Bab 13 || Sudahi Rasa Khawatirmu
Ada kalanya tak perlu memedulikan banyak hal. Karena kehidupan bukan tentang mereka, melainkan tentang dirimu sendiri.
Rabi'ah itu, Ki, bukan terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Orang tuanya yang bertaqwa itu selalu meminta pada sang pemilik langit bumi untuk dikaruniakan anak laki-laki agar dapat membantunya bangkit. Namun dikehamilan yang keempat, Allah memberikan mereka anak perempuan lagi.
Lihat kan, Nak, bagaimana Tuhan memproses sebuah doa? Mungkin kamu beranggapan, keluarga taqwa seperti kedua orang tua Rabi'ah saja doanya tak dikabul untuk meminta anak laki-laki, tetapi kamu akan tahu hikmahnya setelah ini.
Zaki, kamu tahu bahwa Allah memiliki tiga cara untuk mengabulkan setiap permintaan hamba-Nya. Yang pertama, ya, Dia pasti akan mengabulkan. Yang kedua, kata-Nya tunggu sebentar wahai hamba-Ku karena Dia selalu tahu kapan waktu yang tepat untuk kamu mendapatkannya. Dan yang ketiga, dan mungkin inilah yang paling berat, yaitu Dia tidak memberikan yang kamu mau melainkan menggantinya dengan yang lebih baik. Dan nahasnya nggak semua hamba menyadari itu, Zaki.
Mama pun. Atau kamu mungkin sering merasakan bahwa Dia tidak adil. Tapi demi Allah jangan pernah memiliki prasangka yang tidak-tidak, Nak, karena Allah itu sesuai dengan prasangkamu terhadap-Nya. Jagalah hati bersihmu, jangan pernah biarkan sedikit pun kotoran itu masuk, Nak.
Dan mungkin yang ketiga itu erat kaitannya dengan orang tua Rab'iah. Ketika bayi mungil itu terlahir, mereka tak memiliki apa pun. Sehingga sang istri bilang pada suaminya untuk meminta tolong mengetuk pintu tetangga barangkali ada yang hendak menghadiahi mereka kain sekadar menutupi Rabi'ah kecil.
Sang suami mengiyakan. Beliau lantas keluar dan mengetuk pintu tetangganya tetapi tak ada satu pun pintu yang dibuka, Nak. Lantas beliau kembali dan mengatakan pada istrinya bahwa tetangga mereka sudah tidur semua, katanya, bersyukurlah pada Allah karena kita tak pernah meminta apa pun dari orang lain.
Hingga akhirnya dengan penuh dengan kesabaran dan ketawakalan, ayah Rabi'ah menutupi tubuh Rabi'ah kecil dengan satu-satunya kain yang saat itu masih basah. Sedikit pun tak ada keluhan yang keluar dari bibirnya. Betapa Tuhan telah mendesain hati mereka dengan kesabaran yang stoknya tiada batas.
Zaki, apa kamu bisa bersabar meski suatu saat kau menghadapi keadaan yang menyulitkan? Mungkin kau akan dihadapkan dengan labirin-labirin yang menakutkan, seperti lorong tanpa ujung dan seolah takdir menggiringmu seperti anak domba yang dipinta untuk terus berjalan oleh pemiliknya. Dan saat itu pilihan kamu tak banyak, Nak, berusaha menguatkan diri agar mampu bertahan dalam segala keadaan atau berhenti kemudian mati.
Laki-laki itu langsung menutup buku milik Haura saat dering dari suara ponselnya terdengar nyaring. Terlihat nama "Hala M Afsheen" yang muncul di layarnya. Dia yang sedang duduk di depan dapur itu tersenyum, sebelum akhirnya menggeser tombol hijau dan mendekatkan di telinga kemudian.
"Zaki, mama sama papa udah sampai di kost-anku, entahlah ternyata lebih cepat dari dugaan. Kamu bisa ke sini besok." Hala berkata tanpa basa basi.
"Iya, nanti besok saya ke sana."
"Sendirian?"
"Tunggu aja, ya."
"Oke. Aku tutup, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam." Zaki meletakkan kembali ponsel di atas meja, lantas kedua matanya menatap langit sore yang menjingga.
Sekitar 50 meter di depan tempat duduknya kini ada sebuah danau dan cahaya keemasan dari mentari yang hampir terbenam itu memantul di sana. Sedangkan tak jauh dari danau itu gedung santri diniyah berderet sepi seperti hatinya saat ini.
Para santri sibuk persiapan ke masjid untuk jamaah maghrib, kecuali hanya beberapa yang masih berlalu lalang keluar masuk dapur untuk mengambil jatah makan sore karena tadi tak mendapat bagian.
Laki-laki itu mengambil kertas dari buku yang terletak di sebelah buku Haura, kemudian menulis beberapa soal Fathul Muin untuk persiapan imtihan nanti. Zaki tak suka memberi banyak soal, dia hanya akan menulis 1-3 soal saja yang mengandung jawaban berakar. Sesimpel itu untuk membuat para santri berpikir.
Tiba-tiba sebuah pesan kembali menyapa layar sentuhnya. Zaki terkejut saat melihat nama yang tertera di sana.
Papa
Saya di Paper & Cup. Temui saya sekarang.
Tanpa perlu membalas pesan, laki-laki itu segera merapikan buku-buku miliknya, kemudian berjalan cepat meninggalkan dapur. Rasanya baru kali ini sang papa mengirim pesan tanpa terlebih dahulu Zaki yang memohon untuk dibalasnya.
Azan maghrib akan berkumandang 15 menit lagi dan seharusnya dia tak boleh keluar, tetapi di sisi lain ia tak akan melewatkan satu kesempatan emas untuk bertemu sang ayah. Empat tahun sudah mereka tak berjumpa dan sejujurnya dari lubuk hati paling dalam Zaki sangat merindunya. Rindu laki-laki itu.
Dia mengayunkan langkah dengan cepat tak peduli pada buku-buku yang masih dibawa. Laki-laki berkaus merah maroon pendek itu tak memiliki waktu untuk kembali ke kamar sekadar menaruh buku. Kali ini pertemuan dengan pria itu lebih penting dari apa pun.
Jalanan Jakarta terlihat semakin padat. Pemuda itu melangkah di bahu jalan dengan cepat, sedetik pun dia tak akan melewatkan waktunya.
Tak lama kemudian, dia sampai di Paper & Cup. Segera dia menitipkan bukunya pada kasir, lalu berjalan ke arah kafe untuk mencari ayahnya.
Laki-laki itu menggeser pintu kaca, mengedarkan pandangan pada setiap pelanggan yang duduk di kursi-kursi. Hingga akhirnya kedua mata cokelat terang itu mendapati pria berusia 47 tahunan berjas hitam, yang duduk di salah satu sudut Kafe tengah menyesap kopi. Di depan laki-laki itu duduk seorang wanita berkemaja putih serta bercelana hitam yang sangat Zaki kenali.
Napas Zaki tertahan sebentar untuk beberapa saat. Dia memang rindu ayahnya, tetapi kenapa langkahnya tiba-tiba berat untuk mendekat. Seperti ada sebuah larangan yang menariknya mundur. Rasa sungkan tiba-tiba memenuhi.
Zaki menarik napas, lalu membuangnya sebentar, sebelum akhirnya dia mendekat pelan-pelan ke arah keluarganya. Ya, keluarga yang mungkin tak lagi memedulikannya.
"Gimana kabarmu El-Haitami? Kamu hebat ya ternyata bisa bertahan walau tanpa saya?" Laki-laki itu menyeringai. Pria berambut hitam ikal itu memiliki hidung mancung, bola mata cokelat tua serta memiliki kumis yang tak terlalu tipis dan kulitnya kuning langsat.
Zaki tersenyum. Sesungguhnya ada rasa perih di dasar hati saat mendengar pertanyaan semenjijikan itu dari bibir ayahnya, tetapi dia hanya mencoba bersabar dan menyaksikan bagaimana kelanjutan drama sore ini.
"Kedatangan saya ke sini tentu saja bukan untuk menghadiri pernikahanmu atau mengucapkan selamat padamu, putra saya yang nggak paham terima kasih. Saya sudah punya keluarga sendiri yang harus saya jaga dan urus. Dan saya cuma bersyukur karena ternyata kamu tak lagi jadi beban untuk saya." Laki-laki itu menyesap kembali kopi hitamnya.
Zaki belum mengatakan apa pun. Dia masih mematung di dekat meja itu untuk mendengar dirinya disepelekan. Dia belum menyiapkan banyak kata untuk membalas, dia hanya perlu mendengar terlebih dahulu.
"Lihat diri kamu sekarang El-Haitami, apa yang bisa kamu banggakan? Sudah jadi apa kamu sekarang?" Laki-laki itu menatap Zaki dari atas hingga bawah dengan pandangan benar-benar meremehkan.
"Jawab pertanyaan saya!" Suara laki-laki itu naik beberapa oktaf. Zaki yakin sekali bahwa pelanggan di sana mulai menjadikan mereka pusat perhatian, tetapi dia tak perlu repot-repot untuk memastikan dengan menoleh ke belakang. Dia hanya sibuk dengan pikirannya saat ini yang memaksa untuk bertahan walau sesungguhnya dia ingin sekali melawan.
"To the point aja, papa mau apa ke sini?" Untuk pertama kalinya akhirnya dia bertanya.
Pria itu tertawa. "Tentu saja untuk melihat kamu. Dan jangan mengalihkan topik, jawab pertanyaan saya, sudah melakukan apa kamu di umur hampir 24 tahun?"
"Saya nggak punya apa-apa untuk papa banggakan. Saya bukan anak yang berhasil kata papa. Berkali-kali dalam pesan yang dikirim, papa mengatakan bahwa saya anak yang gagal. Ya, beginilah saya kalau papa cuma lihat dari sudut pandang yang papa inginkan.
"Ya memang seperti itulah kamu, Zaki. Nggak punya kelebihan apa pun."
"Tuh kan, Mas, anak kamu itu nggak ada sopan santunnya." Sindir Gea.
"Terus yang sopan itu bagaimana Tante? Kalau tante merasa menjadi manusia yang paling beradab, ajari saya yang masih bodoh ini," sergah Zaki. Dia tak mengerti lagi harus berkata selembut apa lagi pada kedua orang di depannya.
"Udahlah, Zaki, mulai saat ini saya cuma mau menyampaikan padamu untuk jangan pernah hubungi saya lagi. Anggap kamu tak pernah mengenal saya. Jangan pernah minta bantuan saya. Dan empat tahun ini kamu bisa bertahan tanpa saya, dan saya yakin beberapa tahun ke depan pun, kamu tak akan membutuhkan saya."
"Saya selalu butuh papa, tapi papa selalu nggak ada waktu."
"Karena kamu nggak penting."
"Kalau kamu mau dianggap, seharusnya kamu tahu bagaimana cara menghormati, Ki. Bahkan kamu lebih mengedepankan keinginan kamu untuk menikahi Hala daripada menuruti saya, sebagai tante kamu." Lagi-lagi Gea menyambar. Sepertinya berdebat dengan Zaki adalah hobi baru.
"Maaf saya harus mengatakan ini, setahu saya ketika kita ingin dihormati orang lain haruslah menghormati orang lain terlebih dahulu, tapi tante nggak. Tante nggak bisa menghormati keputusan saya yang artinya tante mau dihormati tapi nggak mau menghormati. Kalau begitu kenapa nggak jadi bendera aja?" Sepertinya Zaki mulai kesal terhadap Gea. Pasalnya sejak kemarin wanita itu selalu meributkan rencana Zaki.
Seolah Hala adalah sebuah dosa. Hala adalah halangan, Hala adalah aib dan Zaki tak boleh mendekatinya. Tak ada alasan spesifik mengenai kebencian Gea terhadap Hala.
Andai wanita itu memberikan sedikit saja alasan paling jelas, barangkali Zaki akan mencoba mempertimbangkan walau sebentar. Meski akhirnya tetap saja, dia tak akan mau menggagalkan rencananya. Hala adalah masa depannya, simpel.
Apdet
Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik.
Lapak ini kenapa ramenya kalau Gus Nabil muncul aja sih, Gaesssss? Nggak ada Gus Nabil juga gapapa dong komen huhu~
Salam | Milky Way
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro