Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 05 || H-6 Maulid Nabi

Kerapkali sibuk dengan ribuan ekspektasi dan melupakan kenyataan, bahwa sesungguhnya hidup tentang bangkit dari kekalahan.

"Gus, kumpul di aula," ucap santri putra yang baru saja berdiri di ambang pintu kamar pengurus.

"Kumpul maneh? Nyapo?" tanya Ihda yang sedang menyalin beberapa keterangan fiqih tempo lalu ke buku tebal khusus catatan pengantar ibadah itu.

"Maulid Nabi. Pean lapo toh Gus?" Seseorang bersarung batik cokelat serta berbaju koko putih itu mendekat ke arah Ihda yang tak memedulikan temannya, Abdul Malik.

"Lima menit dulu. Catatan bahtsul Masail yang udah dikumpulin dua tahunan ilang. Ke mana ya?" Ihda masih sibuk menulis.

"Nanti dicari, pasti ada. Nggak mungkin ilang."

Setelah menyelesaikan tugasnya, Ihda berdiri dan menaruh bukunya di atas lemari bersama dengan kitab-kitab lain yang tersusun rapi. Dia membenarkan sarung putihnya, lantas berjalan keluar untuk mengadakan rapat dengan panitia lain.

"Loh, bukannya anak Ula ada pertemuan sama Ustaz Musa, ya?" tanya Ihda setelah menghentikan langkah di kamar santri. Laki-laki berpeci hitam itu mendapati seorang santri yang masih sibuk membenarkan sarung di depan lemari.

"Nggeh, Gus. Nanti dulu. Sarungku dari tadi lepas terus," jawabnya.

"Oalah, belum bisa pakai sarung, Mal." Ihda berbisik.

Bagian keamanan itu lantas berjalan ke arah santri itu, "Sini tak ajarin." Ihda lantas membuatkan tutorial cara pemakaian sarung dengan benar dan kencang, serta memperhatikan bagaimana anak itu memakai sarung beberapa kali mengikuti petunjuk Ihda.

"Kalau kepanjangan, bagian atasnya bisa dilipet dulu biar nanti pas mau ngencengin gulungannya nggak terlalu gemuk. Ayo dicoba sekali lagi. Jangan lupa kanan kiri dilipat ke depan biar sarungnya jadi belah tengah," kata Ihda.

Anak itu melepas kembali gulungannya lantas mengulang dari awal dan melipat bagian atasnya, lalu dilipat-lipat ke bawah untuk mengencangkan bagian atas.

"Kencang?" tanya Ihda.

"Belum, Gus. Aku takut lepas lagi kayak ngaji waktu siang tadi."

"Ada yang tahu sarungmu lepas?" tanya Ihda.

"Nggak ada, Gus, karena udah kerasa jadi aku langsung lari ke kamar mandi."

Ihda tersenyum, "Ya udah sini saya pakaikan dulu, nanti abis itu bisa terbiasa kok. Paling enak pakai sarung. Nanti kamu tidur enak pakai sarung kalau udah kebiasaan."

Akhirnya Ihda memakaikan sarung pada anak itu, dan setelah mengucapkan terima kasih dia langsung pergi menuju kelas untuk kumpulan bersama anak-anak ula lain. Santri baru memang kerapkali belum terbiasa dengan adat salaf di sini. Bahkan memang sudah menjadi kebiasaan saat mereka kesulitan untuk memakai kain sarung. Dulu pun mungkin Ihda begitu. Dulu sekali mungkin. Karena sejak umur lima tahun, dia sudah terbiasa mengikuti ayah, kakak, serta sepupu-sepupunya sarungan di mana pun dan kapan pun bila waktu mendukung.

Setelah berjalan ke luar kamar, mereka berdua melangkah menelusuri panjangnya koridor menuju aula yang berada di ujung.

Santri-santri tampak sibuk berlalu lalang bersama teman-temannya. Bahkan ada yang sedang futsal di halaman depan masjid. Sebagian yang lain memilih untuk mengulang nadzom-nadzom dari Majmu kamil yang dipegangnya. Mereka tampak duduk di gazebo-gazebo sekitar danau, sudut kamar atau kursi-kursi yang berada di depan ruang-ruang. Ngaji bisa libur tapi setoran nadhoman tak memiliki istirahat.

"Keamanannya baru dateng, Rek," sindir seseorang ketika Ihda baru saja masuk ke dalam aula yang tak terlalu luas. Aula ini hanya digunakan untuk kumpulan-kumpulan kecil saja.

Ihda terkekeh, "Belum mulai a?"

"Belum, Gus. Nunggu njenengan."

Ihda lantas duduk di dekat pintu melengkapi lingakaran panitia yang telah duduk rapi memenuhi setiap sudut ruangan. Menjadi bagian Keamanan di sini, sesungguhnya Ihda sendiri tak begitu yakin dengan tugasnya. Kalau boleh ia tak ingin menjadi pengurus. Namun, ketika amanat itu harus diembannya, mau tak mau Ihda akhirnya masuk pada labirin peraturan yang lebih ketat.

"Bismillah, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu," ucap seorang ketua panitia pelaksanaan Maulid Nabi.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu," jawab mereka serempak.

"Ya langsung saja, karena kita sudah tahu minggu depan adalah puncak perayaan Maulid Nabi, kita pun telah menyusun semuanya. Jadi, apakah panitia sudah menyiapkan apa-apa yang dibutuhkan?" tanyanya sembari menyapu pandangan ke seluruh panitia lain.

"Sepertinya sudah semua. Dan hari ini pun nggak ada yang meralat pendaftaran lomba," sambar santri lain.

"Ah ya saya mau tanya, untuk mading kamar wajib, ya?" tanya Malik.

"Wajib lah, Mal. Nanti dinilai sama ustaz Dwi," jawab seseorang.

Ihda menyenggol kaki Malik. Dia tahu keresahan temannya karena hingga hari ini mereka belum sedikit pun memajang artikel atau apa pun tuk mengisi mading kamar yang masih kosong. Sedangkan mereka tahu bahwa mading-mading kamar lain telah terisi oleh banyak esai, puisi, gambar, atau artikel menarik dari anggota kamar yang menyumbang kekreatifitasan mereka.

Dan keadaan itu berbanding terbalik dengan anggota kamarnya yang tak bisa menggambar atau tak ada yang bisa berpuisi. Sepertinya memang tak ada titisan Nizar Qabbani di kamar itu.

"Santuy. Aku tahu caranya," bisik Ihda pada Malik.

"Piye?"

"Sek toh rausah gupuh."

"Gus Ihda, kado untuk juara-juara terbaik udah beli?" tanya ketua panitia.

Ihda mengacungkan jempolnya, "Belum. Santuy, besok beli."

Semua yang melihat kelakuan Ihda menggelengkan kepala. Sesungguhnya Ihda memang lebih pantas diamankan daripada menjadi bagian keamanan.

"Sama siapa, Gus?" tanya Malik lagi.

"Gusti Allah. Dia nggak akan meninggalkan hamba-Nya sendirian."

"Serius Gus," sergah bocah 16 tahun itu.

"Ya lapo lek dewekan? Raiso a?"

"Karo aku," katanya.

"Hidih, aku karo Mas Hamdan aja lah."

"Ya sudah, jadi saya hanya meminta kerjasamanya pada kalian semua dan saya harap semoga perayaan Maulid nanti berjalan dengan lancar. Dan karena sebentar lagi akan menghadapi pergantian pengurus, jadi saya minta agar kita lebih tertib lagi dan dipercaya kembali oleh Gus Hamdan," titahnya.

"Oalah mabuk jabatan, Rek," desis Malik.

"Hush ... Ojo ngono loh," tegur Ihda.

"Bener jareku toh."

Ihda tak menggubris. Dia kemudian menatap ke luar memperhatikan para santri yang sibuk mencari tempat lalaran di tempat-tempat tertentu. Sesungguhnya ada banyak santri Ulya yang tak dijadikan panitia dan sebenarnya Ihda iri dengan mereka. Lebih baik ia tak pernah bekerjasama. Namun, dia hanya mencoba mengiyakan apa-apa yang dikehendaki untuknya. Tak lebih dari itu.

Kini bukan hanya tentang Maulid atau peraturan pesantren saja. Ada fokus baru yang dia pikirkan tentang perempuan yang tiba-tiba menegurnya di depan kelas. Dia tak mengenalnya lebih dari tahu sekadar nama, tetapi Ihda merasakan hal pasti yang mulai mengganggu ruang terdalamnya.

Pikiran miliknya sangat berisik dan sesungguhnya dia membutuhkan waktu barang sebentar untuk menenangkan dan mengembalikan kesadaran yang mulai bepergian bebas entah ke mana.

"Aku izin ke kamar duluan," ucap Ihda memecah keheningan para panitia yang masih fokus mendengar arahan ketua. Detik berikutnya dia langsung bangkit dan berjalan cepat meninggalkan aula menuju kamar sekadar mengambil majmu' kamil nadham.

Lantas kakinya mengambil sandal hitam, lalu berjalan ke arah menara air yang terdapat tepat di sebelah masjid.

Laki-laki setinggi 165 sentimeter itu lantas duduk di sana sembari menatap hamparan sawah dari balik celah-celah gerbang besi setinggi lima meter. Angin dari pesawahan masuk menampar lembut wajahnya dan dia mulai membuka bait-bait akhir Alfiyah Ibnu Malik yang entah akan disetorkan kapan.

Sesungguhnya hanya membutuhkan waktu kurang dari satu tahun dia berhasil menghafal 1002 bait kaidah tata bahasa Arab itu. Hanya saja tahun sekarang dan tahun depan dia harus mengulang dan menyetor hafalannya agar tak lupa saat khataman akhirussanah nanti. Dan lagi, masih ada bab-bab dalam Alfiyah yang belum tuntas diterangkan. Dan di sinilah tempat favoritnya menghafal.

Terlebih bila musim panen seperti ini, Ihda paling suka melihat pemandangan para petani yang memaneni sawah di sana. Meski tak jarang dia dan beberapa teman dipinta untuk menanam padi di sawah pesantren, selalu saja pemandangan di sana menyejukkan matanya.

"Maem sek, Gus. Rajin tenan mbe dadi wali a?" tegur seseorang.

Ihda menoleh, dia mendapati beberapa teman kamar yang kemudian ikut serta duduk membuat lingkaran di bawah menara air. Termasuk di sana ada Malik. Sejak anak baru mereka bertujuh memang sering berkumpul di sini untuk menghafal. Karena saat panas tiba, menara air melindungi mereka dari sinar matahari.

"Kumpulannya udahan?" Ihda mencium nadhomnya lalu menutup kitab kuning kecil itu setelah nampan nasi dengan lauk tahu kecap diletakkan di depannya.

"Udahlah, Gus. Yakali ampe magrib. Bosen banget perasaan tiap kumpul bahasnya itu-itu aja." Salah satu dari mereka yang memakai sarung putih, duduk di sebelah Ihda mendumal.

"Wes tah sing penting Maulidan lancar. Siapa yang peduli ketuanya siapa yang penting aku vokalis hadroh." Ihda bangkit menuju keran yang berada tak jauh dari menara air, mencuci tangan lalu bergabung dengan mereka.

Makan sore sembari ditemani embusan angin dari sawah memang luar biasa. Apalagi ditambah nikmatnya kebersamaan yang tak pernah terpisah. Maka sungguh, nikmat Tuhan mana yang didustakan? Ketika Allah memberi kesempatan pada mereka menuntut ilmu di tempat yang baik, membiarkan mereka saling kenal mengenal tanpa peduli suku dan ras, ketika mereka diberi suatu ujian lalu dibekali tumpukan jalan keluar, maka sungguh takdir manakah yang harus mereka tolak. Bahwa Tuhan adalah sang pembuat skenario paling indah lagi sempurna.




Update!

Bila ada salah sampaikan dengan baik. Sila tinggalkan vote dan komentarnya kalau mau.

Salam ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro