Part 15 || Takdir Untukmu
Barang siapa yang mampu bersabar dengan banyak hal menimpa, maka percayalah bahwa Tuhan memberikan akhir yang luar biasa.
Gadis itu menyipitkan matanya setelah membuka pintu kamar indekos pukul 08.30. Kepalanya terasa sangat pusing saat semalaman benar-benar tak bisa tidur.
Dia baru bisa memejamkan mata setelah shubuh pukul 05.00 dan sekarang dia kembali terbangun karena terik mentari yang menyilaukan.
Hala yang memakai setelan piyama biru tua itu berdiri di ambang pintu memperhatikan gang-gang kecil di salah satu sudut Jakarta. Sesaat dia kembali berbalik ke dalam setelah mendengar lagu In The End milik Linkin Park mengalun dari ponsel putih yang terletak di atas tumpukan diktat. Dia mendekat ke arah sumber suara, lalu mengambil ponsel dengan cepat setelah mengetahui pemanggilnya. Buru-buru Hala menggeser tombol hijau, sebelum akhirnya ia tekan speaker agar suara dari seberang terdengar keras.
"Assalamualaikum, Hala," sapa seseorang.
"Waalaikumsalam Zaki. Ada apa?" tanyanya.
"Saya ke kost-anmu sekarang sama anak Kiai saya. Saya mau menemui orang tuamu."
"Ah ya aku tunggu. Mama sama papa ada di penginapan nggak jauh dari kost-an. Kamu nggak perlu ke sini, cukup kita bertemu di pertigaan depan aja, ya."
"Oke."
Zaki cuek banget sih. Batin Hala.
"Nggak ada yang mau disampaikan lagi?"
"Nggak. Apa lagi emang?"
Hala tertawa kecil. "Ah, nggak kok."
"Ya udah, kalau nggak ada apa-apa lagi tutup aja, Ki. Aku mau persiapan," lanjut Hala.
Tanpa memberi jawaban, Hala langsung kehilangan sambungannya. Dia menghela napas pelan, menaruh ponsel lalu kembali keluar untuk mencari sarapan. Perjalanan dari rumah Zaki ke sini cukup memakan banyak waktu dan dia harus mengisi perutnya terlebih dahulu.
Sesungguhnya Hala melupakan satu hal. Dia belum mengirimkan berkas lamaran pekerjaan pada sebuah pabrik yang tengah membuka lowongan. Persetan Zaki yang tak mengizinkannya untuk bekerja, Hala hanya tak begitu yakin dengan keinginan Zaki yang menikahinya.
Hala hanya takut kalau Zaki hanya bercanda dan dia kehilangan segalanya. Setidaknya dia harus berjaga-jaga dengan tetap mencari pekerjaan untuk bertahan di kota yang memakan biaya hidup sangat mahal. Ingin rasanya kembali ke rumah, tetapi bagaimana tanggapan orang tua Hala mengenai kuliahnya? Tentu saja hingga sekarang Hala tak berani jujur terhadap mereka tentang kejadian dia yang tak lagi istimewa.
Gadis itu terus berjalan melewati panjangnya koridor kost-an, belok kiri kemudian menuruni anak tangga satu per satu.
Hingga akhirnya gadis itu sampai di lantai dasar dan keluar area indekos kemudian. Melewati jalanan setapak, mencari penjual sarapan yang biasanya ditawarkan ibu-ibu lansia. Meski hidup di sini, Hala tak sedikit pun mengikuti gaya ibu kota. Selama di kampus pun, dia sangat jarang untuk ikut nongkrong bareng teman-teman yang mengajaknya. Pasalnya, Hala sudah berjanji pada kedua orang tua bahwa dia tak akan merepotkan mereka.
Saat keluar SMA, Hala hanya dibolehkan untuk kuliah di sekitar daerah, tetapi gadis itu menolak karena ingin tinggal di kota Metropolitan, lebih dari itu alasannya hanya satu. Dia tahu Zaki tinggal di sini, dan dia ingin kembali tinggal di sini.
Hingga akhirnya dia memenangkan perdebatan dengan sang ayah, dan akhirnya Hala berhasil tinggal di sini dan bertahan dengan menggunakan uang hasil kerja. Meski sesekali sang papa tetap memberi jatah tetapi Hala jarang memakainya. Dia lebih suka kehidupan seperti ini. Tidak bergantung pada orang lain.
"Hala, kamu harus berjanji bahwa kamu harus mandiri. Kamu harus berjanji sama mama kalau nanti kamu jangan pernah bergantung dengan pasanganmu. Beli apa pun dengan uangmu sendiri, bekerja untuk dirimu sendiri dan kalau bisa buat rumah dan nanti suamimu menetap di dalamnya. Tak apa nak.
"Kita nggak akan tahu jodoh akan bertahan sampai akhir atau nggak. Kalau pun di pertengahan ada masalah, kamu udah bersiap dengan semuanya. Hala, ketergantungan itu nggak enak. Nggak bebas. Sedangkan mama mau kamu bahagia.
"Bahagia ya, Hala."
Pesan itu masih Hala pegang hingga sekarang. Sejak mulai mengerti, Hala selalu dinasihati oleh sang mama untuk jangan pernah bergantung pada orang lain. Maka dari itu Hala lebih suka bekerja untuk dirinya sendiri daripada meminta pada orang tua.
Hala bukan berasal dari keluarga mampu seperti Zaki. Apalagi selepas sang ayah meninggal dan ibu menikah lagi, Hala seakan telah kehilangan sebuah sandaran. Saat bersama almarhum papa, mama memang tidak bekerja, tapi laki-laki itu dapat memenuhi semuanya. Sedangkan sekarang sang ibu hanya mengharapkan pemberian dari suaminya saja, dan Hala seringkali tak mendapat bagian. Namun tak apa. Toh dia masih mampu berdamai dengan dirinya sendiri.
Gadis itu berhenti saat melihat ibu-ibu yang membawa bakul nasi di tepi jalanan. Segera Hala menghentikan dan membelinya satu bungkus kemudian.
🕊️🕊️
Gadis itu memakai kaus panjang biru yang dipadukan dengan kulot hitam. Dia mengambil jilbab dari rak lemari bawah karena jarang dipakai. Ah, sesungguhnya dia masih tak percaya bahwa nanti dia harus menutup seluruh rambutnya setelah menikah dengan Zaki.
Gadis itu menarik scraft berawarna biru, lalu menghadap ke cermin. Bahkan dia lupa bagaimana cara memakai kain itu dengan benar.
Dia melebarkan kain berbahan katun tersebut, dipakaikannya di kepala, lalu menyatukan dua sisi di bawah dagu dengan jarum kecil. Sedangkan untuk bagian yang masih menggantung ke bawah, Hala menyampirkannya di bahu dengan asal. Gadis itu tersenyum melihat dirinya yang berbeda di depan cermin. Cantik. Ya, Hala sering sekali memuji dirinya sendiri karena baginya itu jalan satu-satunya untuk bersyukur agar tidak keterusan insecure.
Dia mengambil ponsel yang kemudian berdering. Nama Zaki tertera di layar. Segera Hala mengangkatnya.
"Halo Zaki, kamu udah di mana?"
"Aku di pertigaan sama Gus Hamdan."
"Kalau kamu pakai mobil, parkirkan mobilnya di tempat aman, ya. Soalnya mobil nggak akan bisa masuk ke gang penginapan mama."
"Udah. Aku udah di depan ruko seberang pertigaan. Kamu tinggal ke sini."
"Oke. Lima menit lagi aku sampai."
Hala langsung mematikan sambungan telepon, sebelum akhirnya dia keluar setelah mengunci kost-annya dengan aman. Gadis itu berlari kecil menuju pertigaan yang tak berada jauh dari tempatnya kini. Dalam hati, sesunggunnya dia senang sekali bila Zaki hadir ke sini.
Sekitar lima menit kemudian, gadis itu akhirnya sampai di dekat pertigaan. Bibir merah mudanya membentuk bulan sabit ketika melihat dua pemuda yang duduk di kursi depan ruko seberang pertigaan. Zaki memakai kemeja biru polos dan celana hitam, sedangkan laki-laki di sebelahnya memakai kemeja merah kotak bergaris serta celana jeans biru gelap.
Segera Hala ke sana untuk mendekati mereka.
"Zaki," sapa Hala.
Kedua pemuda yang tadi sedang berbincang itu menoleh.
Zaki tampak menatap Hala untuk beberapa saat. Dia seakan terkejut dengan perubahan Hala saat ini.
"Zaki," tegur Hamdan.
Zaki buru-buru menunduk. "Nggeh Gus, maaf."
Hala gugup. Dia berusaha tersenyum untuk tetap menjaga sopan santunnya di depan seseorang yang Hala yakini adalah anak Kiai. Terlihat dari wajahnya yang tegas dan sifatnya yang berwibawa dan sepertinya harus memanggil beliau dengan sebutan Gus nantinya.
"Di mana orang tuamu menginap?" tanya Gus Hamdan pada Hala.
"Eh-- nggak jauh dari sini, Gus. Kita masuk gang sebelah kiri, lurus dikit, kemudian belok kanan dan ada bangunan berlantai tiga, di sana orang tua saya menginap."
"Nggak perlu jelasin sedetail itu karena kamu ikut kita," kata Hamdan.
Zaki tertawa, Hala juga.
Kemudian mereka bertiga berjalan menuju penginapan orang tua Hala. Gadis itu memilih jalan di belakang mereka karena tak enakan bila harus di depan. Dia hanya perlu memperingatkan kedua laki-laki itu untuk belok ke arah yang Hala pinta. Namun, sesekali Zaki menoleh ke belakang seperti tengah memastikan bahwa Hala akan baik-baik saja.
Setelah beberapa kali berbelok, melalui tempat yang tak terlalu ramai akhirnya mereka sampai di depan gedung yang Hala maksud.
Gadis itu segera berjalan di depan. Untung saja tempat menginap sang mama ada di lantai paling dasar, sehingga dia tak perlu repot-repot untuk kembali menaiki tangga.
Di dalam gedung itu berderet pintu-pintu yang tertutup. Hala berjalan ke pintu nomor empat dari depan, lalu membukanya kemudian.
Gadis itu tersenyum saat mendapati orang tuanya sedang menonton televisi di sana.
"Mama, Zaki sama anak Kiai-nya udah sampai," ucap Hala.
"Ah, benarkah? Ayo cepat suruh masuk." Di dalam ruangan serba merah muda yang tak terlalu besar itu orang tua Hala langsung membereskan beberapa barang yang berantakan. Di sana hanya terdapat satu kamar yang dilengkapi televisi, meja kecil, satu ranjang besar dan kamar mandi. Di bawahnya karpet hijau polos terhampar.
"Ayo masuk," ajak Hala pada kedua pemuda yang masih berdiri di depan kamar.
Zaki dan Hamdan mulai mendekat ke arah pintu.
"Assalamualaikum," ucap Zaki setelah mereka sampai di ambang pintu kayu cokelat itu.
"Waalaikumussalam," jawab kedua orang tua Hala bersamaan. Mereka tampak antusias saat melihat kedatangan pemuda itu.
Zaki terdiam untuk beberapa saat. Keningnya berkerut saat mendapati sosok pria 53 tahunan yang sangat asing. Dia siapa? Seingat Zaki wajah ayah Hala sangat Timur Tengah sekali.
"Masya Allah Nak Zaki, Gus, ayo duduk dulu. Maaf kalau di sini sempit," suara wanita 50 tahunan itu memecah lamunan Zaki.
"Nggeh Bu, nggak apa," kata Zaki buru-buru. Dia berusaha membuang segala pertanyaan, tapi tetap saja dia seakan telah terkurung di dalam tanda tanya raksasa. Dia butuh penjelasan dari Hala.
Hamdan dan Zaki duduk di depan meja kecil, lalu di depannya Hala beserta kedua orang tua duduk di sana. Di atas meja kecil terdapat lima botol air minum dan dua gelas kopi yang sudah disediakan ibu Hala untuk Zaki dan Gus-nya. Beberapa makanan ringan pun sudah tersedia di sana seperti kacang-kacangan, roti, dan buah-buahan.
"Ibu kangen sekali sama kamu, Zaki. Udah berapa tahun kita nggak ketemu." Wanita itu membuka percakapan.
"Iya ibu saya juga. Selepas dari Jakarta ibu pindah ke mana lagi?"
"Ke Makasar. Ibu tinggal di sana dengan ayah baru Hala. Perkenalkan namanya Aris. Sedangkan bapak Hala udah meninggal sejak lima tahun lalu." Ibu itu menunduk.
Zaki terhenyak. Bahkan dia tak mengetahui berita kematian itu. Tidak banyak kenangan yang Zaki ingat mengenai Ayah Hala, selain bahwa pria itu sangat baik padanya.
"Saya turut berduka cita, Bu. Maaf kalau saya tak pernah tahu kabar kalian."
"Nggak papa, Nak. Untuk melihat kamu bisa bertahan sampai sekarang aja itu udah lebih dari cukup."
"Dan kalau kalian punya maksud tentang kedatangan kalian ke sini sampaikan saja sekarang," lanjut Ibu Hala.
Zaki menoleh ke arah Hamdan. Laki-laki itu membalasnya, lalu menghadap ke depan.
"Sebelumnya maaf kalau kedatangan kami mengganggu Ibu dan Bapak sekalian, saya Muhammad Hamdan, sebagai kakak Zaki, ingin melamar Hala untuk adik saya. Terlepas dari setuju atau tidak, kami serahkan kembali pada Ibu dan Bapak." Hamdan berusaha tersenyum. Dia kelihatan sekali bahwa tak pandai soal lamar melamar. Namun untuk membantu Zaki, beliau hanya berusaha melakukan.
Wanita itu tak langsung menjawab. Dia menatap Zaki dalam-dalam. "Eh Nak Zaki, maaf sekali--" Ibu Hala menghentikan ucapannya, lantas menunduk.
Zaki tak mengerti, Hamdan juga.
Seketika hening, tak terdengar suara apa pun kecuali detak jamtung Zaki yang tak beraturan.
Apdet!
Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik.
Sila komentar dan vote kalau ikhlas :)
Salam | Milky Way
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro