Bab 04 || Belum Tuntas
Dan aku berlindung pada Tuhan dari ingatan masa lalu yang kerapkali menyakitkan.
Di balkon lantai dua rumah asrama, Sena memindahkan jemuran miliknya yang masih lembab, ke dalam yang terlindungi atap. Mendung di atas sana tampak mendominasi warna langit yang sebelumnya putih bersih dan sekarang berubah abu tua.
Selain memasukan jemuran miliknya, dia juga memasukkan jemuran ustazah lain dan memutuskan untuk berdiri di balkon walau sebentar setelah pekerjaan usai. Dari atas sini, tembok pembatas tampak jelas terlihat melindungi dua rumah khusus ustazah dari sentuhan luar.
Lalu di luar tembok tampak gedung-gedung organisasi dan dari sini pula Sena dapat melihat masjid besar Ibnu Rusyd yang dikelilingi empat menara tinggi berwarna cokelat tentu saja yang pernah dilihatnya dari luar.
Sepanjang mata memandang tak dilihat satu pohon pun kecuali rumput-rumput yang tumbuh di jendela kamar mandi yang dilihatnya pagi tadi. Mungkin karena di sana selalu lembab, tumbuhan kecil itu merasa memiliki kesempatan untuk menampakkan dirinya.
Sayup-sayup angin yang tak terlalu menyejukkan menampar wajahnya yang cenderung tampak pucat. Sena memiliki kulit seputih susu, bulu matanya lebat tapi tak lentik, begitu pun alisnya lumayan tipis. Hidungnya cukup mancung dan warna bibirnya sangat pias. Sena yang hanya menyukai lipstik warna merah, lebih sering membiarkan bibirnya tak dipoles apa pun karena pesantren memiliki peraturan untuk tak pernah memakai make-up secara berlebihan. Ada batas-batas yang memang harus dipatuhi, dan karenanya ia tak berani memakai warna yang melambangkan keberanian itu. Entahlah, warna merah hanya membuatnya terlihat percaya diri.
Dalam diam gadis itu mengingat tentang misi utamanya ke sini, tetapi hingga di hari ke tiga, Sena belum juga mendapat kesempatan untuk mencaritahu jawaban atas pertanyaan miliknya. Tepatnya, dia belum menemukan sesuatu yang dicarinya.
"Avicenna!" panggil seseorang.
Gadis berjilbab merah muda itu menoleh, "Mbak Nada, ada apa?" tanya Sena mendapati perempuan berdaster jingga yang baru saja menyembul dari dalam.
"Dipanggil Ning Mariyah di kantor. Ada Gus Hamdan juga. Kamu belum bertemu mereka, kan?" tanya Nada setelah berdiri di depan Sena.
"Iya belum, Mbak. Saya ke sana sekarang, ya," pamitnya kemudian.
"Okey, jangan lupa bawa payung, Na. Nanti takut pulangnya hujan."
"Iya, Mbak."
Sena lantas berjalan ke arah tangga dan menuruni anak tangga kecil itu satu per satu. Dia tak mengerti maksud Gus Hamdan memanggilnya, hanya saja tugas seorang santri adalah menuruti perintah sang guru selagi tak bertentangan dengan kebaikan. Itulah yang selalu Sena terapkan hingga kapan pun.
Kerapkali hal-hal kecil dapat menghasilkan rida bila dilakukan dengan ikhlas dan sesungguhnya hanya sedikit saja yang menyadari.
🐝🐝
Di depan kantor, perempuan bergamis maroon itu duduk di kursi kayu menunggu seseorang yang memanggilnya ke sini sepuluh menit lalu.
Gerimis mulai membasahi tanah yang terhampar di depan kantor. Sena bangkit, lantas berjalan dan berdiri di teras menghirup aroma patrikor yang mulai menyegarkan indera penciumannya.
Seingatnya, bulan sekarang belum saatnya musim hujan. Namun Tuhan tak akan pernah salah jadwal menurunkan rizki pada hamba-Nya. Enam belas tahun lalu, mungkin rintikan yang jatuh dari langit ini menjadi saksi atas kesendirian yang dirasakan Sena di balik selimut putih kecil yang masih disimpannya. Namun, seberapa pun badai kehidupan menghantam ketika hujan, Sena tak akan pernah membenci rahmat Tuhan. Toh segala sesuatu akan kejadian bila memang saatnya kejadian, tak mengenal keadaan, tak mengenal bagaimana saat itu waktu mempermainkan karena takdir telah terencanakan.
Tak lama kemudian, sepasang suami istri yang sangat Sena kenal datang bersamaan di bawah payung yang sama.
Sena langsung bersikap sopan saat sepasang suami istri itu mulai menaiki lantai kantor yang sedikit basah terkena tetesan-tetesan gerimis yang mulai menghilangkan jeda.
"Sena, ayo masuk ke dalem," ucap Ning Mariyah, istri Gus Hamdan.
"Iya, Ning." Sena langsung mengangguk, kemudian mengikuti langkah dua manusia di depannya yang mulai memasuki kantor.
Udara di dalam semakin terasa dingin dan Sena memutuskan duduk di depan Gus Hamdan dan Ning Mariyah setelah mereka mempersilakan dia duduk di sofa depannya. Di dalam ruang kerja ini tak ramai asatizah kecuali dua saja yang masih sibuk dengan laptopnya.
Gadis itu meletakkan kedua tangannya di atas paha dengan sikap sopan dan pandangan menunduk. Semoga saja dia tak dipindahkan ke pesantren lain karena seungguhnya Sena hanya ingin di sini.
"Avicenna Szandra Sarvanez, sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat datang di pesantren Ibnu Rusyd. Bagaimana kabarmu hari ini?" Laki-laki berpeci hitam itu membuka percakapan. Ya, Gus Hamdan. Muhammad Hamdan selaku pengasuh pesantren Ibnu Rusyd.
"Sebelumnya terima kasih, Gus, sudah menerima saya atas surat rekomendasi yang pesantren Umar bin Khattab berikan. Dan alhamdulillah kabar saya baik." Sesekali Sena mendongakkan kepalanya, tersenyum juga ke arah Ning Mariyah yang duduk di sebelah Gus Hamdan.
"Bagaimana perkenalan dengan santri putra?" lanjutnya.
"Alhamdulillah semuanya lancar, Gus."
"Sena, jangan ragu untuk melaporkan apa pun kalau kamu merasa dirugikan atau naudzubillah misal terjadi sesuatu padamu di luar nalar. Tapi insya Allah saya bisa menjamin bahwa mereka lebih baik dan mereka mengerti bagaimana cara menghormati. Kecuali mungkin sebagian kecil, karena selalu saja ada santri yang butuh didikan lebih," kata Hamdan.
"Apa sebelumnya kamu tahu, Na, bahwa pesantren ini khusus putra?" tanya Mariyah.
"Sama sekali tidak, Ning. Saya hanya ingin ditempatkan di Jatim atau Jateng, dan Gus Ismail memberikan rekomendasi ke sini. Dan ini sangat tepat," jawab Sena ramah.
"Alhamdulillah kalau begitu," ucap Mariyah.
"Ya, untung saja Abi merekomendasikan kamu ke sini di waktu yang tepat. Dan tadi juga Abi bilang kalau ada angkatan kalian yang mau mengabdi di sini juga," kata Hamdan.
"Perempuan kan, Gus?" Sena berpura-pura antusias. Walau dalam relung terdalam ia tak suka mendengar kabar itu.
"Laki-laki. Saya juga belum kenal dan katanya datang lusa insya Allah."
Sesungguhnya kalau perempuan, Sena memang merasa tidak aman. Walau bagaimana pun kedatangannya ke sini bukan murni hanya sebatas menginginkan syahadah saja. Tetapi ada misi lain yang tak boleh diketahui oleh teman angkatannya. Dan mendengar bahwa yang datang adalah laki-laki, membuat Sena merasa sedikit aman. Setidaknya dia tak akan mengganggu.
"Ya Sena, mungkin kamu perlu tahu tentang pesantren ini dan sejarahnya. Pesantren Ibnu Rusyd yang berada di Kilometer 14 ini tepat dengan tanggal lahir filsuf tersebut yang dilahirkan di Andalusia. Dan kalau kamu pernah melihat empat menara yang mengelilingi masjid, itu adalah lambang bulan lahir Ibnu Rusyd, yaitu bulan empat. April." Hamdan mulai bercerita. Dan Sena mendengarkan dengan fokus.
"Nama pesantren Ibnu Rusyd sesungguhnya diambil dari Kiai terdahulu yang juga bernama Ibnu Rusyd bin Abdul Aziz. Beliau sangat mengagumi pemikiran Ibnu Rusyd hingga akhirnya mendirikan pesantren yang diambil dari nama ilmuwan itu, ya sekaligus nama beliau sendiri. Hingga akhirnya pesantren yang telah berdiri 80 tahun ini sampai juga pada saya yang hari ini harus mengemban amanat untuk mengasuhnya. Sebelum saya tentu saja diasuh oleh ayah Ning Mariyah, Kiai Abdul Wahab yang masih bisa kita temui bila ngaji Tafsir bersama.
"Dan itu sedikit gambaran agar kamu mulai memiliki penjelasan tentang asrama yang kamu tinggali ini. Untuk lebih tahu selengkapnya, kamu bisa melihat bagaimana sejarah panjang tentang pesantren Ibnu Rusyd pada profil yang terdapat di dinding mading pusat. Selain itu kami juga mengabadikannya di dinding kantor.
"Dan saya akan memberitahumu bahwa minggu depan akan dilaksanakan Maulid Nabi. Dan sepertinya empat hari lagi Diniyah akan diliburkan karena ada perlombaan. Dan Sena, kalau anak-anak wustha butuh bantuamu, tolong bantu mereka, ya."
"Iya, Gus. Dengan senang hati saya akan membantunya kalau mereka memang membutuhkan. Saya hanya meyakini bahwa mereka itu sangat kreatif." Sena tersenyum.
"Dan Gus, saya boleh tanya sesuatu?" lanjut Sena ragu-ragu.
"Silakan," jawab pria bersarung hitam serta berkaus biru muda itu.
"Apakah Gus Hamdan nggak akan ke Umar lagi?"
Hamdan tertawa kecil. "Di Umar itu sebenarnya tugas adik saya. Cuma karena dia masih lanjutin studi, jadi saya masih harus bolak-balik bantu abi. Ya setidaknya sampe dia bener-bener pulang."
"Oh iya saya paham, Gus."
Setelah mengobrol tentang beberapa peraturan dan tentang pesantren tentu saja, Sena akhirnya boleh kembali ke asrama saat gerimis akhirnya kembali reda. Mendung pun perlahan pergi dan dia kembali pada misi awal untuk melebur pada ustazah lain membicarakan tentang Maulid nanti tentu saja.
Dan lagi, sepertinya Sena mulai tertarik dengan Ibnu Rusyd yang sebelumnya tak pernah dikajinya. Nanti, dia akan mencoba menyelami pemikiran filsuf sekaligus ilmuwan dalam banyak bidang.
Update!
Yap silakan vote dan komentarnya kalau mau, kalau nggak ya terserah ndak apa.
Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik dan sepertinya di tulisan kali ini saya akan mencoba bahas Ibnu Rusyd yang pemikirannya keren banget astaga.
Oke, Salam!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro