaz Musa dan Bu Titik tentu saja."

"Janji nggak akan mengatakan ini pada siapa pun?" tanya Sena.

"Kali ini aku benar-benar janji." Ihda tersenyum. "Sena, percayakan semuanya padaku. Aku bisa menjaganya dan mungkin aku bisa membantumu."

Sena menunduk, menatap nanar kramik cokelat tua di bawah sembari kedua tangannya memegang cup dengan kencang. Terdengar tarikan napas, lalu mengembuskannya pelan. Dia sedang mencoba memberi waktu terhadap ingatan-ingatan yang akan kembali digalinya.

"Tujuh belas tahun lalu, katanya saya dibuang oleh kedua orang tua saya." Sena mulai mengawali ceritanya.

Ihda terkejut, tetapi dia memilih untuk diam tak berusaha mengekspresikan rasa kagetnya. Biarkan Sena melanjutkan semuanya.

"Tapi itu hanya bentuk dari manipulasi. Bukan itu sesungguhnya yang terjadi. Mama dan papa kandung saya hanya korban dari kejahatan yang akhirnya membuat nyawa keduanya kandas tak terelakkan.

"Saya nggak tahu pasti bagaimana waktu itu terjadi, karena yang mengetahui semuanya adalah Bu Titik dan Ustaz Musa. Mereka berdua yang dibayar atas pembunuhan berencana itu. Hingga sekarang saya maupun kakak belum menemukan bukti kuat selain potret yang dikirim seseorang dari masa lalu.

"Saya nggak pernah tahu apa kesalahan mama dan papa hingga akhirnya mereka dihancurkan eksistensinya. Sampai akhirnya saya yang saat itu masih berusia lima bulan, ditaruh oleh Bu Titik di sebuah panti asuhan dan diadopsi oleh mama dan papa saya yang sekarang. Tentu saja

"Awalnya saya nggak tahu bahwa mereka hanyalah orang tua angkat. Tiga tahun yang lalu, awal masuk MA, saya mendapat paket sebuah map cokelat berisi potret Ustaz Musa dan Bu Titik yang membakar sebuah bangunan yang katanya itu adalah rumah orang tua kandung saya. Dan setelah saya beranikan diri untuk bicara pada kakak bahwa katanya benar, saya bukan anak kandung mereka. Saya hanya diadopsi dari panti dan menjadi anak kesayangan pada akhirnya.

"Awalnya saya kecewa mengapa mereka tak beritahu sejak awal. Tapi setelah berpikir lagi, kalau tak ada mereka mungkin saya lebih tak tahu diri saya sendiri. Akhirnya saya mencoba menerima dan mereka mulai membantu saya mencaritahu kebenaran tujuh belas tahun lalu itu. Saya masih harus mencaritahu siapa pembunuh orang tua kandung saya dan kuncinya adalah Ustaz Musa."

Sena menghentikan ucapannya. Sejak tadi dia berusaha untuk bercerita sepelan mungkin, kendati relung terdalam seperti merobek-robek perasaannya tetapi dia berusaha untuk tak peduli. Dia tak mau orang lain mendengar.

"Sena, sebelumnya saya turut berduka cita atas kematian orang tuamu tujuh belas tahun lalu. Tapi rasanya saya masih tak percaya kalau Ustaz Musa dan Bu Titik adalah dalang di balik semua ini," tutur Ihda.

Sena tersenyum sinis, "Itulah kenapa saya menyembunyikan semuanya sejak dulu dari siapa pun, bahkan sejak Ustaz Musa masih jadi guru di pesantren saya. Tapi mengetahui saya di sana, dia hanya menetap satu tahun saja. Dan siapa pun mungkin nggak akan percaya. Dia bersembunyi di balik pakaian alim dan kecerdasan dalam mengajar.

"Inilah kenapa saya lebih suka berusaha sendiri, Gus. Mungkin Gus Ihda nggak akan tahu bahwa saya berkali-kali mengajukan permohonan pada keluarga ndalem agar saya dapat mengabdi di sini. Walau sebenernya awal kali ditempatkan saya harus di Ali. Tapi mungkin Abah Ismail dan Ibu merasa kasihan hingga akhirnya Abah Ismail mau menempatkan saya di sini dengan catatan saya boleh keluar kapan pun saya mau. Beliau juga yang menitipkan saya pada Gus Hamdan karena cemas dengan keputusan saya. Dan, ya, sekarang beliau tahu bahwa saya baik-baik saja."

Ihda masih tak mengerti tentang semuanya. Tentang kedatangan Sena yang tiba-tiba dan tentang fakta di balik kesalehan ustaz Musa.

Seingat Ihda, beliau memang pindahan dari Umar bin Khattab. Dan sudah menetap di sini selama dua tahun lamanya. Namun, mendengar fakta lain tentang beliau yang merupakan pengajar Aqidatul Awam anak ula itu benar-benar membuat Ihda tak habis pikir. Bahkan Sena mengatakan bahwa kedua orang itu adalah pembunuh bayaran. Bagaimana mungkin?

"Sena, mungkin saya bisa mencoba cari tahu. Saya tahu siapa yang lebih tahu tentang seluk beluk suami istri itu," kata Ihda.

Sena menggeleng, "Nggak perlu repot-repot, Gus. Saya ke sini bukan untuk memberi beban pada orang lain. Insya Allah saya bisa melakukan sendiri." Gadis itu tersenyum lembut.

"Saya orang lain?" tanya Ihda.

"Ya. Gus Ihda orang lain bagi saya. Gus Ihda punya kesibukan sendiri dan Gus Ihda punya kehidupan sendiri yang harus Gus pedulikan. Jangan memikirkan tentang saya."

"Ya udah kalau saya bukan siapa-siapa, jadikan saya siapa-siapa kamu biar saya punya hak buat bantu kamu. Biar kamu nggak ngelarang saya untuk ikut campur urusan kamu," ungkap Ihda.

Sena tak mampu berkata. Dia menatap laki-laki berambut ikal itu lantas menunduk. Tangan kirinya meremas ujung jilbab, sedangkan tangan kanannya masih memegang cup teh. Sena benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Namun kini yang disadari ada debaran nyaman yang berasal dari jantungnya.

"Lupakan dan istirahatlah sampai akhir perayaan maulid. Saya akan tetap pada pendirian saya bahwa mungkin saya tahu sedikit jalan keluar." Ihda berdiri.

Sena mengangkat kepalanya.

Laki-laki itu tersenyum, "Berdoalah. Aku yakin Tuhan bersama hamba-hamba yang tak pernah melupakan-Nya."

Dia, Ihda lantas pergi dan meninggalkan Sena yang masih mematung di tempat. Dia belum mengumpulkan kesadaran untuk bangkit. Perkataan Ihda, keputusan-keputusan yang dibuat Ihda sesungguhnya membuat Sena terharu.

Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Memberi tanpa kehilangan, yang Maha meminjamkan tanpa perlu mengorbankan, yang tak pernah berubah hanya karena gelap dan siang, yang tak dapat ditembus dengan imajinasi, sesungguhnya segala urusan dunia hanyalah sebagian kecil dari hal-hal yang telah ditetapkan. Maka sesungguhnya tak ada tempat kembali selain kembali pada-Nya.




Yay apdet!

Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya, ya, kalau mau.

Salam | hallo_milkyway










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro