Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 16 || Bukan Sesamamu

Tak perlu meminta bahagia, bila kedekatan dengan-Nya melingkupi segalanya.

Komen, Hei!
Dan selamat membaca
.
.

Suasana terasa sangat beku dan semakin kaku. Hala yang duduk di sebelah ibunya tampak mencari-cari jawaban dan menunggu.

"Maaf kenapa, Bu?" tanya Zaki akhirnya. Dia tak sabar ingin mendengar perkataan wanita itu selanjutnya.

"Maaf, Ki, kami bukan seperti yang dulu lagi. Sudah ada banyak perbedaan yang kamu nggak tahu. Kita berbeda karsa, Ki. Dan lagi kamu tahu bagaimana Hala, nggak terlihat solehah seperti teman-teman santrimu di sana." Wanita itu mengangkat kepalanya menatap Zaki dalam, sedangkan kedua matanya berkaca-kaca. Barangakali dia juga mengingat tentang masa lalu ketika masih bersama almarhum ayah Hala.

"Itu bukan sebuah alasan, Bu. Andaikan ibu bertanya sama saya kenapa saya ingin menikahi Hala dan mencintainya, saya tak akan pernah mampu memberi argumentasi. Bagi saya nggak semua keputusan memiliki alasan," cakap Zaki.

Wanita itu tersenyum. Air matanya yang kemudian menetes langsung dihapusnya. "Sejak kecil, kamu emang nggak pernah berubah ya, Ki. Selalu bijak seperti dulu. Perlahan saya tahu kenapa ayah Hala selalu menyukaimu." Dia menghentikan ucapannya sebentar.

"Dan sekarang Ibu hanya berharap untuk kebaikan Hala. Kalian berdua telah sama-sama mencintai. Menikahlah, dan jaga Hala untuk saya, Zaki," pungkasnya.

Zaki mendengar Hamdan meloloskan napas, barangkali sejak tadi beliau memikirkan banyak kemungkinan yang akan terjadi. Zaki lantas tersenyum ke arah wanita itu.

"Sebagai ayah Hala saya hanya berharap bahwa kamu mampu menggantikan kami dalam hal membahagiakan. Saya ingin minta padamu, kelak jangan pernah sakiti hatinya, jangan pernah membentaknya dan jangan pernah menduakannya. Kalau kamu bosan terhadapnya, lebih baik pulangkan. Tak ada hati yang benar-benar tegar saat cintanya harus dibagi dua, tiga, bahkan empat.

"Mungkin nanti Hala akan egois dengan menguasaimu untuknya sendirian. Dia mungkin tak akan pernah ikhlas melihat keputusanmu yang barangkali akan menduakan Hala, dan saat itu tengah terjadi tolong jangan paksa Hala untuk mengiyakan. Pulangkan Hala pada kami dan kamu melanjutkan hidupmu lagi." Ayah baru Hala mencoba memberi nasihat untuk calon menantunya.

"Insya Allah saya nggak akan mencari surga melalui jalan yang Bapak maksud. Selama ini Tuhan telah mendesain banyak jalan menuju istana paling mulia, dan jalan itu banyak sekali jumlahnya tanpa perlu mengorbankan perasaan dia. Bapak cukup doakan kami agar kami selalu bahagia meski bagaimana pun keadaannya." Zaki menerangkan dengan jelas. Dia memang sedikit terkejut saat sang bapak mencoba mengungkapkan tentang madu yang bahkan tak pernah Zaki pikirkan.

"Gus, njenengan yang udah nikah itu pernah bosen nggak sih sama pasangan dan pengen nikah lagi?" Suatu ketika Zaki bertanya pada Nabil. Entah sopan atau tidak, dia hanya mencoba cari tahu dari pandangan laki-laki.

"Nggak tahu, Mas. Selama ini saya cuma ngerasa kalau istri saya itu kayak candu. Sejak saya ketemu sama dia, sedikit pun saya nggak pernah berpikir untuk menikah sama cewek lain. Makanya saya kaget waktu orang tua Silky nyuruh kami mempercepat pernikahan. Sebenarnya kalau mau marah, saya pengen banget marah, tapi saya nggak bisa. Akhirnya saya yakin aja kalau Silky bakal mengalah, karena dia tahu kalau saya suka sama Ayas.

"Mungkin kedengeran jahat sih, cuma ya namanya juga hidup. Terus abis dapetin Ayas boro-boro saya mikirin yang di luar, karena yang di dalam aja bikin jantung saya repot. Lagi pula dari awal abi nggak pernah ngajarin anak-anaknya untuk ngamalin matsna, tsulasa, wa ruba'. Kita bukan Rasulullah yang adilnya luar biasa. Jadi kalau pun ada dana untuk menikah yang kedua kalinya, kenapa dana itu nggak kita berikan untuk mereka yang mau nikah dan kehalang biaya?

"Dan lebih dari itu istri saya nggak ada ganti. Saya udah jatuh cinta sama istri saya dan saya nggak perlu repot-repot jatuh cinta lagi sama yang lain. Mungkin kedengeran bodoh waktu mereka tahu bahwa saya tidak menyukai Silky. Secara perempuan itu pintar dalam segala hal. Mereka yang kontra ketika saya menikahi Ayas, jelas nggak pernah menatap Ayas dari mata saya. Bukannya keindahan ada pada mata yang memandang?

"Mereka nggak tahu apa yang Ayas miliki dan mereka lupa bahwa setiap perempuan memiliki kelebihan dengan caranya sendiri. Sesimpel itu kalau kita mau berusaha memahami."

Zaki tersenyum ketika mengingat cerita Gus Nabil mengenai istrinya. Sesederhana itu caranya mencintai dan menurut Zaki itu terlampau sangat masuk akal. Hala dan Ayas keduanya datang disaat orang lain mungkin ada yang kontra dengan mereka. Andai mereka mengetahui tentang lamaran Shofi terhadap Zaki, dia menolak dan lebih memilih Hala yang tak mengerti apa pun, mungkin mereka pun akan menilai Zaki bodoh. Namun mereka hanya tahu tentang bagaimana keadaan di luar dan tak mau melihat ke dalam. Dan tak ada yang bisa menilai kecuali hati yang menyayangi dan mata yang mencintai.

"Terus, kapan pernikahan digelar, Ki? Ibu dan bapak mungkin nggak bisa bantu banyak," kata Ibu Hala.

"Saya sedang nggak minta bantuan materi. Tugas Ibu dan Bapak cukup memberi kami restu. Insya Allah kami akan akad seminggu lagi."

"Baiklah. Semoga nanti diberi kemudahan. Ibu hanya berharap kamu akan selalu menyayangi Hala, lebih dari apa pun." Wanita itu menoleh ke anak gadisnya yang sejak tadi mengontrol debarannya. Dia tersenyum barangkali bahagia bila Hala memang bahagia.

"Aamiin," ucap Zaki.

Setelahnya mereka sedikit berbincang tentang beberapa hal, sebelum akhirnya memutuskan pergi ketika Zuhur mulai berkumandang. Baik Zaki dan Hamdan keduanya memiliki jadwal mengajar. Bahkan sesungguhnya Zaki memiliki ngajar pagi di kelas Ula, tapi dia terpaksa meninggalkan khusus hari ini untuk bertemu orang tua Hala.

🕊️🕊️

"Gila, saya kira ibunya Hala mau nolak, Ki," komentar Gus Hamdan ketika masuk ke mobil dan duduk di kursi depan, sedangkan Zaki duduk di sebelahnya untuk menyetir.

"Saya juga, Gus. Tapi mustahil nolak sih, soalnya sejak dulu ibu Hala kayak udah rida aja saya main sama anaknya," sahut Zaki.

"Pede banget kamu, itu kan waktu kalian kecil," protes Hamdan.

"Ya buktinya sekarang kan dikasih rida tuh, Gus." Zaki tertawa.

Hamdan membuka kaca mobil, dia mengambil rokok dari saku, menariknya satu batang dan menyelipkan di antara kedua bibir piasnya. Tangan kanannya terulur ke dashboard, mengambil korek lalu mulai menyalakan ujungnya.

"Ki, mau Ki?" tawar Hamdan.

"Nggak, Gus." Zaki tersenyum karena sebenarnya Hamdan tahu bahwa Zaki bukan perokok sepertinya.

Laki-laki itu masih fokus memperhatikan jalanan di depan untuk segera pulang ke asrama.

"Kamu nggak pernah sekalipun, Ki?"

"Pernah mau nyoba Gus, tapi sama Gus Nabil nggak boleh."

"Hah? Si Nabil ngapain ngelarang kamu? Wong dia aja perokok, kok," tanya Hamdan setelah mengepulkan asapnya keluar jendela.

"Gus, saya mau ngerokok."

"Jangan ikutan saya. Kalau ketagihan nanti kamu masuk keamanan, Mas. Asrama punya peraturan. Lagian hidup sehat lebih enak kok."

"Tapi Gus Nabil?"

"Saya juga lagi mau berhenti tapi susah. Ya usaha dulu aja kan, lagian ngerokok nggak terlalu masalah sih kalau pakai akal."

Zaki menceritakan percakapan lima tahun lalu bersama Nabil itu pada Gus Hamdan. Ya, catat, lima tahun lalu. Laki-laki di sebelahnya tertawa. "Lima tahun lalu berarti waktu titisan Sufi itu masih MA, ya. Dan sekarang masih ngerokok. Sok iya banget adik saya itu kalau ngomong." Hamdan tertawa nyaring.

"Tapi dia semenjak beristri juga rada jarang sih. Sebenarnya nggak apa ngerokok asal tahu tempat. Jangan di tempat umum, jangan pas lagi kumpul-kumpul. Saya juga nggak berani ngerokok di rumah, palingan harus ke gazebo dulu sekalian ngopi sembari lihat santri-santri. Soalnya Abi juga pernah nasehatin untuk jangan keseringan banget."

"Intinya satu sih, tahu adab," pungkasnya. Dia membuang abu pada asbak yang berada di atas armrest, karena akan sangat bahaya sekali bagi perokok yang merokok di jalan dan membuang abunya keluar dengan asal. Bagaimana kalau terkena mata pengendara di belakang? Bukankah itu sangat berbahaya?

"Njenengan itu hal-hal kecil aja diperhatikan ya, Gus."

"Kalau kata Nabil itu surat izin dari Abi. Nggak papa ngerokok, asal tahu diri." Hamdan tertawa lagi.

"Ngomong-ngomong kamu ketemu Hala itu gimana ceritanya? Si Hala sejak kecil sahabatan sama kamu?" tanya Gus Hamdan.

"Dulu itu Gus, saya selalu sendirian di rumah nggak ada temen. Kalau mama sama papa bertengkar saya cuma ngurung diri di kamer karena nggak berani keluar. Terus pas umur 14 tahun, papa nalak mama dan itu buat mental saya bener-bener down. Saya nggak tahu mesti gimana, akhirnya malem di mana mama nggak sadarin diri dan dirawat sama nenek, saya keluar rumah untuk cari tempat bunuh diri yang sekiranya langsung bikin saya mati.

"Tapi tiba-tiba waktu saya tinggal ceburin diri, si Hala datang narik saya. Dia marahin saya karena katanya itu jalan yang salah kalau tujuan saya ketemu Tuhan. Waktu itu saya nggak kenal dia. Terus akhirnya saya dibawa ke rumahnya yang ternyata dia tetangga baru saya.

"Katanya baru semingguan tinggal di komplek yang nggak jauh dari rumah saya, cuma saya nggak tahu karena kalau libur dari pesantren pun saya selalu ngabisin waktu di rumah terus. Saya hampir nggak kenal sama tetangga-tetangga. Dan waktu itu saya mutusin buat keluar dari Umar tapi sama Hala nggak boleh, dan ya pas itu Gus Nabil juga ke sini suruh saya nemuin Gus Ismail.

"Jadi waktu mama masih hidup, kalau liburan pondok saya masih sering pulang maen sama Hala. Tapi itu nggak lama, karena tiba-tiba Hala menghilang gitu aja. Dan tadi denger dari ibunya langsung kalau mereka pindah ke Makasar." Zaki menjelaskan panjang lebar.

Bahkan benar kata temannya, bahwa pertemuan mereka seperti sebuah drama dalam sinetron. Zaki hanya perlu berterima kasih pada Dzat Maha Cinta yang telah mencipta skenario paling cantik sejagat raya.


Apdet!!

Kalau ada salah² sila sampaikan dengan baik kemudian maafkan.

Jangan lupa tekan bintang jatuhnya. Luv.

Salam | Milky Way 💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro