Prolog
بسم الله الرحمن الرحيم
Yang dapat memahami dirinya, kan menemui Tuhannya.
Di antara gelapnya lorong, seorang laki-laki berusia sekitar 15 tahun berlari tergesa-gesa. Kedua matanya yang tak dapat melihat apa pun selain pekat kegelapan, berusaha diajaknya berdamai untuk terus melangkah tanpa perlu menghadirkan cemas. Tak peduli meski berkali-kali tersandung dan belasan kali pula terjatuh. Bangkit lalu kembali berlari. Itu yang diulang-ulangi lagi. Keringat dingin seakan membasahi sekujur tubuh kurusnya, sedangkan ia masih mencari sebuah tempat yang pernah didatangi tiga tahun lalu.
Suara-suara dari berbagai macam binatang seakan menusuk inderanya dengan tajam. Berisik. Amarahnya yang berusaha diredam barangkali dapat meledak tanpa prediksi lagi. Sesekali dia menghentikan langkah saat mendengar suara gesekan sandal dari belakang, tetapi hanya gelap yang didapat. Hanya hitam yang ditatap. Kosong. Laki-laki itu kembali berlari. Ke mana pun. Menelusuri panjangnya lorong ini. Mencari kehidupan baru. Mencari Tuhan yang kata manusia beragama, Dia adalah Dzat yang ada.
Hingga setelah delapan belas kali lututnya menghantam batu-batu, kini kedua matanya mendapati sekumpulan air yang jauh dari kata jernih. Alirannya sangat deras. Sampah-sampah yang mengalir seperti cermin bahwa dialah yang sedang terombang-ambing tanpa tujuan itu dalam dunia yang benar-benar fana.
Dia terbawa arus tanpa mengerti tujuan sesungguhnya. Dia seakan tersesat di tempat bernama dunia. Tipu muslihat yang sebenarnya tak ingin ia jumpai.
Laki-laki itu mendekati batas sungai tersebut. Kaki kanan yang terbalut sandal hitam mulai menaiki besi tersebut bersamaan dengan terpaan angin malam yang menerbangkan rambut hitamnya.
Kaki kirinya kemudian menyusul menaiki besi itu. Hingga akhirnya dia telah sampai di besi yang paling tinggi, berdiri di sana untuk menyatukan dirinya dengan air yang akan membawa jasadnya. Pikirnya, ini adalah yang terbaik. Dunia telah bosan padanya dan jalan satu-satunya dia menghabisi nyawa sendiri dan membiarkan semua usai.
"Allah, Engkau di mana? Kata mereka aku dapat melihat-Mu di mana pun. Di mana? Mereka yang kerapkali berdiri di atas mimbar khutbah itu berseru, bahwa Engkau adalah Dzat maha kasih.
"Salah satu dari mereka pernah menggenggam tanganku. Katanya Engkau adalah yang paling bertanggungjawab, tetapi apakah berlaku sebuah ketentuan? Kini, aku ingin bertemu denganmu. Secara langsung," lirihnya.
Laki-laki itu memejamkan matanya. Kaki kanan mulai terlepas dari dinginnya besi malam hari, hingga sebuah tangan menarik kaosnya dari bawah dan dia terjatuh di hamparan tanah yang kering. Dia mengaduh kesakitan. Sikunya memar, sedangkan kepalanya nyaris menerjang besi itu. Pelan-pelan, dia mendongak dan mendapati perempuan berambut ikal pirang berusia sekitar 13 tahun berdiri menghadapnya. Buru-buru dia mengalihkan pandangan ke arah mana pun.
Kedua mata biru tuanya menatap laki-laki itu tajam. "Ingin bertemu Tuhanmu dengan cara seperti ini?" tanyanya.
"Kamu siapa? Jangan ikut campur urusanku," jawab laki-laki itu pelan.
"Oh ya udah, lanjutkan aja kegiatan gila itu. Ayo, setelah kau terjun, aku akan tepuk tangan untukmu. Kalau perlu nanti kutaburi bunga juga setelahnya."
"Kamu siapa? Anak gila." Dia mengulang pertanyaannya.
"Aku tetangga barumu."
"Aku nggak pernah melihatmu."
"Karena kedua matamu memang selalu takut berpandangan dengan mata perempuan. Sekarang tatap aku, bocah sok berani."
"Kamu yang sok berani." Laki-laki itu menggerakan kepalanya, perlahan menatap gadis itu. Menatap rambut dia yang ikal pirang tentu saja.
"Selalu ngulang-ngulang perkataanku, kamu nggak punya kosa kata, ya?" Gadis kecil itu tertawa, meremehkan.
"Ikutlah denganku, nanti akan aku tunjukkan bagaimana cara yang paling benar untuk membaca buku instruksi kehidupan. Temukan dirimu sendiri, lalu kau akan memahami bahwa dirimu hidup di dalam Tuhanmu." Gadis itu langsung menarik tangan bocah bermata cokelat terang itu, lalu dibawanya ke tempat bernama kembali.
Yay! Akhirnya saya mencoba nulis cerita baru.
Sebenarnya untuk membaca cerita ini, harus membaca Utawi Iki Iku terlebih dahulu. Dan untuk membaca Utawi Iki Iku, haruslah membaca Mazhab Cinta, dan sebelum baca Mazhab Cinta haruslah baca Mahabbah di Tepi Zuhur. Gimana... Gimana... pusing nggak? 😌
Tapi seperti Filsafat Cinta, Sebelum Akad ini bisa dibaca secara langsung juga. Nggak papa kok. Nggak ada kaitan sebenarnya, cuma lebih enak kalau kalian baca cerita-cerita saya sebelumnya dulu. Karena pasti nanti akan menemukan istilah-istilah yang udah dijelaskan di cerita² sebelumnya.
Dan saya nggak tahu cerita ini akan selesai dengan cepat nggak, doakan saja semoga selalu diberi kelancaran untuk apdet :")
Untuk Mazhab Cinta, insya Allah tetep diapdet. Simpan rasa penasaran dulu. Karena saya masih berusaha untuk tetap namatin.
Dan yang paling penting, teman-teman yang nggak suka sama cerita ini bisa langsung tinggalkan dan cari cerita yang kalian suka. Seperti biasa, kolom komentar di akun saya bukan untuk lapak debat.
Sebenarnya cerita ini mau diapdet pertengahan juni, tapi barangkali sekarang juga nggak apa hehe~
Dan yang terakhir selamat membaca dan menunggu dengan sabar.
Salam || Milky Way
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro