Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 03 || Zain Bukan Zayn

Namun, nahasnya rasa tak mengenal waktu. Ia datang lalu semena-mena mengungkap rindu.


Setelah mengkaji ulang kitab miliknya semalaman, hari ini Sena bersiap meluncur ke kelas Diniyah putra. Usai memakai gamis biru muda dan jilbab hitam, dia memakai kaos kaki dan mulai keluar kamar menuju gedung yang berada di belakang. Sejujurnya, kelas sudah akan berakhir lima belas menit lagi karena tadi dia baru selesai membantu di kantor. Namun, hari ini dia harus datang walau hanya melakukan perkenalan.

Hanya tiga jam saja dia tertidur semalam. Mungkin, baginya sudah cukup.

Langkahnya terayun ke belakang. Pesantren ini sangat luas, lahan kosong terhampar seperti sebuah gurun. Namun, kali ini pandangan Sena mendapati beberapa pohon mangga yang tumbuh di depan kelas-kelas. Gedung-gedung terpisah menjadi beberapa bagian. Sesungguhnya Sena belum terlalu mengetahui letak kelas Wustha dan dia hanya mencoba mengingat petunjuk jalan dari Nada malam tadi.

Udara siang tak terlalu asri. Bahkan bila mau membandingkan, Sena lebih suka suasana Umar yang tetap sejuk meski siang. Namun, setiap tempat selalu memiliki kekurangan dan kelebihan dan Sena hanya akan mencari kelebihan dari tempat yang akan menampungnya selama setahun ke depan.

Gadis itu mulai melihat gedung letter U yang berada di depan matanya. Suara lalaran dan mutala'ah terdengar nyaring memecah terik mentari yang semakin bersinar panas.

Sena berjalan mendekati tangga yang berada di ujung gedung. Bahkan anak tangga itu sepertinya sengaja tak diberi kramik selain hanya terlapis semen dan dicat cokelat muda sederhana saja. Kemudian, Sena mulai menaiki anak tangga itu hingga akhirnya dia sampai di koridor lantai dua.

Deretan kelas-kelas wustha terlihat melalui papan kecil yang menggantung di pintu-pintu. Sedangkan bila melihat ke ujung ruangan, di sana terdapat jembatan yang menghubungkan ke gedung di depannya.

Sena melihat ke bawah sebentar. Perpaduan gedung cokelat muda dan hamparan tanah di bawah yang memiliki warna senada, lagi-lagi membangkitkannya akan ingatan potret-potret bangunan Timur Tengah yang beberapa kali dilihatnya melalui selebaran media sosial. Semakin banyak mendapati, Sena semakin yakin tempat ini benar-benar seperti tidak berada di bawah langit Indonesia. Namun demikian, di tengah lapangan gedung terdapat sebuah tiang tinggi yang mengibarkan merah putih dengan gagah.

Sena lantas berbalik setelah beberapa menit sempat mengagumi suasana gersang ini. Dia lantas berjalan ke arah Wustha 2B yang terdengar lumayan berisik.

"Assalamualaikum," ucap Sena setelah kedua kakinya telah benar-benar menginjak kelas yang berisikan sekitar 25 murid itu.

"Waalaikumussalam." Mereka menjawab serempak, agak ragu.

Beberapa santri yang tadi sempat mengobrol dengan teman lainnya, langsung duduk di bangku masing-masing. Mereka semua memakai sarung cokelat tua, kemeja putih panjang dan peci hitam sesuai jadwal hari senin sekolah Diniyah.

Sena tersenyum. Sejujurnya dia masih tak habis pikir harus mendapat jadwal mengajar anak putra. Pasalnya, dia harus menyiapkan keberanian lebih atau tepatnya ketegasan menghadapi mereka. Semoga saja santri Wustha di sini lebih lembut daripada di Umar.

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Avicenna Szandra Sarvanez dan kehadiran saya di sini untuk menggantikan Ustaz Hanif mengajar Bulughul Maram sesuai jadwal yang telah tertera," ucap Sena to the point. Bahkan dia tak berniat untuk basa-basi terlebih dahulu.

"Saya alumnus pesantren Umar bin Khattab dan mengabdi di sini selama setahun ke depan. Jadi, tahun ini insya kalian full belajar dengan saya. Ada pun sebenarnya saya masih belajar dan kita sama-sama belajar untuk mempelajari hadist-hadist ini.

"Mungkin, ada yang ingin kalian tanyakan?" tanya Sena pada mereka. Tatapan-tatapan yang mengarah padanya masih sebatas ketidakpercayaan para santri saat pesantren harus mendatangkan guru perempuan sebagai pengganti sementara ustaz Hanif, dan barangkali mereka masih belum percaya itu.

"Mbak, maaf sebelumnya, tapi kita nggak terbiasa diajar oleh perempuan," kata salah satu dari mereka yang duduk di bangku depan, dekat dinding.

Sena tersenyum berusaha memaklumi, "Ya, saya mengerti dan saya hanya sementara. Untuk itu saya minta kerjasamanya agar kita saling menghargai satu sama lain."

"Fa'ala fa'alaa fa'aluu ... Fa'alats fa'alata fa'alnaa ... Fa'alta fa'altuma fa'altum fa'alti fa'altuma fa'altunna fa'altu fa'alna ... fa'altu fa'alna ...."

Sena mengerutkan dahi saat indera pendengarannya menangkap berisik dari luar. Kakinya lantas melangkah ke pintu dan melihat sekumpulan santri yang tengah melakukan konser di depan kelas seberang yang dapat dilihatnya dari sini.

Mereka tampak menabuh beberapa barang-barang dari dapur seperti baskom, panci, sendok, gayung dan sapu dijadikan mikrofon oleh kedua santri yang memiliki suara lantang itu.

"Mereka itu sering tasrifan di sembarang waktu?" tanya Sena setelah berbalik menghadap anak-anak wustha.

"Sering, Mbak. Kalau istirahat kelas itu emang paling ramai, tapi kalau lagi belajar ya mereka belajar. Mungkin karena kelas lain udah istirahat juga, jadi mulai berisik."

Tanpa membalas ucapan mereka, Sena memutuskan untuk berjalan ke luar dan melangkah ke arah mereka melalui jembatan yang menghubungkan kelas Wustha dan Ulya.

Semua santri Wustha yang ditinggalnya memperhatikan Sena dari dalam ruangan, sedangkan santri-santri lain sudah mulai meninggalkan kelas kembali ke asrama untuk menunaikan dhuha dan sarapan yang tertunda.

"Fa'ala fiil madhi ... Yaf'ulu fiil mudhari ... Fa'lan mashdar wa maf'alan masdar mim ... Fahua isim dom ...." Mereka tak melanjutkan kalimat setelahnya karena menangkap sosok perempuan yang berjalan sembari membawa tongkat kayu di jembatan sana. Teman-teman yang masih menetap di kelas, memperhatikan dari balik kaca jendela, menyaksikan kejadian yang tak pernah dilihat sebelumnya. 

"Lain kali suaranya bisa dikecilkan? Nggak apa kalau mau tasrifan, tapi kalian salah waktu." Sena berdiri di depan santri yang berjumlah sekitar delapan orang itu.

"Kamu siapa? Lagian mereka semua lagi istirahat, jadi kita nggak ganggu pembelajaran," dalih salah satu dari mereka.

"Tapi kalian nggak tahu, kan, kalau masih ada yang belajar?"

"Kelas mana?" tanya laki-laki ber-name tag M Ihda HLZ itu. Dia yang masih memegang sapu tampak tak suka dengan teguran dari bibir Sena. 

Sena yang melihat name-tag itu tampak terkejut. Dia lantas memandang Ihda singkat. Laki-laki berkulit sawo matang itu memiliki rambut yang ikal, alis tebal, hidung mancung serta bibir pias. Kedua matanya tajam dan mengingatkan Sena pada seseorang yang memiliki kedua mata yang sama dengan laki-laki itu.

"Siapa nama lengkapmu?" Sena memberanikan diri untuk memastikan.

"Muhammad Ihda Hamlu Liwaissunnati Zain bin Muhammad Saif Adam bin Muhammad Usman bin Al-Iraqi bin Muhammad Ali bin Muhammad Manan. Aku hafalnya sampai segitu. Apa? Ada yang aneh?" tanya laki-laki enam belas tahun itu.

Sena menelan saliva susah payah saat mengetahui bahwa dia adalah keponakan Gus-nya. Benar-benar di luar dugaan bila Sena harus berurusan dengan anak berkulit sawo matang itu.

Bila melihat kelas yang ditempatinya saat ini, Ihda berada di kelas Ulya 2A. Dan tahun depan dia naik kelas Ulya 3 kemudian lulus. 

"Sebelumnya maaf kalau kedatangan saya mengganggu kalian. Tapi apakah tidak melihat bahwa kelas wustha 2B masih belajar, dan suara kalian mengganggu mereka?"

"Memangnya kamu siapa ngatur-ngatur hidup kami?" tanya seorang santri yang memegang baskom di belakang Ihda.

"Saya sedang mengabdi di sini."

"Hah? Mbak kalau mau bohong cari referensi dulu yang bener biar tahu fakta bahwa pesantren kami nggak pernah mendatangkan guru perempuan. Ini pesantren khusus putra, ada pun ustazah hanya sibuk di TU. Astagfirullah ngada-ada aja," kata yang lain.

"Silakan kalau kalian nggak percaya, tapi itulah kenyataannya. Jadi, kalian bisa kembali ke asrama untuk melaksanakan dhuha. Itu lebih baik daripada bikin gaduh.

"Dan lagi kalian udah mustawa Ulya, berprilakulah seperti Ulya, bukan seperti anak Ula. Paham? Saya rasa tasrifan yang kalian kumandangkan tadi sudah di luar kepala, kalau pun mau mengingat kembali alangkah lebih baik lakukan di dalam hati saja."

"Ya maka dari itu di luar kepala harus diambil lagi, Mbak, biar masuk ke dalam kepala."

"Saya sedang tidak bercanda!"

"Cantik-cantik ojo spaneng eh, Mbak," kata seseorang di sebelah Ihda.

"Iya. Nggak asik," desis Ihda kemudian.

"Dan kepada Gus Ihda yang terhormat, mungkin Gus bisa ajakin mereka salat dengan kembali ke asrama." Sena tersenyum.

"Bisa sih, tapi nama panggilan saya bukan Ihda. Tapi Zain. Karena adiknya Zain Malik."

"Oalah, ngayale ra entek-entek," sindir temannya.

"Itu Zayn," kritik Sena.

"Suka-suka lah, kalau kakak adik sama persis nanti tertukar," debat Ihda.

"Okey, tak perlu diperpanjang. Sekali lagi saya mengingatkan pada kalian agar kembali ke asrama atau tetep di sini asal tidak berisik." Sena memandang ke arah mereka, lalu berbalik tak peduli dengan ocehan mereka setelahnya.

"Mbak!" panggil Ihda.

Sena menoleh.

"Nggak jadi." Ihda tertawa kecil. Hendak menyampaikan sesuatu pun tak enakan dengan yang lain.

Sena tersenyum singkat, lalu kembali berjalan di atas jembatan.

Suara pukulan kayu pada baskom terdengar keras. Sekali. Sena menghela napas, lalu kembali ke dalam untuk melanjutkan memberi arahan baru pada mereka.




Update!

Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik dan jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya kalau mau.

Follow dulu gaess

Salam!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro