Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 01 || Pesantren Ibnu Rusyd

Bagian terpenting dari pilihan adalah menghadirkan keberanian melibatkan Tuhan dalam setiap keadaan.

Senja sore tampak menyinari bangunan cokelat muda berlantai empat yang berada dekat pesawahan. Di antara gedung yang terhampar luas di atas tanah 30 Hektar itu berdiri pula empat menara cokelat muda, masing-masing memiliki tinggi sekitar 95 meter. Di bagian atasnya berbentuk kubah yang mungkin menyimpan seribu sejarah.

Sepuluh meter dari gerbang besi yang melindungi bangunan itu, sebuah mobil hitam terparkir. Di dalam kendaraan yang diam tersebut terdapat gadis bermata cokelat madu, memperhatikan sepinya tempat tersebut dari balik kaca kendaraan. 

Sesaat, pandangan gadis itu beralih fokus pada spanduk bertuliskan "Pesantren Putra Ibnu Rusyd" tampak gagah berdiri di depan ruang pos asrama yang terlihat mengagumkan. Lalu lalang santri bersarung yang membawa kitab kuning tampak terpotret menjadi ikon asrama yang terletak di salah satu sudut Jawa ini.

Gadis itu menurunkan kaca mobil, lantas kepala yang terbalut jilbab putih itu menyembul keluar, hendak memastikan sekali lagi tentang alamat yang tertera pada spanduk tersebut. Meski tak begitu jelas terlihat karena jarak yang cukup jauh, tetapi dia mengamini firasatnya bahwa benar tempat inilah tujuannya.

Perempuan itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Tepat pukul 17.00, dan ia mulai berasumsi bahwa santri-santri masih ngaji barangkali. Tetapi bukannya saat sore seperti ini jadwal piket atau makan? Gadis itu menghela napas, lalu dia pun mengencangkan tali gelang kayu berbentuk kotak-kotak kecil yang dipakainya bersamaan di tangan kiri. Ia mendapatkannya saat ziarah ke Walisongo, hendak menawar harga gelang di pasar yang berada di Sunan Muria, tetapi tiba-tiba seseorang mengulurkan gelang miliknya dan memberikan padanya begitu saja.

Namun, bukan mengingat hal lalu yang terpenting saat ini. Melainkan bagaimana ia harus memulai perjalanannya yang membingungkan.

"Dek, pesantrennya beneran ini? Tapi ini khusus Putra di spanduknya," ucap laki-laki berusia 23 tahunan, berkemeja biru bergaris hitam yang duduk di kursi kemudi, sebelahnya.

Perempuan berusia hampir 18 tahun itu menoleh ke arah kakaknya, Elang Mahardhika. Dia lantas menggeleng, "Aku juga nggak yakin, Bang. Cuma kalau dilihat dari alamatnya memang bener ini mungkin. Terserahlah siapa peduli? Aku hanya ingin syahadah sekaligus menjalankan misi." Dia lantas membuka pintu mobil, kemudian keluar dan menutup kembali pintunya dengan rapat.

Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada sembari bersandar di depan mobil tanpa melepas pandangannya dari spanduk Ibnu Rusyd.

"Ya udah ayo, Abang anter ke dalem." Elang yang baru selesai mengeluarkan koper hitam dari bagasi, menariknya ke arah sang adik.

"Abang tunggu di sini aja deh nggak apa. Aku berani sendirian," ucapnya pada laki-laki berkaus biru itu.

"Nggak apa ayo dianter. Nanti Abang langsung pulang kok."

"Ya udah."

Mereka memutuskan untuk masuk melalui gerbang yang terbuka. Gadis itu tampak menyapukan pandangan ke seluruh gedung yang ada. Deretan bangunan kokoh berdiri, dan tak ada taman yang biasanya melengkapi. Kolam ikan pun tak ada, selain hanya beberapa papan Mading santri yang  tak begitu penuh dengan isi.

Bangunan yang didominasi warna cokelat lusuh ini seperti berada jauh dari Indonesia. Bahkan ia melihat sebuah koperasi santri yang sengaja tak dicat. Hanya menampakkan tumpukan batu bata sederhana dengan tulisan "Koperasi" pada kayu hitam yang menggantung di depannya.

Ia seperti sedang melakukan simulasi untuk hidup di Timur Tengah, barangkali setelah pengambilan syahadah nanti dia akan daftar jadi relawan dan mengirimkan dirinya ke negara berkonflik. Ah entahlah, ia hanya perlu bertemu ustazah saat ini dan menanyakan segala kalutnya.

"Ini beneran Indonesia, Dek?" tanya Elang ketika mereka sampai di depan kantor yang sepi.

"Apa sebelumnya kita lewat pintu Doraemon dan akhirnya sampai di Afrika, Bang?" Sang adik berbalik tanya.

"Nope. Mungkin ini hanya perspektif Abang yang asal tanpa memandang lebih ke dalam," desis Elang.

Gadis itu lantas tertawa, lalu melepas sepatu kets putih dan mulai menaiki lantai cokelat muda yang terasa hangat karena sinar keemasan mentari yang menyinari bangunan itu. Di depan kantor tampak beberapa banner peraturan pesantren dan tata cara pendaftaran pun berdiri di sana dengan tegak. Juga yang menarik di sana terdapat mading berisi potret-potret santri berprestasi yang sedang bangga memegang piala-piala mereka.

Setelah meminta Elang duduk di kursi depan, dia memutuskan untuk mengetuk pintu berbahan kaca hitam yang dilindungi kayu cokelat tua. Dia hanya berharap bahwa setelah masuk nanti mendapati warna lain selain cokelat. Bagaimana pun ia harus menyadarkan diri bahwa dia masih berada di Indonesia dengan Pancasila sebagai pilar ideologis negara.

"Assalamualaikum," ucapnya sembari mengetuk pintu beberapa kali.

Tak lama kemudian pintu terbuka dan dia mendapati seorang perempuan tiga tahun lebih tua darinya, bergamis mustard serta berjilbab senada yang kemudian menjawab salamnya. "Waalaikumussalam. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya lembut.

"Iya. Saya mendapatkan rekomendasi dari pesantren saya untuk mengabdi di sini," jawabnya dengan suara terdengar sangat sopan.

"Oh ya, ayo masuk dulu."

Perempuan itu tersenyum, lalu mengikuti langkah wanita yang diduga ustazah itu, dan mereka mulai memasuki ruang yang terasa sejuk. Air conditioner di dalamnya menyelamatkannya dari udara hangat di luar.

Meja-meja kayu cokelat muda tampak berderet rapi, beberapa ustazah tampak sibuk dengan pekerjaannya di atas meja. Pada dinding yang dicat moca itu ditempel beberapa poster ulama-ulama Nusantara dan Timur Tengah. Berikut biografi yang ada.

Setelah dipinta duduk di salah satu kursi depan meja, ia mengembuskan napas lega. Setidaknya dia harus menenangkan diri sendiri untuk saat ini.

"Bisa dijelaskan lebih lengkapnya mengenai kedatanganmu ke sini?" Perempuan berusia sekitar 21 tahun itu membuka percakapan setelah duduk di depan sang gadis.

"Sebelumnya maaf bila kedatangan saya tiba-tiba dan mengganggu waktu ustazah, perkenalkan nama saya Avicenna Szandra Sarvanez dan biasa dipanggil Sena. Lalu kedatangan saya ke sini hendak memberikan ini." Sena menyodorkan map biru yang tadi dibawa dan diletakkan di atas meja kemudian.

Perempuan itu langsung membuka map tersebut dan membaca surat rekomendasi milik Sena dari pesantren. Ada rasa cemas dalam diri Sena bagaimana bila dia tak boleh tinggal di sini karena bagaimana pun telah jelas bahwa pesantren ini khusus Putra.

"Rekomendasi dari Umar Bin Khattab, ya?" Perempuan ber-name tag Nada itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.

Nada tersenyum. "Namamu cukup sulit juga ya, dan kalau boleh tahu bagaimana peraturan di pesantrenmu sebelumnya? Di Umar bin Khattab itu?"

"Setelah lulus, di Ma'had kami wajib satu tahun mengabdi di pesantren tetapi tahun ini beberapa dari kami yang terpilih dikirim ke beberapa ma'had lain. Dan saya direkomendasikan oleh Gus Ismail untuk mengabdi di sini."

"Oh begitu. Saya paham. Tapi sebenarnya pesantren ini khusus putra dan Gus Ismail pun tahu itu karena pesantren ini memang diasuh oleh putra sulungnya, Gus Hamdan," jelas Nada.

Sena terkejut. Namun, dia menyimpan rasa kaget dalam-dalam menutupi gugupnya. Dunia ini begitu sempit. Namun, setidaknya dia bisa bersikap tenang karena bagaimana pun pesantren ini masih memiliki ikatan dengan pesantren Umar bin Khattab. Setidaknya ada istri Gus Hamdan yang Sena kenal.

"Dan kebetulan juga beberapa ustazah di sini hanya bekerja di tata usaha. Sedangkan untuk tenaga pengajar hanya dikhususkan untuk para ustaz. Dan sekarang TU sedang tidak membutuhkan anggota. Ada pun yang kosong adalah pengajar Bulughul Maram kelas Wustha, karena kemarin baru saja Ustaz Hanif memutuskan untuk berhenti," lanjutnya.

"Karena surat rekomendasi ini pun telah datang dan kami tak bisa menolak, mungkin untuk sementara kamu bisa menggantikan Ustaz Hanif terlebih dahulu. Bagaimana?" tanyanya.

"Mengajar santri putra?" Sena memastikan.

Nada mengangguk. "Mungkin berat, ya. Tapi hanya sementara sampai nanti ada keputusan lain dari Gus Hamdan atau sang istri."

"Saya akan menerima tugas ini. Mungkin itu nggak terlalu berat. Saya rida melakukan apa pun asalkan Ustazah pun rida terhadap saya." Dia tersenyum.

"Panggil saya Mbak saja, ya," tegur Nada.

"Oh iya Mbak Nada," kata Sena.

Setelah berbincang sedikit hal dan diberitahu tentang beberapa peraturan, Sena dibolehkan keluar dan kembali menemui Elang yang masih duduk di luar.

"Sekarang Abang boleh pulang. Pesantrennya beneran ini kok. Abang nggak usah khawatir lagi," ucap Sena setelah duduk di sebelah kakaknya.

Laki-laki itu menatap adiknya dalam. "Kamu jaga diri ya, Na. Kalau ada apa-apa telepon Abang atau Mama dan Papa. Mungkin kami nggak bisa sesering dulu nengokin kamu, bagaimana pun ini udah beda provinsi. Kamu harus lebih berani lagi."

"Iya. Percaya deh aku berani, kok. Aku akan lebih berani dari dulu."

"Okey, Abang pulang ya." Elang berdiri sembari mengusap kepala Sena.

Sena mengikuti langkah kakaknya yang kemudian memakai sepatu kets hitam. "Tapi kalau Abang nikah jangan lupa kasih tahu Sena, ya."

"Tiga tahun lagi." Elang tertawa.

"Kapan pun." Sena tertawa kecil. "Hati-hati di jalan, Bang."

"Iya. Kamu baik-baik, ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Lantas, Elang melangkah pergi menjauh dan keluar gerbang untuk menaiki kembali mobil yang disewanya dua hari. Dia harus kembali ke Jakarta. Dan keduanya kembali terpisah di sini.

Sena tersenyum berusaha mencintai kehendak-Nya. Berusaha menerima apa pun yang ada. Toh dia hanya perlu meyakini apa pun yang terjadi adalah atas skenario-Nya yang paling suci. Demi Dzat yang telah menciptakan langit tanpa tiang, mentari tanpa bantuan, lautan luas yang berasa, samudera, hutan dan manusia, ia memohon perlindungan terhadap-Nya. Karena Dia-lah tempat teraman dari pergi hingga pulang.





Update!

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya, dan ya nggak papa kalau nggak mau juga karena ini bukan perintah salat lima waktu yang wajib dikerjakan xixixi~

Dan yang belum follow, ayo follow dulu gaesss yakali baca tapi tidak mengikuti.

Dan seperti biasa, nanti di bab-bab selanjutnya akan ada istilah-istilah yang sebelumnya telah dijelaskan di judul-judul sebelumnya. Jadi sepertinya nggak ada catatan kaki di sini.

Sampai sini dulu, ya. Salam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro