Bab 02 || Bersosialisasi
Adalah sebuah kekosongan saat kau berharap tanpa mengiblatkan hatimu pada Tuhan.
Selepas dari kantor, Sena berjalan bersama Nada sembari menarik kopernya menuju bangunan yang berada di salah satu sudut asrama.
Dua rumah berdiri tegak di belakang ruang-ruang Organisasi santri, dan di salah satu rumah itulah Sena akan tinggal di dalamnya. Pelataran terlihat lumayan luas dan ditambah pagar cokelat muda yang melindungi.
"Kamar anak putra di mana?" tanya Sena.
"Jauh, Na. Deretan gedung yang kamu lihat itu hanya ruang Organisasi. Di depan sana ada kelas Diniyah, sedangkan kamar-kamar mereka sekitar lima puluh meter dari gedung-gedung kelas. Walau pun kami berada di area putra, tapi di sini sangat aman." Nada berusaha bersikap hangat padanya dan menunjukkan banyak hal yang tak Sena ketahui.
Sena mengangguk-angguk berusaha paham.
Nada kemudian membuka gerbang rumah dan mengajak Sena masuk. Kedua rumah yang dilihatnya kini berwarna senada dengan gedung-gedung di sini, dan Sena dibawa ke salah satu rumah itu.
"Nanti kamu sekamar dengan saya. Sekarang nggak papa istirahat dulu dan masukkan saja barang-barangmu ke lemari di sebelah saya." Nada membuka pintu kamar, lalu mengajak Sena ke dalam.
Di sana tampak beberapa tumpukkan kasur yang disusun rapi dekat dinding. Kamar itu didominasi putih, sedangkan pada salah satu dindingnya terdapat beberapa poster pemandangan-pemandangan suatu negara, dan kertas-kertas yang bertuliskan harapan-harapan anggota kamar itu. Mungkin saja, karena Sena hanya mencoba menebak.
"Mbak Nada jadi bagian TU di sini sejak kapan?" tanya Sena setelah duduk di atas lantai, dekat kasur.
"Udah dua tahun saya di sini. Tadinya mau setahun aja sih, tapi tempat ini terlalu manis buat ditinggalin." Nada mengambil kresek hitam dari dalam lemari kayu, lalu menaruhnya di rak kecil sebelah pintu.
"Nanti kalau mau makan, makan yang ada dulu, ya. Kami semua belum makan sore dan nanti malam kita makan bersama," kata Nada.
Menurut Sena, Nada memiliki wajah yang manis. Ia selalu memamerkan kedua lesung pipit di pipi. Memiliki bentuk wajah bulat, pipi tembem, dan hidung yang lumayan mancung. Kulitnya cemderung sawo matang dan dia memiliki tinggi sekitar 158 sentimeter.
"Kamu istirahat, ya dan saya mau kembali ke kantor."
"Iya, Mbak. Makasih, ya."
Setelah Nada keluar kamar, Sena membuka koper dan menaruh barang-barang di lemari yang berada di sebelah lemari milik Nada. Rasanya masih seperti mimpi saat ia harus ditempatkan pada pesantren yang bahkan sebelumnya tak pernah dibayangkan. Ah bukannya tak pernah dibayangkan, hanya saja ia masih tak habis pikir bahwa pesantren ini diasuh oleh putra Gus-nya.
Sena memang tak pernah tahu tentang banyaknya fakta-fakta keluarga ndalem. Dia bukan santri ndalem yang dekat dengan keluarga Gus Ismail, maka dari itu dia tak mengerti tentang pesantren yang diasuh oleh Gus Hamdan saat ini. Namun yang jelas, pesantren ini bukanlah cabang Nadwatul Ummah dan Sena yakin itu.
Gadis itu melepas jilbab, lalu menaruh di pintu lemari. Beberapa kitab dan buku yang dibawanya ia taruh di bagian atas, lantas menaruh koper tersebut di pojokan kamar setelah beberapa setel pakaiannya telah masuk di kotak-kotak kayu yang kokoh.
Kamar seluas 7X8 ini bisa menjadi tempat sangat luas bila ditempati oleh mereka berdua saja. Namun, melihat empat lemari lain yang berjajar, Sena memang harus berlatih menjadi santri lagi dengan membagi tempat tidur pada yang lain.
Namun, tempat ini sangat bersih dan Sena suka itu.
🐝🐝
Sayup-sayup, azan Maghrib berkumandang terdengar sangat lantang dan merdu. Sena yang baru selesai mandi, langsung kembali ke kamar dan menunggu Nada. Ia tak tahu hendak melakukan apa selain berencana bahwa malam akan kembali mengkaji kitab Bulughul Maram-nya. Sesungguhnya jiwa terdalam menginginkan mengajar Safinah atau Aqidatul Awam saja, tetapi semesta selalu memiliki kehendak lain.
"Sena, ayo ambil makan." Tiba-tiba seseorang menyembul dari balik pintu. Senyumnya terlihat lebar menyaksikan Sena yang masih terdiam.
"Ah iya, Mbak. Yang lain belum pulang?" tanya Sena.
"Yang lain pada salat dulu. Saya lagi halangan jadi langsung makan. Kalau mau salat dulu nggak apa jamaah di aula, Na," kata Nada.
"Saya juga lagi halangan, Mbak."
"Wah kebetulan. Ayo yuk langsung makan."
Gadis berdaster biru muda itu langsung berdiri, berjalan ke arah lemari mengambil jilbab biru polos dan memakainya kemudian.
Setelah bersiap, mereka langsung keluar rumah dan berjalan keluar entah ke mana.
"Eh Avicenna, kamu beneran berani ngajar anak putra?" tanya gadis berkulit sawo matang itu.
Sena menoleh, "Berani aja sih, Mbak. Lagian masih tua saya daripada mereka. Anggep aja adik sendiri. Karena kalau nggak gini nanti saya gagal dapetin syahadah," sahutnya.
"Ya pokoknya nanti yang sabar aja. Karena bagaimana pun kamu adalah pertama. Sebenernya Ning Mariyah juga pernah ngajar, sih, Na. Cuma ya dalam hal menggantikan Gus Hamdan aja. Sekali dua kali doang. Kamu kenal Gus Hamdan pasti."
"Iya, Mbak. Pernah ketemu juga kalau beliau main ke Abah Ismail."
"Mondok di sana enak, ya?"
Sena mengangguk cepat. "Sekarang masih enak. Tapi kayaknya kalau udah diganti adiknya Gus Hamdan bakal banyak peraturan baru yang lebih ketat. Untung saya lulus duluan."
"Kamu nggak suka peraturan, Na?"
Sena tertawa nyaring, "Ya gitu lah, Mbak. Pokoknya selama masih batas wajar sih selow, tapi kalau adiknya Gus Hamdan itu lumayan galak."
"Kamu pernah dihukum?"
"Pernah, Mbak. Waktu itu jadwal Gus Ismail, tapi mendadak diganti beliau. Saya ketiduran tuh di tengah maknain kitab. Eh tiba-tiba ditanya dan pas nggak bisa jawab langsung disuruh berdiri di depan papan tulis. Udah mah waktu itu ngaji dicampur putra-putri. Ah, pokoknya kadang saya takut sama beliau."
"Ya ampun ada-ada aja, ya. Tapi hal-hal kecil begitu loh yang nanti bikin kangen kalau udah bener-bener keluar dari pondok."
"Iya, Mbak, bener banget."
Mereka lantas tertawa. Sena hanya bersyukur bahwa Nada bisa berteman dengannya walau mereka baru kenal beberapa jam saja. Perempuan bermata almond itu begitu hangat dan membuat Sena tak kesepian di tempat asing ini.
"Aku loh seneng waktu kamu tadi ke sini. Ngerasa ada temen. Karena selama ini aku main sama ustazah-ustazah yang lebih dewasa. Kadang aku masih kayak anak kecil," kata Nada ketika mereka masih berjalan melewati jalan setapak menuju dapur.
"Yang paling muda usia berapa, Mbak?"
"Dua empat sih kayaknya. Pokoknya mereka kalau udah mau nikah ya keluar. Tapi kadang dapet jodohnya pada di sini dan akhirnya tinggal di sini." Nada tertawa.
Sena mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian menyapu pandangan ke seluruh bangunan cokelat muda yang terhampar di atas tanah yang kering. Tak ada pepohonan kecuali beberapa pohon mangga yang tumbuh di beberapa titik.
Namun, udara petang yang bersahabat ini cukup menjadi pengingat bahwa Sena tak benar-benar berada di luar negeri.
Tak lama kemudian mereka sampai di depan sebuah bangunan tak terlalu besar. Di depannya terdapat sebuah meja yang diisi sebuah wadah putih berisi nasi dan lauk di baskom.
Sena berjalan masuk menuju pintu dapur yang terbuka melupakan tugasnya mengambil nasi di depan meja. Bagi Sena, ada sesuatu yang lebih penting daripada mengambil makanan saat ini.
"Sena, mau ambil air panas?" tanya Nada.
Sena yang baru saja sampai di pintu menoleh. Dia lantas tersenyum dan langsung berbalik menghampiri Nada. Pikirnya, mungkin tidak sekarang untuk mencari jawaban dari pertanyaan sejak dua belas tahun lalu. "Enggak kok, Mbak. Ayo lauknya saya yang bawa." Dia mengambil baskom hijau berisi sayur tahu lantas membawanya kembali ke rumah bersama Nada yang membawa nasi.
Inget Avicenna, ini masih permulaan. Sena membatin.
Katanya, setiap jadwal makan, dua orang dari mereka memang bertugas mengambil sendiri. Kadangkala diantar oleh santri putra, tetapi hanya sampai depan gerbang rumah saja karena mereka tak akan pernah berani masuk. Dan selama Nada di sini, memang tak pernah ada kejadian yang tak diinginkan.
"Terus, Mbak, kita ngaji nggak?" tanya Sena setelah kembali berjalan menuju asrama. Dia hanya berusaha mengalihkan perhatian Nada.
"Ngaji. Tapi ada jadwalnya sendiri, Na. Nanti kita ngaji sama Ning Mariyah. Tapi nggak sering, sih. Apalagi sekarang masih tahun ajaran baru jadi para guru TU sibuk dengan tugas-tugasnya."
Sena kembali mengangguk. Perlahan, dia malai paham dengan kegiatan di sini dan segala aturannya. Tentang sebuah pertanyaan dan ia inginkan jawaban, Sena berusaha untuk memecahkan teka-teki yang diterimanya dari kehidupan.
Saat Tuhan memberi ujian, sejatinya memang Dia pula yang memberi jalan keluar dan Sena akan mencari jalan tersebut tuk memecahkan problematika yang diterimanya. Dia akan mengungkap kebenaran yang selama ini tertutup abu keraguan. Secepatnya. Sebelum masa setahunnya habis, ia berjanji pada dirinya sendiri akan menjalankan misi ini dengan baik.
Yhaha apdet!
Jangan lupa gaes vote dan komentarnya, ya.
Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik.
Btw, Selamat hari Kemerdekaan RI ke 75 💙💙💙
Di sini, 17 Agustus 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro