Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12 || Sekali Lagi

Kendati Tuhan memberi kesulitan, Dia menyertakannya dengan kemudahan. Sesungguhnya di balik kegelapan, terdapat titik cahaya yang menakjubkan.

Di dalam ruang tamu rumah ndalem Zaki tertunduk menunggu kehadiran gurunya yang masih mengajar Ibnu Abi Jamroh di aula. Besok nanti, jadwal bandongan seluruh santri Umar dan Zaki tak boleh melewatkan.

Setiap sabtu dan Ahad sore, seluruh santri disatukan untuk ngaji bersama. Sabtu sore jadwal Kiai Faqih ngaji Fathul Baari, sedangkan besok sorenya jadwal Gus Ismail ngaji Tafsir Munir.

Untuk mahasiswa seperti Zaki yang masih tetap ngaji memiliki jadwal sendiri dan biasanya mereka lebih memiliki banyak waktu luang daripada lainnya. Pasalnya mahasiswa hanya ada jadwal untuk pagi setelah subuh, asar dan setelah isya. Setelah ashar pun kadangkala jadwal sering kosong, karena masih banyaknya mahasiswa yang belum pulang.

Suara tangis bayi tiba-tiba memecah keheningan. Zaki menoleh ke arah ruang keluarga, dan terlihat seorang perempuan yang mungkin belum genap 22 tahun, baru saja muncul menggendong bayi yang berusia belum dua tahun.

"Mas Zaki," sapa perempuan bergamis serta berjilbab cokelat tua itu.

"Ning Ayas baru pulang?" tanya Zaki yang kemudian langsung berdiri.

"Iya soalnya di kampus lagi libur dan--"

"Ning, Siqdi kenapa nangis terus?" Tiba-tiba Umi Hanin datang.

"Saya nggak tahu Umi. Sejak dibawa ke sini Siqdi nggak mau berhenti nangisnya."

"Biasanya kalau ada bapaknya dia nggak pernah nangis kok. Sini Umi bawa Sidqi dulu, kangen cucu Umi juga." Umi Hanin tersenyum, berniat mengambil cucunya dari gendongan sang menantu.

"Eh, Umi nggak usah. Sidqi udah berat. Biar aku aja."

"Udah, Ning Ayas istirahat aja, ya. Atau bantu Umi lanjutin bikin kue di dapur." Umi Hanin akhirnya mengambil bayi itu.

"Zaki, tunggu sebentar lagi ya. Paling lima menit lagi juga Gus Ismail datang," kata Umi Hanin.

"Iya Bu." Zaki tersenyum.

Menantu Gus Ismail kembali ke dalam barangkali akan menggantikan menyelesaikan pekerjaan, sedangkan Umi Hanin keluar membawa cucunya yang bernama Muhammad Sidqi El-Rumi.

Sekitar lima menit kemudian, seorang pria bersarung serta berbaju koko putih baru saja tiba. Zaki langsung berdiri setelah pria itu tersenyum. Dia mencium pucuk tangan Gus-nya, lalu kembali duduk setelah dipinta duduk oleh Gus Ismail yang sudah berada di depannya.

"Ada apa, Zaki?" tanya pria berpeci hitam itu.

"Gus maaf sekali kalau kedatangan saya ke sini mengganggu waktu Gus, tapi saya mau menanyakan satu hal." Suara Zaki bergetar. Sesungguhnya dia tak begitu berani berhadapan langsung dengan gurunya. Kepalanya yang selalu menunduk itu tengah multitasking, berpikir, menahan malu, dan merancang banyak kata yang akan disampaikan pada beliau.

"Sampaikan Zaki. Ada apa?"

"Saya ingin menikahi seseorang, Gus." Laki-laki itu merasa malu. Sangat malu ketika harus jujur tentang keinginannnya.

"Siapa namanya?"

"Hala Meysha Afsheen."

"Kamu bertemu dia di mana? Kampus?"

Zaki mengangkat kepalanya merasa bahwa obrolan mereka ternyata tak sekaku yang dibayangkan. "Dia teman masa kecil saya, Gus. Kami nggak sekampus."

"Saya seneng kamu membuat keputusan ini dan nggak ada hak pula untuk melarangnya. Kamu yang udah dewasa ini pasti paham bagaimana tujuanmu. Menikahlah, Zaki."

"Terima kasih Gus." Kedua mata Zaki berbinar. Bahkan bila Gus di depannya mungkin saja melarang, dengan berat hati mungkin Zaki akan melepas Hala. Tetapi inilah rida. Disaat dia tak lagi memiliki keluarga yang mampu memahami, keluarga mereka yang berdiri paling depan untuk mengerti.

"Tapi setelah menikah, apa kamu masih mau tetap di sini?"

"Sedikit pun saya nggak pernah berpikir untuk meninggalkan Umar."

"Nanti setelah bersama istrimu tinggallah di rumah sebelah Ustaz Zainal. Rumah-rumah di sana sengaja dibuat untuk pengajar kami yang masih mau menetap di sini meskipun sudah berkeluarga. Tapi kamu jangan pernah berpikir bahwa saya memaksa. Bagaimana pun keputusanmu ke depannya, saya hanya orang tua yang akan selalu mendukung kemauanmu selagi tidak bertentangan dengan kebaikan. Lakukan apa yang menurut kamu baik, Muhammad Zaki El-Haitami."

"Nggah Gus matur suwun."

"Sudah menentukan tanggalnya?" tanya Gus Ismail.

"Saya sudah menentukan, tapi saya butuh persetujuan Gus Ismail juga."

"Kapan itu?"

"Minggu depan."

"Hari rabu, ya? Bagaimana kalau ahad? Karena rabu ini mungkin saya nggak ada di pesantren."

"Nggeh Gus, nggak masalah." Zaki berusaha memaklumi karena Gus-nya memang kerapkali sibuk dengan beberapa jadwal pengajian di luar sana. Beliau sering diminta untuk menjadi penceramah mengenalkan agama cinta di beberapa daerah yang mengadakan.

"Ah ya Zaki, jangan lupa kasih tahu putra saya kalau kamu mau menikah, ya."

"Pasti Gus." Zaki tersenyum. Bahkan sejak pertama bertemu dengan Hala pun dia selalu menceritakan segalanya pada putra kedua Gus Ismail.

"Nanti saya akan bilang pada Umi Hanin untuk membantu mempersiapkan semuanya. Asatiz dan ustazah juga," putus Gus Ismail.

"Terima kasih, Gus. Terima kasih banyak."

"Ya sama-sama. Kamu nggak perlu memikirkan banyak hal."

"Nggeh Gus."

Setelah menyampaikan maksud kedatangan hari ini, laki-laki itu kemudian pamit. Mulai hari ini sepertinya ada banyak tugas yang harus dikerjakan. Dikejar deadline pengumpulan esai yang akan diterbitkan salah satu platform besar dan esai kedua yang harus segera dikirim penerbit sebelum dua hari ke depan.

Dia sudah meminta Hala untuk membantu mempersiapkan acara ini. Namun, sampai saat ini Zaki belum menemui ayahnya. Dia belum mengatakan pada pria itu bahwa putra semata wayangnya akan menikah sepuluh hari lagi.

Zaki yang kemudian mulai keluar rumah, mulai mendapat kecemasan baru. Andai dia boleh memilih untuk terlahir bagaimana, mungkin dia ingin memiliki orang tua yang lengkap. Namun dia tak boleh berandai-andai, karena bagaimana pun ini adalah kehendak sang ilahi Rabbi dan Zaki harus menerima dengan sepenuh hati.

Laki-laki itu terus berjalan melewati ramainya asrama putra. Para santri bersarung yang memeluk kitab-kitab kuningnya itu akan segera melakukan aktivitas baru, sedangkan Zaki memilih untuk berjalan menuju kantor. Entahlah apa yang akan dilakukan di sana, tetapi setidaknya dia sedang tak ingin kembali ke kamar untuk saat ini.

Setelah beberapa menit kemudian, dia sampai di bangunan hijau muda itu. Kakinya mulai melangkah melewati pintu kayu cokelat, lalu berjalan ke arah mejanya untuk mengambil beberapa berkas. Di dalam kantor yang luas ini tak ada siapa pun kecuali dua ustaz bagian TU yang duduk di salah satu sudut ruang, sedang sibuk dengan berkas-berkas yang dikerjakan.

Minggu depan jadwal para santri imtihan dan dia belum membuat satu soal Fathul Muin pun yang nanti akan diujikan santri ulya. Dia, Zaki membuka laptop putih miliknya dan mencari file terjemahan Fathul Muin yang telah dibuatnya. Sejak pertama kali mengkaji kitab ini, sedikit pun Zaki tak pernah melewatkan maknanya. Baginya fiqih adalah pelajaran yang sangat wajib dimengerti dan dia harus memahami isinya.

Maka dari itu setelah kitab karangan Syaikh Zainuddin Al-Malibari itu tuntas dikaji, Zaki langsung membuat file hasil ngajinya selama setahun. Terjemahan itu kemudian dikoreksi oleh ustaz yang mengajar dan beliau tersenyum setelah memberikan beberapa komentar untuk melengkapi terjemahan kitab tersebut. Zaki melakukannya dengan sangat rapi. Hobi menulisnya memang tak perlu diragukan lagi.

Sesaat, dia merogoh ponsel dari saku kemeja. Dia lantas mencari kontak yang dinamai "Gus Nabil" sebelum akhirnya dia mengetik beberapa kata untuk disampaikan pada putra kedua Gus Ismail tersebut.

El-Haitami

Assalamualaikum Gus
Mungkin ini tiba-tiba tapi njenengan harus tau kalau sebentar lagi saya akan menikah.

Zaki tersenyum saat mengirim pesannya pada putra penerus Umar bin Khattab ini. Kedekatan mereka sudah seperti saudara, yang pada akhirnya membuat Zaki tak pernah sungkan untuk mengatakan banyak hal.

Gus Nabil

What? Bercanda kan ya?
Jangan bohongin saya mas.

El-Haitami

Tanya Gus Ismail kalau ga percaya. Hari ahad nanti akadnya.

Gus Nabil

Sama siapa? Shofi itu ya?

El-Haitami

Hala. Gus Nabil masih inget kan temen kecil saya yang pernah saya kasih tau.

Gus Nabil

Yap, tapi ketemu lagi di mana? Saya kaget kek sinetron bgt nih ketemu masa lalu yg akhirnya jodoh wkwk...

El Haitami

Nanti malam saya ceritain semuanya. Udh lama juga sih kayaknya njenengan gada kabar gus. Gada story lagi.

Gus Nabil

Wkwk lagi males buka sosmed.

El-Haitami

Asal jangan lupa istri gus.

Gus Nabil

Ya mana bisa sih ninggalin fardhu 'ain mas

El-Haitami

Astaga bisa aja jawabnya.

Zaki tak mengerti lagi tentang betapa baiknya keluarga Gus Ismail. Dulu, empat tahun lalu ketika Zaki hendak memutuskan pergi dari Umar karena berakhir masa aliyahnya, dia ditawari Gus Ismail untuk menyusul putranya di Mesir. Waktu itu Gus Nabil masih tsanawi', tetapi Zaki merasa tak enakan. Dan sesungguhnya hati kecil miliknya tak bisa benar-benar mampu meninggalkan keluarga ndalem. Ia tak mau meninggalkan Gus Ismail.

Hingga akhirnya dengan berkata penuh kerendahan hati, dia berusaha jujur untuk tak bisa menyusul temannya itu. Gus Ismail mengerti dan memahami tentang betapa cintanya dia pada Umar, hingga akhirnya Gus Ismail menyuruhnya untuk kuliah di dekat pesantren.

Merasa tak ada pilihan lain akhirnya Zaki mengiyakan dan toh seharusnya dia selalu mengiyakan kemauan gurunya. Dan hingga sekarang Zaki tak pernah menyesali keputusannya yang mungkin kata banyak orang dia telah melewatkan kesempatan emas. Namun, dia pun memiliki alasan sendiri. Cinta tak mengenal alasan. Cinta memang sulit dijelaskan.



Apdet!!

Sampaikan aja gaesss kalau ada salah² namanya juga manusia yakan :)

Kalau suka, silakan bintangnya ditekan dulu ya dan kalau ada waktu sila tinggalkan komentarnya.

Salam cinta | Milky Way

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro