Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 06 || Latihan Hadrah

Waktu terus berjalan, semesta bisa saja mempermainkan, namun yang kupercaya tangan Tuhan tak akan pernah melepaskan.

Gamis-gamis yang baru saja diambil dari jemuran, kini dilipatnya setelah menunaikan dhuha di ruang tengah.

Sekarang pukul 08.30 dan Sena tak memiliki kegiatan lain karena hari ini jadwal bulughul maram hanya sekali, pagi tadi. Dan sekarang dia bisa istirahat sampai sore andai tak ada jadwal ngaji. Namun sepertinya dia akan menjalankan misi yang sempat tertunda.

"Na, kata Ustaz Ghifar bisa minta bantuan?" tanya Nada yang sedang rebahan di atas kasur. Dia baru saja pulang dari kantor dan akan berangkat lagi pukul sembilan. Kedua matanya menatap layar ponsel, lalu menatap Sena meminta jawaban.

"Bantuan apa, Mbak?" Sena menghentikan pekerjaannya.

"Ambilin tugas Kimia di Ulya 2A, soalnya tadi Ustaz Ghifar ada urusan sama Gus Hamdan."

"Sekarang?"

Nada mengangguk. "Iya. Soalnya lima belas menit lagi ganti jam pelajaran."

"Tapi jangan kaget sama kelas itu ya, Na. Soalnya kadang berisik banget dan anak-anaknya agak susah diatur," kata Nada.

"Okey, Mbak. Saya ke sana sekarang." Sena yang masih memakai abaya hijau muda dan jilbab mustard langsung beranjak dari ranjang, keluar kemudian. Tak perlu membawa apa pun karena tugasnya hanya mengambil buku di kelas mereka lalu dia kembali ke kantor.

Sesungguhnya Sena agak sungkan masuk ke kelas yang dia tahu bahwa muridnya hanya 2:30 yang masih waras, selebihnya entah bagaimana mereka itu. Namun, demi mengabdi pada pesantren apa pun akan diambilnya. Karena ini juga memang kehendak-Nya.

Setelah sepuluh menit berjalan akhirnya Sena sampai di bawah tangga menuju kelas Ulya. Dia menarik napas sebentar lalu membuangnya pelan kemudian, sebelum akhirnya dia mulai menaiki anak tangga satu per satu.

Hingga sampai di ujung kelas, langkah kaki Sena terayun menelusuri panjang koridor. Dia merasa bahwa ada banyak mata yang memperhatikan dari balik kaca-kaca kelas.

"Itu guru baru."

"Namanya siapa?"

"Mbak-nya nggak nyasar ya sampai sini?"

"Masya Allah ukhti-nya bercahaya banget."

Sena jelas mendengar desis-desisan itu dari dalam kelas, hanya saja suara salawat dari ruang urutan kedua dari ujung berhasil memecah keheningan di sana. Suara dari tabuhan meja terdengar keras mengiri salawat yang sesungguhnya merdu, dan Sena mengakui itu.

"Allahumma sholli 'ala sayyidina ... Muhammadin thibbil qulubi wa dawaiha. Wa'afiyatil ... abdani wa syifa'iha wa nuuril abshoori wadhiyaaiha.
Wa alaa alihi washohbihi wasallim." Mereka satu kelas menyelenggarakan salawat bersama, seolah ketiadaan guru Kimia hari ini patut dirayakan.

"Yok yang di belakang suaranya mana nih?" teriak sang vokalis yang suaranya terdengar hingga luar dan Sena paham siapa pemilik suara itu. Ya, Ihda.

"Allahumma sholli 'ala sayyidina ... Muhammadin thibbil qulubi wadawiha. Wa'afiyatil ... abdani wa syifa'iha wa nuuril abshoori wadhiyaaiha
Wa alaa alihi washohbihi wasallim."

"Pepali ki ageng selo amberkahi
Ojo gawe angkuh, ojo ladak lan ojo jahil
Ojo ati serakah ... lan ojo celimut
Ojo buru aleman lan ojo ladak
Wong ladak pan gelis mati, lan ojo ati ngiwo ..."

Sena kini berdiri di ambang pintu, kedua tangannya terlipat di depan dada dan ia bersandar memperhatikan kelas Ulya 2A yang tak menyadari kehadirannya. Ralat, sesungguhnya mungkin mereka menyadari hanya saja tak peduli.

"Tugasnya dikumpulin," ucap Sena.

"Sopo nandur bagus, bakal panen ugo
Seneng ayem bahagia, anak putu sak kluargo ... lamun dadi penggede, printah anak buahe ... ojo nganti keras kaku, sak seneng karepe dewe ... dadiyo siro pelindung printah klawan kiro-kiro ..."

Sena menarik napas, lantas berjalan masuk. Dia mengambil penghapus whiteboard, lalu diketuk-ketukkan dengan keras di papan tulis. Sepertinya memang benar dengan rumor yang beredar bahwa kelas mereka memang tak pernah syahdu kecuali sedang belajar atau Imtihan saja.

Mereka lantas menghentikan salawatannya, dan dengan cepat Ihda memberi aba-aba untuk mengganti lagunya.

"Dia gadis berkerudung mustard, bawalah diriku padanya ... takkan habis ku berdoa jadi kekasih halalnya ...."

"Astagfirullah," desis Sena.

"Kalian semua diam dan dengarkan, kalau nggak nurut saya lapor Gus Hamdan!" Kali ini Sena benar-benar mengeraskan suaranya saat tak ada satu pun dari mereka yang menggubris ucapannya.

"Ada apa, Mbak? Dateng-dateng sewot," tanya vokalis samping Ihda.

"Tasrifan ra oleh, salawatan ra oleh, olehe opo toh? Ghibah ning pojokan? Ra asik blas!" desis yang lain.

"Tugas Kimia dikumpulkan sekarang," pinta Sena.

"Disuruh Kang Ghifar, Mbak?" tanya Ihda.

"Iya. Mana?"

"Di atas meja itu udah ditumpuk."

Sena berjalan ke arah meja hendak mengambil buku-buku bersampul cokelat yang telah ditata, tetapi pekerjaannya terjeda. Dia menatap santri-santri di depan yang masih memagang sapu, ember, dan bahkan centong nasi yang entah didapat dari mana.

"Setiap hari kerjaan kalian begini? Mengganggu kelas lain yang lagi belajar?" tanya Sena.

"Ya nggak lah, Mbak, hanya sesekali kalau latihan."

"Latihan buat apa?"

"Hadrah."

"Tapi kan ada waktunya sendiri. Bukannya udah ada jadwal latihan juga?"

"Aku bisikin ya, Mbak, sekarang ini mau pergantian jam pelajaran. Waktu lima belas menit itu kosong, jadi nggak masalah kalau mau konser di sini. Nanti kalau ada guru yang mulai mengajar, otomatis kita berhenti," kata salah satu santri yang masih memegang ember.

"Tapi kalian nggak tahu, kan, kalau misal di kelas lain ada yang lagi menghafal atau mengerjakan tugas? Saya harap kalian bisa lebih bersikap dewasa lagi. Kasihan kelas yang lain. Lebih baik kalian disukusikan fiqih dan latihan pada jadwalnya." Sena mengambil tumpukan buku-buku itu, lalu berjalan keluar meninggalkan kelas diikuti dengan bisikan-bisikan dari mereka.

Namun Sena tak peduli. Dia hanya perlu menyampaikan apa yang perlu disampaikan.

"Mbak Sena!" panggil seseorang.

Sena yang sudah berjalan di koridor segera berbalik, dan dia mendapati Ihda yang berdiri agak jauh darinya.

"Ada apa?" tanyanya.

"Aku minta bantuan eh Mbak," bisik Ihda.

"Bantuan apa?"

"Buatkan artikel, puisi dan gambar untuk mading kamar."

Sena mengerutkan dahinya, "Buat lomba Maulid?"

Ihda mengangguk cepat. "Jangan keras-keras."

Sena tertawa kecil, "Mana bisa? Itu sama aja main curang, Gus."

"Aku janji nanti nggak konser di kelas lagi. Tapi aku nggak janji kalau aku menepati janjiku," katanya enteng.

Sena mendengkus. Dia lantas terdiam sebentar, lalu akhirnya mengangguk. "Okey, besok saya berikan semuanya." Dia menyeringai lantas berjalan menjauhi Ihda.

Namun yang dipikirnya saat ini, bagaimana cara para santri itu sangat dekat tanpa canggung sedikit pun pada Ihda? Bahkan yang Sena rasakan dia pribadi sebenarnya merasa tak sopan berbicara dengan Ihda seperti tadi. Sena sendiri pernah satu kamar dengan seorang Ning, dan dia tahu bagaimana canggungnya harus mengobrol dan mengatur emosi di hadapan gadis itu.

🐝🐝

Gadis itu menaruh tumpukan buku di atas meja depan dapur. Dia tampak memperhatikan sekitar yang sepi, lalu berjalan masuk.

Di dalam ruangan yang luas itu penuh dengan alat-alat memasak berikut barang-barang dapur yang sangat lengkap.

Kakinya terseret pelan mencari keberadaan seseorang yang dicari. Seorang wanita 45 tahun yang Sena tahu dia akan memecahkan teka-teki hidupnya kini. Tak peduli siapa pun dia, apa pun latar belakangnya, Sena hanya membutuhkan ingatan masa lalu yang masih dia simpan hingga sekarang dan dia yakin itu.

Sesaat langkahnya berhenti saat tatapannya berserobok dengan wanita berkaus putih, baru saja keluar dari salah satu ruangan sembari membawa buku catatan.

Sena menyeringai mendapati wanita itu. Dia lantas merogoh sebuah kalung yang berliontin bulat dikelilingi oleh cincin, Saturnus tentu saja. Lalu mengangkatnya dengan tangan kanan. "Ingat ini, Ibu Titik yang terhormat?"

Sena melihat reaksi wanita yang terkejut saat diperlihatkan liontin saturnus kecil itu. Ekspresinya sakan berkata bahwa kehadiran Sena sangat tiba-tiba.

"Katakan tentang semuanya atau saya akan membongkar kebusukanmu, Ibu. Saya akan lapor bahwa anda adalah seorang pemb--"

"Saya tidak tahu. Saya tidak tahu tentang kalian. Itu sudah berjalan tujuh belas tahun dan kamu pikir saya masih ingat?" debatnya dengan wajah yang menyimpan kemarahan luar biasa.

"Dosa besar nggak mudah dilupakan, Bu." Sena tersenyum lebar.

"Kamu tak perlu mengancam saya. Saya nggak tahu apa-apa," belanya.

"Ibu Titik, ada lauk apa siang ini?" Tiba-tiba seseorang masuk.

Sena menoleh, dia mendapati Ning Mariyah dan bayinya yang digendong. Buru-buru gadis itu memasukkan kembali liontin ke dalam saku dan bersikap seolah tak ada apa-apa.

"Eh Sena? Ada apa di dapur?" tanya Ning Mariyah.

"Ah nggak apa-apa Ning." Sena langsung menyalami tangan lembut perempuan itu lantas pergi meninggalkan dapur untuk mengantarkan buku-buku di kantor.

Di tengah jalan, dia tersenyum puas. Setidaknya dia memang tak salah mengenai suatu objek. Panah yang diluncurkannya tak melesat dan tepat mengenai seseorang yang dimaksud. Mungkin, masih harus melakukan banyak langkah agar wanita itu mau membuka mulut dan Sena akan berusaha sampai titik di mana semua fakta terungkap dan wanita itu dikeluarkan dari pekerjaannya di sini.

Allah memang Maha Pemaaf, guru-guru pun mengajarkan semua santri untuk saling maaf dan memaafkan, tetapi sayangnya Sena tak mudah memaafkan kesalahan fatal yang menghancurkan hidupnya perlahan.




Apdet!

Bila ada kesalahan sampaikan dengan baik dan jangan lupa tinggalkan vote dan komen kalau mau yhahaha~

Oke, Salam!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro