Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10 || Siapa Dia Sebenarnya?

Tugasku hanya mencintaimu. Pada akhirnya kita ditakdirkan berpisah atau bersama itu bagian dari kerja semesta.


"Gus, maem sek toh. PDKT terus," tegur Malik dari bawah menara air.

Ihda menoleh. Dia mengambil kopi yang masih tersisa sedikit, lalu membawanya ke sana. Bergabung dengan lima teman lain sore ini.

"Mana nasinya?" tanya Ihda. Setiap sore dia memang tak pernah mendapat jadwal ambil nasi kecuali setiap pagi bersama Malik dan kadang santri lain juga.

"Lagi diambil," jawab Malik.

"Nak," panggil sebuah suara.

Kelima santri yang sedang duduk di bawah menara air itu menoleh ke arah pagar besi perbatasan sawah dan pesantren. Mereka mendapati petani wanita yang berdiri di sana sembari membawa kresek berwarna putih.

Segera mereka mendekat pada wanita itu dan berdiri di balik pagar kemudian.

"Ini ibu buatkan lauk buat kalian makan. Cepet diambil," katanya sembari memasukkan tangan yang memegang kresek ke celah-celah pagar.

"Oalah makasih, Bu. Makasih banyak, kebetulan kita mau makan juga sekarang." Malik langsung gerak cepat menanggapi kresek itu.

"Makasih banyak, Bu. Maaf repot gini jadinya," kata Ihda.

"Makasih, Bu. Makasih pokoknya." Mereka semua mengucapkan terima kasih, sebelum akhirnya wanita itu pamit karena hari telah menjelang sore.

"Rezeki anak soleh iki laka putuse, Rek," kata Ihda.

"Mantep guys," timbrung yang lain.

Mereka lantas duduk kembali di bawah menara air, dan detik berikutnya dua santri yang telah mengambil nasi dan lauk di nampan sampai, kemudian diletakkan di antara mereka yang telah membuat lingkaran.

Ihda segera membuka kresek itu dan dia mendapati empat paha ayam kecap yang terlihat sangat sedap.

"Oalah mantep," seru salah satu darinya.

"Enak iki, Rek." Ihda langsung menumpahkan ayam itu ke atas nampan lantas mereka bertujuh mulai makan bersama di sana.

Bukan hanya sekali dua kali. Petani-petani yang memanen atau melakukan kegiatan apa pun di sawah sering sekali membawa makanan untuk mereka. Sebenarnya untuk siapa pun yang mereka dapati di balik pagar. Namun karena hanya Ihda dan keenam temannya yang sering di sana, jadi hanya merekalah yang sering mendapat lauk tambahan atau makanan-makanan dari para petani.

Tak jarang mereka menitipkan banyak makanan ringan yang katanya dari tetangga untuk para santri, lalu Ihda membaginya ke beberapa kamar agar banyak yang merasakan lezatnya. Tak jarang mereka kadang meminta doa untuk anaknya yang hendak pengumuman kelulusan, ujian, sakit, dan para santri mencoba mengaminkan dan menyerahkan semuanya pada Dzat yang Maha Esa.

"Oh iya tadi ada pengumuman singkat di dapur dari istrinya Ustaz Musa katanya mulai nanti malam ngaji libur sampai selesai Maulid," ucap salah satu dari mereka setelah menelan makanannya.

"Hah?" Lima santri lain termasuk Ihda yang tak ikut ambil nasi terkejut.

Ihda hampir saja tersedak, buru-buru dia mengambil sisa kopinya dan menegak hingga tandas.

"Alhamdulillah," seru Malik, paling semangat.

"Asli, kan? Kamu nggak bercanda, kan?" tanya yang lain.

"Asli nggak? Ndak seru blas." Kali ini Ihda yang berkata.

Malik menepuk lutut Ihda, "Rausah drama toh, Gus. Kalau mau bahagia tinggal selebrasi."

Ihda lantas tertawa. "Ra koyok ngono, Mal. Ibnu Katsir ki kapan khatame lek libur maneh, libur maneh koyok ra ono tanda-tanda pan khatam."

"Rausah gupuh, Gus. Pas posoan ngaji sampe jam tiga malem kejar tayang."

Ihda tertawa kecil. Teman-teman mereka juga.

"Yo tapi Diniyah ra libur," lanjut sang pemberi pengumuman tadi.

"Yah, sama aja kalau gitu nggak ada libur," kata Malik.

"Rapopo toh ketemu Mbak Sena," ucap Ihda.

"Mbak Sena ki kok mau ya bantuin mading kita."

Pasalnya selepas diberi artikel dan beberapa ide lain untuk penerbitan mading kamar mereka, Ihda langsung memberitahukan pada teman-teman sekamarnya. Mereka tak berpikir untuk menang, hanya saja satu pun di kamar itu seperti benar-benar tak ada yang berbakat di dunia literasi atau memang hanya meromantisasi kemalasan saja.

Dan Maulid akan dirayakan dua hari lagi. Mungkin besok terakhir Diniyah. Malam nanti beberapa santri mulai mendirikan panggung yang mangkrak, beberapa panitia lain bertugas membungkus kado, sedangkan bagian keamanan akan mengadakan kumpulan sendiri. Sebagai ketua, memang Ihda-lah yang meminta ketujuh anggotanya untuk berkumpul.

🐝🐝

Di depan masjid sembari memperhatikan ratusan santri yang tengah menyelesaikan panggung yang hampir 30% lagi, Ihda duduk di sana sembari menunggu datangnya anggota keamanan yang akan membahas tentang besok.

Mereka yang bercelana, bersarung dan berkaus itu tampak sibuk mengangkat kayu, memainkan palu dan sebagian lain menyiapkan dekorasi yang belum usai. Keterlambatan ketua panitia yang meminta acc berkas-berkas oleh Gus Hamdan memang merupakan kesalahan fatal. Barangkali karena sebab itulah Malik selalu menyepelekan perintah-perintahnya.

"Masih pada ngapain yang lain?" tanya Ihda pada laki-laki yang baru saja duduk di sebelahnya.

"Mau ke sini sebentar lagi, Gus. Tadi ada problem di dapur."

Ihda tak menyahut. Kedua matanya masih fokus menatap mereka dan laki-laki 18 tahun yang dia ketahui sebagai santri mengabdi dari pesantren yang sama dengan Sena. Laki-laki bersarung hitam serta berkaus burgundy itu tampak sedang memalu paku di salah satu sudut panggung.

Ihda belum mengenalnya tetapi sepertinya dia tahu Ihda, karena ketika berpapasan di dapur kemarin, laki-laki itu tersenyum padanya dan tampak canggung dengan kehadiran Ihda yang tiba-tiba.

Inilah sejak dulu Ihda merasa berat tentang gelar Gus yang disematkan sebelum namanya.

Tak lama kemudian, bagian keamanan lain datang dan mereka telah lengkap berkumpul di bawah atap masjid sembari menikmati angin malam dan menatap bintang bertabur di langit sana.

"Okey, langsung aja. Sepertinya biasanya kalau ada acara besar begini pasti selalu aja ada santri yang ambil kesempatan untuk keluar dari ma'had." Ihda membuka percakan di depan para anggotanya.

"Jadi, mulai lusa H-1 Maulid nanti, kita akan bagi tugas berjaga. Nanti ada yang sering memastikan di pintu keluar dekat dapur, di belakang asrama tentu saja, kemudian di dekat menara air dan terakhir di kelas Diniyah karena barangkali ada santri yang ketika sedang perayaan maulid dia tidur di sana.

"Depan nggak perlu, Gus?" tanya seseorang yang duduk di depannya. 

"Ndak usah, sesuai jadwal mudabbir aja."

"Kalian tinggal pilih mau jaga di bagian mana. Nanti saya ambil sisanya," kata Ihda.

"Kayak kemarin aja Gus, biar nggak usah dibagi lagi."

"Okey. Terus untuk selanjutnya ...."

Ihda masih terus memberi arahan-arahan pada mereka seputar tugas-tugas yang harus dilakukan. Bagaimana pun semua santri komplek Ibnu Rusyd harus tetap dalam kontrol meski tengah di antara acara sebesar apa pun. Pasalnya bila catatan merah milik keamanan bertambah pesat di minggu tertentu, maka keamanan akan dipanggil oleh pengasuh dan Ihda tak ingin kejadian seperti itu menimpanya.

"Setelah ini langsung bantu beresin panggung. Gus Hamdan mau ke sini," pinta Ihda.

Setelah mengucap salam penutup, akhirnya mereka semua mulai meninggalkan masjid dan bergabung dengan para santri menghabiskan malam untuk membuat panggung maulid. Bagaimana pun esok sore harus sudah selesai, atau mereka semua selaku panitia mendapat teguran Hamdan mengenai keterlambatan persetujuan berkas.

Ihda mengambil palu dan beberapa paku, lalu mulai berjalan ke sisi kiri panggung dan mulai membantu santri lain mengencangkan panggung selebar delapan meter itu.

"Gus Ihda," sapa seseorang.

Ihda menoleh setelah menyelesaikan pukulan terakhir palunya pada paku yang telah merekat dengan kayu. "Ya?" tanyanya. Ya, yang memanggilnya adalah santri Umar bin Khattab, Farhan Al-Fadhil.

"Senang bisa ketemu panjenengan di sini," katanya sembari meraih sebatang kayu dan mulai menggeragajinya untuk dipotong menjadi dua bagian.

"Biasa aja, Mas." Ihda melanjutkan pekerjaannya.

"Gus Ihda kelas berapa? Bagaimana kabar Gus Dzinun?" tanyanya.

"Kelas dua Ulya, Mas. Nggak tahu kabar Mas Dzinun, soalnya dia udah lama nggak ke sini."

"Oh ya, Mas kenal Mbak Sena?" tanya Ihda.

Farhan menatap Ihda, lalu menggeleng. "Dibilang kenal juga nggak. Asrama kami yang benar-benar terpisah jarang sekali dipertemukan selain ngaji bandongan sama Abah Ismail atau Gus Hamdan dan Gus Nabil misalnya. Soalnya sampai sekarang Gus Hamdan emang masih sering bolak-balik, kan, bantu Abah Ismail ngasuh komplek karena Gus Nabil belum pulang.

"Saya sih tahu Sena soalnya di tahun pertama naik Ulya pernah jadi ketua putri, tapi dia paling nggak mau kalau kumpulan sama putra. Pasti kalau ada kumpulan yang datang itu wakilnya. Dan rumor itu emang udah tersebar di komplek kita. Saya masih nggak tahu sebabnya.

"Makanya waktu ziarah ke Walisongo angkatan kita, bahkan Sena nggak pernah tahu bahwa yang ngasih gelang ke dia waktu di Sunan Muria itu saya, teman angkatannya. Mungkin dia ngira saya hanya ketemu dia kebetulan, padahal nggak. Saya tahu dia karena dia santri Umar. Entahlah siapa santri putra yang Sena kenal."

"Mbak Sena itu pintar, Mas?"

"Saya nggak pernah lihat rapotnya, Gus. Cuma waktu haflatul ikhtitam kemarin dia juara tiga. Dan kebetulan yang masuk lima besar sama Gus Ismail direkomendasikan untuk ke beberapa ma'had di luar. Tapi, masih ada yang rancu dengan Sena. Kenapa dia dapat rekomendasi ke sini." Wajah laki-laki berambut gondrong itu tampak berpikir.

Ihda mendapati bagaimana pertanyaan ini memang sekarang benar-benar serius. Kedatangan Sena yang menurut Ihda salah sasaran kini dia semakin yakin bahwa gadis itu memiliki tujuan tertentu selain murni mengabdi untuk mendapatkan syahadah.

Bagi Ihda Sena terlalu misterius untuk digali bagaimana tujuannya.




Apdet! Mueheheh~

Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik dan jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya kalau mau xixixi~

hallo_milkyway

Follow IG juga guys ... @/hallo_milkyway ^^






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro