Bab 07 || Macaroon
Dan ketika tak ada satu pun harapan yang terijabah, maka pasrah adalah jalan akhir yang sesungguhnya.
Dalam kendara roda empat yang bergerak, Ihda mengarahkan matanya keluar jendela. Menatap jalanan yang padat dengan para pengendara meski suasana masih sangat pagi. Diajak oleh Hamdan dan istri untuk ke pasar, akhirnya Ihda langsung mengiyakan sembari membawa list belanjaan hadiah-hadiah istimewa bagi juara satu saat lomba perayaan Maulid nanti.
Sesungguhnya Ihda tak pernah tahu bahwa akhirnya pesantren ini akan diasuh oleh sepupunya. Pasalnya Hamdan dan Ning Mariyah baru menikah dua atau satu setengah tahunan bila dia tak salah hitung.
Awalnya Ihda masih menyembunyikan identitas sebagai putra dari Muhammad Saif Adam selama empat tahun lamanya. Baginya dipanggil "Gus" seperti membawa tanggung jawab berat. Dia meminta sang ayah berbicara pada pihak pesantren untuk memperlakukannya biasa saja agar santri lain pun tak canggung dengannya. Di sini tak ada pertemuan antar pesantren, tak ada acara besar yang dicampur dengan pesantren keluarganya karena Ibnu Rusyd adalah pesantren lain, jauh dan Ihda memilih itu. Kalau boleh ... Kalau boleh, Ihda tak ingin mengemban amanat yang berat ini. Namun bagaimana pun dia telah mengagumi sosok ayahnya yang luar biasa.
Dan selepas kedatangan Hamdan-lah semua terbongkar. Semenjak Hamdan mengadakan resepsi dengan Ning Mariyah di sini, mereka semua lantas mengetahui bahwa Ihda adalah sepupu Gus mereka yang tak lain adalah putra dari Muhammad Saif Adam.
Hingga awalnya mereka semua canggung dan memperlakukan Ihda berbeda, lalu dengan sangat memohon Ihda meminta pada mereka untuk bersikap biasa saja. Bersikap seperti semula. Ihda tak mau mereka berbeda. Bagi Ihda pertemanan lebih penting dari apa pun.
"Kenapa memilih tempat yang jauh dan nggak di cabang milik Abi saja, Da?" tanya kakaknya suatu ketika.
"Nggak tau lah Mas, aku cuma nggak mau mondok di pesantren milik keluarga. Aku pengen bebas dan jadi diri sendiri. Aku hanya mau orang-orang memandangku sebagai Ihda, bukan sebagai anak Gus Adam."
Kakak Ihda sendiri pun tinggal di salah satu pesantren salaf Jawa Timur. Dan kalau boleh menilai mungkin Ihda memilih kakaknya karena dia yang lebih dekat semangatnya dengan sang Ayah. Bagaimana caranya belajar, menghafal, dia terlihat ambisius seperti sang ayah. Hanya saja sifatnya memang kurang hangat pada orang lain. Luar biasa dingin bahkan terkadang pada keluarganya sendiri.
"Emang Swalayan udah buka, Da?" tanya Hamdan yang sedang fokus menyetir di depan. Tatapannya sekilas memandang Ihda dari kaca.
"Nggak tahu eh, Mas. Kan ndak papa Mas Hamdan sama Mbak Mariyah nunggu sampai buka. Ya nggak apa sih kalau aku ditinggal juga. Sekolahnya libur ini," jawab Ihda seraya tersenyum.
"Maumu biar bisa nonton bioskop," kata Hamdan.
"Belum ada yang ramai."
"Tahu dari mana jadwalnya?"
"Aku bisa cenayang, Mas."
"Oalah pantes nilai Fathul Muin-nya gede."
"Ya itumah karena aku titisan Imam Zainudin Al-Malibari."
"Iso ae," desis Hamdan.
"Mas-mu lanjut di mana, Da?" Kali ini istri Hamdan yang bertanya.
"Ma'had Aly, Mbak."
"Nggak ngikutin jejak Abi kalian?"
"Ngikutin jejak abi nggak harus kuliah di tempat yang sama dengan Abi. Kalau Mbak tahu, Mas Dzinun punya cara sendiri untuk bagaimana menjadi seperti abi."
"Kalau kamu?"
"Ya Mas Hamdan juga tahu, kalau aku nggak ada cita-cita menggantikan Abi. Aku mau jadi Dokter dan kuliah entah di mana nanti. Karena setahuku seorang santri nggak harus melulu jadi Mubaligh, Dai atau Kiai. Mereka harus ada yang menjadi tentara, Dokter, Ahli astronomi, petani, wirausaha, Presiden, DPR, apa pun. Aku yakin titik akhir seorang santri itu luas.
"Prinsipku satu, jadi apa pun nantinya jangan pernah merugikan orang lain. Orang bebas jadi wakil rakyat asalkan tidak menggerogoti uang rakyatnya. Karena di dunia ini nggak ada yang lebih menjijikan daripada mereka yang berani menelan hak saudaranya sendiri," tandas remaja itu.
Mariyah mengangguk-anggukkan kepalanya seraya tersenyum. Barangkali dia mulai paham dengan jalan pikiran sepupu iparnya, sedangkan Hamdan sudah paham sejak dulu bagaimana Ihda berpikir.
Santri bersarung merah 16 tahun itu hanya mencontoh bagaimana sang Ayah ketika bertindak. Adam yang selalu hati-hati memisahkan SPP santri dan gajinya sendiri yang mengajar di Universitas, atau mendapat pemberian dari warga yang mengundangnya pada acara.
Disuruh oleh ayahnya—Kiai Usman, untuk menjadi Dosen akhirnya Adam mengiyakan kemauan tersebut. Hingga akhirnya ketika pagi dia berangkat ke Universitas sebagai seorang Dosen agama lalu setelah jam mengajar usai, dia pulang ke pesantren sebagai pengasuh Nadwatul Ummah. Kiai Usman hanya ingin agar anaknya tak menginginkan hak lebih dari santri walau dia tahu bahwa sedikit pun Adam tak pernah berani menyentuh spp yang sudah diurus oleh bagian TU.
Gaji para guru bukan dia yang mengurus, melainkan ada bagiannya sendiri. Hingga akhirnya Ihda tahu bahwa di dekatnya ada seseorang yang pantas dijadikan contoh.
Dan tentang Mariyah dulu, Ihda sangat canggung pada wanita itu. Bahkan mengobrol saja tak pernah. Ralat, bahkan melihatnya saja belum pernah karena Mariyah sendiri putri dari Kiai-nya yang lama tinggal di Yaman, menuntut ilmu di sana. Empat tahun Ihda tak mengenal, hingga akhirnya kabar datang tiba-tiba bahwa Muhammad Hamdan sepupunya, menikah dengan anak dari Kiai-nya dan Hamdan diberi amanat untuk mengasuh pesantren ini bersama istrinya.
Ah, sempit sekali. Dunia ini benar-benar sempit sekali bila Ihda mengingat masa lalu yang mengagetkan kenyataan itu.
Sekitar satu jam kemudian, mereka sampai di parkiran pasar swalayan yang sudah mulai buka. Segera Ihda membuka pintu mobil dan turun kemudian, mengikuti langkah Hamdan dan Mariyah yang mulai memasuki tempat belanja itu.
"Mas, aku mau cari-cari sendiri, ya. Nanti ketemu di parkir aja," ucap Ihda.
"Ya udah jangan lebih dari tiga jam," jawab Hamdan.
"Nggak dong." Ihda menyalami tangan sepupunya lantas berjalan lebih dalam ke toko swalayan itu.
Dia merogoh list dari hoodie putih yang dikenakan, lalu melihat daftar belanja yang akan dibeli. Ditariknya sebuah shopping cart, dan dia mulai mencari semua kebutuhan.
Andai dia bersama Malik, mungkin akan bermain timezone terlebih dahulu di Mall sebelah, tapi sayang sekali Hamdan terlalu mendadak memanggilnya ke depan sehingga dia malas kembali ke asrama untuk mencari Malik yang mungkin masih menghafal di bawah menara air.
Dia mengambil beberapa piece sarung, peci hitam, buku tulis dan makanan ringan yang bisa dijadikan hadiah sekamar. Juga, dia membeli banyak makanan untuk anggota kamarnya. Dia yang tak pernah mau disambang itu lebih suka membelikan teman-teman kamar berupa makanan dari swalayan atau koperasi santri daripada dari rumah. Makanan dari mana pun mereka akan suka kecuali makanan haram.
Sesaat, kedua matanya menatap tumpukkan macaroon yang terpampang di etalase. Dia yang sedang mendorong shopping cart berisi banyak barang itu mendekat.
"Mbak, saya mau macaroon-nya," ucap Ihda pada pelayan berpakaian hitam putih yang tengah menata makanan berbentuk bulat di etalase.
"Tunggu sebentar ya, Dik," katanya.
"Kok Dik, sih, padahal aku udah gede kayak mas-mas," desis Ihda.
"Silakan mau milih yang isi berapa dan ukuran apa, untuk memilih rasa tidak berlaku untuk mini macaroon karena setiap box-nya sudah dicampur," jelasnya sembari memberikan kertas menu dan list harga pada Ihda.
Laki-laki itu mengambilnya, lantas membaca singkat. "Saya mau reguler macaroon isi 32, dua kotak dan mini macaroon isi sepuluhnya satu kotak," kata Ihda sembari menaruh kertas menu di atas etalase. Untuk reguler macaroon sendiri dia memiliki diameter sekitar empat sentimeter, sedangkan untuk mini macaroon memiliki ukuran dua sentimeter. Makanan yang chewy di dalam dan crunchy di luar ini sepertinya sangat cocok untuk camilan nanti.
Perempuan itu lantas menulis nota pada sebuah kertas putih dan memberikannya pada Ihda. Laki-laki itu kemudian pergi dan mencari barang lain untuk tambahan hiasan-hiasan panggung Maulid. Bagaimana pun dia ingin Perayaan lomba Maulid kali ini berjalan meriah melebihi tahun-tahun sebelumnya.
🐝🐝
"Ini ada artikel, cerpen, puisi dan ide agar teman sekamar Gus Ihda bisa mengembangkan bakatnya." Di depan kantor selepas Ihda baru saja pulang, Sena menyodorkan beberapa kertas HVS yang telah bergambar serta dilengkapi tulisan yang sangat rapi.
Ihda mengambilnya seraya tersenyum. "Okey, makasih Mbak, dan jangan pernah bilang ini pada yang lain."
"Saya hanya mau Gus Ihda menepati janji."
"Saya hanya meminta bahwa Mbak Sena mengingat ucapan saya kemarin bahwa saya nggak bisa berjanji menepatinya."
Sena mendengkus.
Ihda menurunkan dua plastik besar berisi barang-barang di teras kantor. Dia lantas mengambil kotak mini macaroon yang berisi sepuluh tadi dan disodorkannya pada Sena. "Ini untuk kamu."
"Bayarankah?" Sena tertawa nyaring. Dia lantas mengambil macaroon itu tanpa berpura-pura menolak terlebih dahulu. Bahkan sejujurnya dalam hati terdalam, Sena sedang menyembunyikan gugupnya saat mengobrol dengan Ihda.
"Jelas bukan. Ini simulasi pemberian suami terhadap istri." Ihda tersenyum, mengambil kembali kresek besar dan meninggalkan Sena yang tiba-tiba menegang di tempat.
Update!
Bila ada salah, sampaikan dengan baik. Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar kalau mau.
Salam!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro