Bab 09 || Jauh Dari Sempurna
Aku mencari diriku di luar. Dan ketika bertemu denganmu, aku mendapatinya pada waktu yang tepat.
Di teras masjid pusat asrama Ibnu Rusyd, Sena duduk di depan tiga belas santri putra mustawa Ula.
Ustaz Musa selaku wali kelas mereka meminta bantuan Sena untuk melatih kembali dalam melancarkan bait-bait Aqidatul Awam yang akan dilombakan ketika Maulid nanti, akhirnya Sena tak memiliki opsi lain selain harus datang ke asrama putra.
Parahnya di sebelah masjid, tepat menara air berdiri dan tentu saja Ihda serta kawan-kawannya berada di sana menghabiskan libur ngaji untuk kembali menghafal nadhom Alfiyah.
Dari teras masjid terlihat deretan-deretan kamar yang mana sebagian besar santri putra duduk di sana dan sesekali menatap ke arah Sena. Sesungguhnya, apa yang lebih menggelisahkan daripada terhampar di tengah kerumunan manusia yang berbeda gender? Seperti Teresa yang tiba-tiba terjebak di antara banyak Glader dan tentu saja Sena harus berani karena gender bukan alasan untuk maju atau mundur.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu," ucap Sena seraya tersenyum ke anak-anak berusia sekitar 10-12 tahun di depannya.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu." Mereka menjawab semangat, serempak. Kadang disertai dorong-dorongan dengan teman sebelah.
"Sebelumnya kita perkenalan dulu ya. Nama saya Avicenna dan biasa dipanggil Sena. Kehadiran saya ke sini yakni dipinta oleh Ustaz Musa untuk menggantikan beliau yang sedang uzur melatih Aqidatul Awam hari ini," ucap Sena lembut.
"Untuk mempercepat waktu, silakan kalian langsung mulai tanpa ada yang membuka kitabnya satu pun. Kalau saya melihat ada yang membuka kitabnya, nanti saya akan panggil ke depan."
"Yuk, bismillahirrahmanirrahim ... Abda'u bismillahi warrahmani ...." Sena mengawali lalu dilanjut oleh mereka yang mendendangkan syair-syair ringkas ilmu Tauhid yang ditulis oleh salah satu mufti kelahiran Mesir, 1205 H, bermazhab Maliki, yakni al-Imam al-‘Allamah Ahmad bin Muhammad Ramadhan bin Manshur al-Makki al-Marzuki al-Maliki al-Husaini al-Hasani.
Di setiap pesantren salaf, biasanya kitab Aqidatul Awam memang dipakai oleh tingkat dasar karena mudahnya kitab ini dipahami. Dan lagi, bagi para mukallaf mempelajari ilmu tauhid memiliki hukum fardhu 'ain, walaupun bila melihat dalil secara rinci maka hukumnya fardhu kifayah.
"Wa birrahimi daimil ihsani ...
"Falhamdulillahil qaddimil awali .. al-akhirul baqi bila tahawuli."
"Tsumma salatu wassalamu sarmada ... 'ala nabiyi khoiri man qad wahada ..."
Suara mereka menggema diiringi nada yang memecah keheningan kala sore tersebut. Kadang-kadang nadanya naik, kadang juga turun dan sepertinya dari tahun ke tahun serta di pesantren mana pun, nada lalaran Aqidatul Awam tak pernah berbeda. Wajah-wajah tanpa dosa itu tampak sekali bersemangat menggaungkan bait-bait yang berjumlah 75.
Sena ikut serta menuntun mereka dengan pandangan yang awas pada santri barangkali ada yang sengaja membuka kitab untuk tahu lanjutannya.
"Walmalakulladzi bila abi wa um ... La akla la syurba wala nauma lahum
"Tafsilu 'asyrin minhumu Jibrilu ... Mikaili israfilu izrailu.
"Munkar nakiru wa raqibu wa kada ... Atidu maliku wa ridwanuhtada ..."
Lalu, mereka masih bersemangat dan semakin bersemangat melantunkan syair-syair itu.
Hingga akhirnya sampai di bait akhir, dan suasana hening sempat terjeda beberapa detik. Sena tersenyum. "Bagus. Kalian udah bisa kompak dan sepertinya sudah hafal semua, ya. Jadi nanti besok kita latihan lagi dan saya jamin kalian bisa menang kalau nggak menyerah. Maulid sebentar lagi dan persiapkan dengan matang lomba-lomba yang akan kalian ikuti.
"Sebelumnya kalian udah tahu sejarah disusunnya kitab ini?" tanya Sena sembari mengangkat kitab tipis bersampul hijau di tangan kanannya.
"Nggak, Mbak. Kata ustaz Musa sejarah disusunnya Aqidatul Awam ada di syarahnya dan kita belum belajar," jawab salah satu dari mereka.
Sena kemudian memangku kitabnya. "Iya. Namanya Jalaul Afham yang ditulis sama KH Ihya Ulumuddin. Tapi saya rasa nggak papa kalau kalian tahu lebih cepat," kata Sena.
"Saya coba ceritakan singkatnya ya dulu Syaikh Marzuqi ini di mimpinya lihat Rasulullah yang dikelilingi oleh sahabatnya yang berdiri. Rasullah bilang, "Bacalah nadhoman ilmu tauhid. Yang mana bila kalian menghafalnya maka akan masuk surga dan mendapat segala sesuatu yang ingin dicapainya berupa kebaikan yang sesuai dengan Al-quran dan Hadist." Sena mencoba mengingat kembali sejarah yang pernah diceritakan oleh salah satu guru di Umar bin Khattab enam tahun lalu. Ya, ketika Sena masih kelas Ula di sana.
"Kemudian Syaikh Ahmad Marzuqi tanya, syair apa itu wahai Rasulullah? Kemudian kata para sahabat, "Dengarkanlah apa yang dikatakan Rasul."
"Kemudian Rasulullah berkata pada sang Syaikh, katakanlah "Abdau bismillahi warrahmani ... hingga wa suhufil khalili walhakimi fiha kalamul hakimi 'alimi gitu Rasullah baca syair-syair itu. Terus sama Syaikh diulangnya nadhom itu sembari didengerin oleh Rasul. Masya Allah kan? Terus Syaikh bangun dan beliau menghafalnya secara utuh." Sena tersenyum. Ia bersyukur dengan diberikannya ingatan lumayan kuat oleh Allah sehingga dapat menyampaikan sejarah ini pada santri-santri di depan yang takzim mendengarnya.
"Terus selanjutnya gimana, Mbak?" tanya salah satu dari mereka dengan polosnya.
"Selanjutnya, untuk yang kedua kali Syaikh kembali berjumpa dengan Rasul. Dalam mimpinya Rasul berkata pada Syaikh, "Bacalah apa yang telah kau himpun di dalam hatimu." Kemudian Syaikh membaca dari awal hingga akhir di hadapan Rasul sembari diucapkan 'aamiin' oleh sahabat-sahabat di setiap akhir bait itu.
"Kemudian setelah selesai, Rasulullah berkata. "Semoga Allah memberikan taufik pada sesuatu yang diridhai-Nya serta menerima mandhumah itu. Serta memberikan kepadamu, serta orang-orang beriman dan mereka yang mengambil manfaat darinya."
"Makanya kemudian orang-orang pada tahu tentang mandhumah itu dan menanyakannya pada Syaikh. Kemudian Syaikh menjawabnya dengan yang diberikan Rasul tadi dan tambahan dari bait "Wa kullu ma ata bihi rasulu sampai sammaytuha 'aqidatul awami min wajibi fii dini bitamami. Tamat deh. Begitulah semoga kalian selalu mengingatnya."
Mereka mengangguk-angguk paham. Perlahan Sena mendapati rasa senang bagaimana kemudian dirinya berbaur dengan mereka yang semoga jalan menuntut ilmunya dipermudah dan diridhai Allah.
"Ada yang ditanyakan?" tanya Sena ketika dia hendak menutup latihan sore ini. Dia akan ke dapur untuk melihat lauk dan tentu saja kembali mengerjakan misi.
"Ndak, Mbak. Soale aku laper," celetuk salah satu dari mereka.
"Waalahu a'lam bisshawab," ucap Sena.
Mereka langsung mengumandangkan kalamun qadim, dan setelah Sena mengucap salam penutup mereka langsung pergi meninggalkan Sena yang masih duduk di teras.
Dari sini asrama terlihat semakin padat dan Sena sedikit sungkan untuk melewati para santri menuju rumahnya. Namun, memilih di sini adalah ide buruk karena mungkin masjid akan didatangi santri-santri selepas makan sore nanti.
"Mbak Sena," panggil seseorang.
Sena menoleh, dia mendapati laki-laki bersarung hitam serta berkaus putih pendek bergambar ilustrasi Gus Dur, duduk di ujung teras masjid sembari meletakkan kopi yang berada di bekas botol air mineral yang telah dipotongnya.
"Ngopi sek, Mbak." Ihda tersenyum.
"Bukannya Gus Ihda keamanan ya? Apakah boleh ngobrol tanpa kepentingan dengan sama saya yang merupakan lawan jenis?" tanya Sena.
"Tentu saja keamanan juga manusia yang di mana dia memiliki cinta sebagai fitrah yang diturunkan oleh Tuhan Maha Esa," dalih Ihda.
Sena tersenyum. Bagaimana pun dia harus berusaha bersikap sopan di depan keponakan dari Gus-nya.
"Maksud ucapan Gus Ihda bagaimana?"
"Aku suka sama Mbak Sena," celetuknya. Dia lantas meraih kopi dan meneguknya sedikit.
Mungkin orang tak tahu bahwa kegiatannya adalah tengah menghilangkan gugup atas perkataannya yang tiba-tiba. Tetapi sungguh, Ihda menyadari itu bahwa dia telah menyatakan kebenarannya. Sampai kapan dia memendam dalam diam, dan mengatakan pada Sena adalah usahanya yang harus diapresiasi.
Di sisi lain Sena terdiam. Dia tengah menyadarkan diri bahwa Ihda lebih muda darinya dan dia berhak mendapatkan seseorang dan itu bukan Sena. Dan lagi ada banyak tapi. Bila jodoh memandang nasab maka Sena memang bukan orang yang pantas untuk Ihda.
"Gus Ihda, saya harap Gus Ihda menyadari perkataan Gus barusan. Saya ini dua tahun lebih tua dari njenengan dan tolong jangan mudah melemparkan bercandaan perihal perasaan seperti tadi."
"Sejak kapan jodoh mengenal usia?" Ihda terkekeh.
"Ayo Mbak nanti nikah," lanjutnya.
"Ngajak nikah udah kayak ngajak beli gorengan," desis Sena.
"Aku berani loh datengin rumah Mbak Sena dan bilang ke orang tua Mbak Sena," kata Ihda.
"Saya aja nggak tahu orang tua saya di mana." Sena berkata tanpa sadar.
Ihda mengerutkan dahi, "Maksud Mbak Sena?"
Sena mendapati kedua mata laki-laki itu. Buru-buru dia menelan saliva susah payah lalu memeluk kitabnya erat seraya bangkit. "Saya pamit, Gus."
Ihda menatap perempuan yang berjalan ke arah ujung teras dan turun kemudian, memakai sandal lalu pergi meninggalkan masjid dengan langkah cepat menyisakan Ihda sendirian.
Kedua netra hitam laki-laki berkulit sawo matang milik Ihda masih belum melepaskan pandangan atas perempuan bergamis biru tua itu. Apa maksud perkataannya? Bagaimana cara Ihda mencaritahu tentang hal yang baru saja didengarnya?
Apdet muehehe~
Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa tinggalkan vote dan komen kalau mau.
Salam hallo_milkyway
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro